Peneliti di Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI) dan Advokat
Pendahuluan
Korupsi telah meluluhlantankkan sendiri-sendi kehidupan bernegara dan memandulkan fungsi negara sebagai pengemban amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat. Kejahatan ini telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur aparatur negara secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh menjadi musuh bersama di internal institusi negara, aparatur negara tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara hanyalah simbol kehormatan tanpa makna, karena hanya sebagai tameng untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang upaya pemberantasannya juga harus dilakukan denga cara yang luar bisa pula.
Dalam Penjelasan umum UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan :
”.......mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.......”
Penjelasan umum UU No. 30 tahun 2002 juga menyatakan :
”Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemis juga merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
”Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara komvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan”
Sejarah Pemberantasan Korupsi
Kesadaran bahwa korupsi adalah penyakit serius yang dapat mengancam eksistensi negara sehingga pemberasantasannya juga harus dilakukan dengan serius sudah muncul sejak Orde Lama hingga Era Reformasi, namun semuanya berakhir tragis, di era Orde Lama dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, pertama, melalui Undang-undang Keadaan Bahaya yang kemudian melahirkan Panita Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpim oleh A.H. Nasution dengan 2 orang anggota yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. PARAN mengharuskan setiap pejabat negara mengisi formulir (istilah saat ini daftar harta kekayaan pejabat negara) namun kewajiban ini direaksi keras oleh para pejabat negara, mereka berdalih formulir tersebut tidak perlu diserahkan kepada PARAN cukup kepada Presiden. Upaya PARAN akhirnya menemui jalan buntu karena para pejabat bersembunyi dibalik kekuasaan Presiden, ditambah lagi dengan banyaknya pergolakan di daerah-daerah yang semakin memanas akhirnya tugas PARAN diserahkan kembali kepada Pemerintah yang saat itu dijabat oleh Kabinet Juanda.
Kedua, berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 tahun 1963, A.H. Nasution yang juga menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk lagi sebagai ketua dan dibantu Wiryono Prodjodikusumo, tugas mereka lebih berat yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke lembaga peradilan. Lembaga ini dikenal dengan istilah ”Operasi Budhi” dengan sasaran perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara yang dianggap potensial melakukan praktek-praktek korupsi, lembaga ini banyak mengalami hambatan dalam menjalankan tugasnya, misalnya Dirut Pertamina dalam rangka menghindari pemeriksaan mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi lainnya menolak diperiksa dengan alasan belum mendapat izin dari atasan. Namun demikian dalam waktu 3 bulan sejak operasi budhi dijalankan telah berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak kurang lebih Rp. 11 miliar, suatu ukuran yang cukup besar di era itu, namun karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan mengatakan ”prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”, akhirnya tidak beberap lama setelah itu Soebandrio mengumumkan pembubaran Operasi Budhi, namun kemudian diganti menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Di era Orde Baru, menjelang hari kemerdekaan RI tanggal 16 Agustus 1967 dihadapan anggota DPR/MPR Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pj Presiden menyatakan bahwa rezim Orde Lama tidak mampu memberantas korupsi dan di kesempatan itu pula disampaikan tekad Soeharto membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya yang kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, mahasiswa dan pelajar berdemonstrasi memprotes keberadaan TPK yang dinilainya tidak serius memberantas korupsi, karena maraknya aksi unjuk rasa ini maka akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa antara lain Prof Johanes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto yang bertugas terutama untuk membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Manstrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun sayang hasil temuan Komite yang beranggotakan para tokoh terpercaya ini tidak ditanggapi oleh Pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas. Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa menimbulkan bekas sama sekali .
Di Era Reformasi Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN. Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigana masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi .
Sejarah pemberantasan korupsi yang selalu berakhir dengan kegagalan disebabkan karena upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi belum dilakukan sepenuhnya termasuk belum menempatkan secara tepat dalam sistem ketatanegaraan. Upaya luar biasa setidaknya meliputi aspek pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).
Aspek Pencegahan (Preventif)
Aspek pencegahan dimaksudkan untuk menghilangkan penyebab terjadinya korupsi baik oleh lembaga-lembaga negara maupun oleh lembaga non-negara yang mengelola keuangan negara, salah satu kelemahan mendasar yang menyuburkan terjadinya korupsi adalah sistem birokrasi pemerintahan yang gemuk, tumpang tindih, tidak transparan dan tidak akuntabel. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus dilakukan, sumber terjadinya korupsi harus disumbat sehingga memperkecil peluang terjadinya korupsi dan memudahkan mendeteksi jejak terjadinya korupsi.
Birokrasi harus direkonstruksi dan direviitalisasi baik dalam pengelolaan keuangan negara maupun pelayanan publik, struktur birokrasi harus dirombak menjadi ”ramping dan kaya fungsi” sesuai dengan beban kerja yang proporsional dan proffesional, job description (pembagian kerja) harus dibuat dengan jelas dengan indikator keberhasilan kinerja yang terukur, demikian pula dengan sistem pengawasan dan penilaian kinerja, mutasi dan kenaikan pangkat serta sirkulasi jabatan harus menjauhkan diri dari sistem setoran dan jual beli jabatan. Sistem promosi jabatan harus memberikan kesempatan yang sama bagi setiap aparat yang telah memenuhi persyaratan formal dengan penilaian yang obyektif berdasarkan kualitas dan kinerjanya, sehingga setiap aparatur terpacu untuk meningkatkan kinerja dan kualitasnya bila ingin kenaikan jabatan bukan dengan memperbanyak setoran. Rekruitmen pegawai sebaiknya tidak diserahkan lagi kepada lembaga yang bersangkutan karena terbukti menjadi lahan subur bagi praktek kolusi dan nepotisme, rekruitmen dapat diberikan kepada pihak ketiga yang proffesional dibidang pengembangan SDM.
Dari aspek prosedural, harus diciptakan mekanisme yang jelas, tidak berbelit-belit dan transparan baik dari aspek prodesur maupun biaya, bila hak masyarakat atas pelayanan publik tidak diberikan secara benar sesuai ketentuan yang berlaku apalagi bila diperjaulbelikan maka harus disedikan mekanisme ”pertanggunggugatan” dan/atau mekanisme complain untuk memastikan bahwa hak rakyat atas pelayanan publik dijamin oleh negara dan aparatur pemerintahan yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang diberikan sanksi hukum sehingga tidak terulangi lagi.
Pemberantasan korupsi dari aspek pencegahan merupakan upaya ekstrayudisial (diluar peradilan) yang menjadi domain dari eksekutif dalam hal ini adalam Presiden dan Kepala-Kepala Daerah baik Kabupaten/Kota atau Propinsi. Namun apakah pemberantasan korupsi dalam arti pencegahan ini telah dilaksanakan secara luar biasa oleh Presiden dan jajarannya serta oleh kepala-kepala daerah, hal ini masih menjadi tanda tanya besar, padahal reformasi birokrasi adalah pangkal pemberantasan korupsi karena disinilah akar terjadinya korupsi, dapat dikatakan bagian terbesar dari upaya pemberantasan korupsi berada di tangan eksekutif yang mengendalikan birokrasi, bila birokrasi pemerintahan masih mempertahankan wajahnya yang korup maka selama itu pula fungsi negara tidak akan berjalan dengan benar sesuai dengan tujuan negara (rechtidee) yaitu mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan. Namun sayang upaya pencegahan oleh ekskutif masih jauh dari upaya luar biasa bahkan terkadang menunjukkan pimpinan eksekutif menjadi bagian sistem yang korup tersebut.
Aspek Detektif
Aspek detektif dilakukan dengan memperkuat sistem pengawasan dan pemeriksaan baik internal maupun eksternal, pengawasan internal dimaksudkan untuk mengetahui secara cepat dan tepat penyimpangan yang terjadi dan segera melakukan perbaikan. Pengawas internal Pemerintah diantaranya adalah Irjen dan BPKP keduanya melakukan fungsi pengawasan internal, sedangkan pengawas internal pemerintah daerah adalah Bawasda (Badan Pengawas Daerah). Aparatur Irjen dan BAWASDA selama ini tidak selalu berasal dari mereka yang memiliki kemampuan dan pengalaman sebagai pengawas sehingga belum maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan sedangkan BPKP yang juga sebagai pengawas internal pemerintah justru bertenturan dengan fungsi Irjen padahal memiliki kemapuan yang sangat bagus di bidang pengawasan.
Selain itu satu-satunya pengawas eksternal pemerintah di bidang keuangan negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR sebagai pemegang fungsi controling dan budgeting untuk ditindaklanjuti. Keberadaan BPK memang didesaign untuk memperkuat fungsi pengawasan dan keuangan DPR/DPRD. Bila dalam pemeriksaannya BPK menemukan indikasi tindakpidana korupsi maka BPK harus melaporkan kepada Aparat Penegak Hukum sebagai bahan penyidikan.
Aspek Penindakan (Represif)
Upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi secara represif (penindakan) dilakukan dengan membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), terbentuknya KPK tidak dapat dilepaskan dari bobroknya sistem penegakan hukum baik secara kelembagaan maupun personal. Lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan) yang ada bahkan menjadi bagian dari “mafia peradilan” yang telah melakukan aksinya secara struktural dan sistemik sehingga tidak dapat diharapkan mampu mengemban amanat pemberantasan korupsi. Maka KPK lahir dengan kelembagaan baru yang sama sekali terlepas dari intervensi lembaga negara manapun dan dengan kewenangan yang luas meliputi penyilidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap lembaga penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, bila KPK menilai proses hukum kasus korupsi yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan berlarut-larut dan berindikasi KKN maka KPK dapat mengambilalih kasus korupsi tersebut, dalam mendeteksi indikasi tindakpidana KPK juga diberi wewenang penyadapan.
Pengadilan TIPIKOR dan Upaya Luar Biasa dalam Pemberantasan Korupsi
Kelahiran Pengadilan khusus TIPIKOR dilatarbelakangi ketidakpercayaan publik terhadap Peradilan Umum, menurut hasil penelitian KHN tahun 2002, 23,33% rakyat bersikap positif dan apresiatif terhadap Peradilan Umum, 25,88% masyarakat bersikap apatis dan 45,83% masyarakat bersikap pesimistis.
Tahun 1998 Daniel Kaufmann dalam laporanya bureuaucratic dan judicial bribery menyebutkan penyuapan di peradilan Indonesia paling tinggi diantara negara-negara seperti Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dll. Survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) melihat, lembaga peradilan menempati salah satu urutan paling korup bersama Partai Politik dan Parlemen (indeks tahun 2005 dan 4,2 tahun 2006). Sementara tahun berikutnya (2007) menyebutkn lembaga peradilan merupakan lembaga yang paling tinggi inisiatif meminta suap.
Beberapa kasus yang sudah pernah terungkap di tahun 2005-2006 sepertu kasus panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan, Herman Alositandi, yang memeras saksi dalam kasus korupsi PT Jamsostek, dan kasus advokay Syaifuddin Popon dua panitera Pengadilan Tinggi Jakarta, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh. Serta kasus Probosutedjo yang mencoba menyaupa majlis hakim di MA dengan uang milyaran rupiahm dengan Harini Wijoso, mantan PT Yogyakarta dan beberapa pegawai MA sebagai pelakunya . Terakhir adalah kasus Jaksa Urip Trigunawan dan Artalita Suryani yang melibatkan beberapa Jaksa Agung Muda.
Kepatuhan hakim untuk melaporkan harta kekayaannya juga amat rendah, data KPK per-15 Agustus 2007, hakim dan jaksa tergolong kelompok yang paling tidak patuh melaporkan harta kekayaan. Tingkat kepatuhannya hanya 43,77% dari 9.188 penyelenggara negara yang telah melaporkan harta kekayaannya
Sementara dalam hal putusan kasus-kasus korupsi peradilan umum banyak membebaskan para terdakwa, catatan MA tahun 2006, 499 perkara korupsi di tingkat kasasi 239 telah diputus, 68 diantaranya diputus bebas
Dari banyaknya fakta yang terungkap menunjukkan indikasi bahwa peradilan umum menjadi bagian dari “mafia peradilan” karena itu memberikan kewenangan kepada Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutus perkara korupsi sama dengan terjatuh di lubang yang sama. Untuk itu membentuk pengadilan khusus untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus korupsi menjadi bagian dari upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Kekhususan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meliputi komposisi hakim, batas waktu pemeriksaan dan sistem pembuktian. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berjumlah 5 orang terdiri dari 3 hakim ad hock dan 2 hakim karier, batas waktu pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama adalah 90 hari, tingkat pengadilan tinggi selama 60 hari dan di tingkat kasasi 90 hari, sistem pembuktian setengah terbalik dengan alat bukti selain berdasarkan KUHAP juga berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2002.
Pada tanggal 19 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan pasal 53 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pertimbangan hukum bahwa berdasarkan Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.”. ”Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang.
Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Pengadilan Tipikor sebagaimana dimaksud oleh Pasal 53 UU KPK tersebut, menurut Pasal 54 Ayat (1) UU KPK, berada di lingkungan Peradilan Umum. Dari sudut pandang maksud pembentuk undang-undang untuk membentuk Pengadilan Tipikor dan menempatkannya dalam lingkungan peradilan umum tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua sistem peradilan yang menangani tindak pidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945? dan apakah pembentukan pengadilan demikian (in casu Pengadilan Tipikor) secara bersama-sama dalam satu undang-undang yang mengatur tentang pembentukan sebuah lembaga yang bukan lembaga peradilan (in casu Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK, bertentangan dengan UUD 1945?
Menurut putusan MK, pengaturan Pengadilan TIPIKOR dalam UU KPK oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan sebagai pengadilan khusus, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU KPK. Namun, jika demikian halnya penggolongan Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus hanya atas dasar kriteria bahwa Pengadilan Tipikor tersebut secara khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, ditambah dengan beberapa ciri lain yaitu susunan majelis hakim terdiri atas dua orang hakim peradilan umum dan tiga orang hakim ad hoc, yang harus menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi tersebut dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan [Pasal 58 Ayat (1) UU KPK]. Maka terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama
tetapi dengan hukum acara yang berbeda dan susunan majelis hakim serta kewajiban memutus dalam jangka waktu tertentu secara berbeda, padahal menyangkut perbuatan orang yang sama-sama didakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancam pidana oleh undang-undang yang sama, yang dapat menghasilkan putusan akhir yang sangat berbeda. Kenyataan yang terjadi dalam praktik di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini, menunjukkan bukti adanya standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme peradilan yang berbeda. Dilihat dari aspek yang dipertimbangkan di atas, Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua lembaga jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Dari aspek apakah pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri bertentangan dengan UUD, menurut MK meskipun dari segi teknik perundang-undangan kurang sempurna, namun tidak serta merta bertentangan dengan UUD 1945 asalkan norma yang diatur di dalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Dari segi teknik perundang-undangan, frasa “diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Di samping itu, frasa “diatur dengan undang-undang” juga berarti bahwa hal dimaksud harus diatur dengan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun MK tidak langsung menyatakan Pengadilan TIPIKOR harus dibubarkan namun memberikan waktu kepada pembentuk UU untuk menyempurnakan dasar hukum pembentukan Pengadilan TIPIKOR selama paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan pertimbangan, Bila pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.
Putusan MK tersebut satu sisi dapat dipahami merupakan upaya memperkokoh keberadaan Pengadilan TIPIKOR sekaligus upaya memperbaiki kekurangan-kekurangan yang selama ini dirasa menghambat dalam memeriksa dan memutus perkara korupsi, namun di satu sisi berpeluang pula memperlamah keberadaan Pengadilan TIPIKOR bila pembuat Undang-undang tidak memiliki political will yang sungguh-sungguh untuk mendukung pemberantasan korupsi.
RUU Pengadilan Tipikor ; Kemajuan atau Kemunduran
RUU Pengadilan TIPIKOR telah selesai disusun draftnya oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan HAM, namun ada beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk menjaga konsistensi pemberantasan korupsi, antara lain dalam pasal 40 yang berbunyi : ”Dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 3 dibentuk pada pengadilan negeri di setiap ibukota propinsi”. Sedangkan Pasal 41 ayat (1) ”Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilakukan secara bertahap dengan Peraturan Presiden”.
Ide membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di setiap Provinsip memang ideal namun bila tidak diberi limit waktu sampai berapa lama Presiden wajib membentuk Pengadilan TIPIKOR di setiap Propinsi maka justru dapat menjadi kontraproduktif karena pembentukan Pengadilan TIPIKOR amat sangat tergantung dari kemauan Presiden.
Selain itu juga ada masalah terkait dengan Komposisi Majelis Hakim, Pasal 27 RUU Pengadilan TIPIKOR berbunyi :
”Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc yang komposisinya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara”
Menyerahkan penentuan komposisi Majlis Hakim TIPIKOR kepada Ketua Pengadilan atau Ketua MA adalah suatu kemunduran karena justru salah satu kekhususan dari Pengadilan TIPIKOR adalah karena komposisi hakimnya lebih besar hakim ad hock daridapada hakim karier karena krisis kepercayaan publik terhadap hakim karier.
Masalah lainnya adalah masalah beban kerja hakim karier pengadilan TIPIKOR, hakim karier TIPIKOR selain statusnya sebagai hakim Pengadilan TIPIKOR juga hakim biasa yang juga memeriksa dan memutus perkara-perkara lain selain korupsi, potensi dampak negatifnya hakim karier Pengadilan TIPIKOR tidak dapat berkonsentrasi penuh memeriksa dan memutus perkara korupsi saja sehingga dikhawatirkan tidak maksimal menjalankan kewajibannya sebagai hakim pengadialn TIPIKOR, selain itu dalam perkara-perkara lain hakim karier Pengadialn TIPIKOR dapat saja menjadi pintu masuk terjadinya ”mafia peradilan”.
Korupsi telah meluluhlantankkan sendiri-sendi kehidupan bernegara dan memandulkan fungsi negara sebagai pengemban amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat. Kejahatan ini telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur aparatur negara secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh menjadi musuh bersama di internal institusi negara, aparatur negara tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara hanyalah simbol kehormatan tanpa makna, karena hanya sebagai tameng untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang upaya pemberantasannya juga harus dilakukan denga cara yang luar bisa pula.
Dalam Penjelasan umum UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan :
”.......mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.......”
Penjelasan umum UU No. 30 tahun 2002 juga menyatakan :
”Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemis juga merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
”Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara komvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan”
Sejarah Pemberantasan Korupsi
Kesadaran bahwa korupsi adalah penyakit serius yang dapat mengancam eksistensi negara sehingga pemberasantasannya juga harus dilakukan dengan serius sudah muncul sejak Orde Lama hingga Era Reformasi, namun semuanya berakhir tragis, di era Orde Lama dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, pertama, melalui Undang-undang Keadaan Bahaya yang kemudian melahirkan Panita Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpim oleh A.H. Nasution dengan 2 orang anggota yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. PARAN mengharuskan setiap pejabat negara mengisi formulir (istilah saat ini daftar harta kekayaan pejabat negara) namun kewajiban ini direaksi keras oleh para pejabat negara, mereka berdalih formulir tersebut tidak perlu diserahkan kepada PARAN cukup kepada Presiden. Upaya PARAN akhirnya menemui jalan buntu karena para pejabat bersembunyi dibalik kekuasaan Presiden, ditambah lagi dengan banyaknya pergolakan di daerah-daerah yang semakin memanas akhirnya tugas PARAN diserahkan kembali kepada Pemerintah yang saat itu dijabat oleh Kabinet Juanda.
Kedua, berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 tahun 1963, A.H. Nasution yang juga menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk lagi sebagai ketua dan dibantu Wiryono Prodjodikusumo, tugas mereka lebih berat yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke lembaga peradilan. Lembaga ini dikenal dengan istilah ”Operasi Budhi” dengan sasaran perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara yang dianggap potensial melakukan praktek-praktek korupsi, lembaga ini banyak mengalami hambatan dalam menjalankan tugasnya, misalnya Dirut Pertamina dalam rangka menghindari pemeriksaan mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi lainnya menolak diperiksa dengan alasan belum mendapat izin dari atasan. Namun demikian dalam waktu 3 bulan sejak operasi budhi dijalankan telah berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak kurang lebih Rp. 11 miliar, suatu ukuran yang cukup besar di era itu, namun karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan mengatakan ”prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”, akhirnya tidak beberap lama setelah itu Soebandrio mengumumkan pembubaran Operasi Budhi, namun kemudian diganti menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Di era Orde Baru, menjelang hari kemerdekaan RI tanggal 16 Agustus 1967 dihadapan anggota DPR/MPR Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pj Presiden menyatakan bahwa rezim Orde Lama tidak mampu memberantas korupsi dan di kesempatan itu pula disampaikan tekad Soeharto membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya yang kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, mahasiswa dan pelajar berdemonstrasi memprotes keberadaan TPK yang dinilainya tidak serius memberantas korupsi, karena maraknya aksi unjuk rasa ini maka akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa antara lain Prof Johanes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto yang bertugas terutama untuk membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Manstrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun sayang hasil temuan Komite yang beranggotakan para tokoh terpercaya ini tidak ditanggapi oleh Pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas. Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa menimbulkan bekas sama sekali .
Di Era Reformasi Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN. Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigana masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi .
Sejarah pemberantasan korupsi yang selalu berakhir dengan kegagalan disebabkan karena upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi belum dilakukan sepenuhnya termasuk belum menempatkan secara tepat dalam sistem ketatanegaraan. Upaya luar biasa setidaknya meliputi aspek pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).
Aspek Pencegahan (Preventif)
Aspek pencegahan dimaksudkan untuk menghilangkan penyebab terjadinya korupsi baik oleh lembaga-lembaga negara maupun oleh lembaga non-negara yang mengelola keuangan negara, salah satu kelemahan mendasar yang menyuburkan terjadinya korupsi adalah sistem birokrasi pemerintahan yang gemuk, tumpang tindih, tidak transparan dan tidak akuntabel. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus dilakukan, sumber terjadinya korupsi harus disumbat sehingga memperkecil peluang terjadinya korupsi dan memudahkan mendeteksi jejak terjadinya korupsi.
Birokrasi harus direkonstruksi dan direviitalisasi baik dalam pengelolaan keuangan negara maupun pelayanan publik, struktur birokrasi harus dirombak menjadi ”ramping dan kaya fungsi” sesuai dengan beban kerja yang proporsional dan proffesional, job description (pembagian kerja) harus dibuat dengan jelas dengan indikator keberhasilan kinerja yang terukur, demikian pula dengan sistem pengawasan dan penilaian kinerja, mutasi dan kenaikan pangkat serta sirkulasi jabatan harus menjauhkan diri dari sistem setoran dan jual beli jabatan. Sistem promosi jabatan harus memberikan kesempatan yang sama bagi setiap aparat yang telah memenuhi persyaratan formal dengan penilaian yang obyektif berdasarkan kualitas dan kinerjanya, sehingga setiap aparatur terpacu untuk meningkatkan kinerja dan kualitasnya bila ingin kenaikan jabatan bukan dengan memperbanyak setoran. Rekruitmen pegawai sebaiknya tidak diserahkan lagi kepada lembaga yang bersangkutan karena terbukti menjadi lahan subur bagi praktek kolusi dan nepotisme, rekruitmen dapat diberikan kepada pihak ketiga yang proffesional dibidang pengembangan SDM.
Dari aspek prosedural, harus diciptakan mekanisme yang jelas, tidak berbelit-belit dan transparan baik dari aspek prodesur maupun biaya, bila hak masyarakat atas pelayanan publik tidak diberikan secara benar sesuai ketentuan yang berlaku apalagi bila diperjaulbelikan maka harus disedikan mekanisme ”pertanggunggugatan” dan/atau mekanisme complain untuk memastikan bahwa hak rakyat atas pelayanan publik dijamin oleh negara dan aparatur pemerintahan yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang diberikan sanksi hukum sehingga tidak terulangi lagi.
Pemberantasan korupsi dari aspek pencegahan merupakan upaya ekstrayudisial (diluar peradilan) yang menjadi domain dari eksekutif dalam hal ini adalam Presiden dan Kepala-Kepala Daerah baik Kabupaten/Kota atau Propinsi. Namun apakah pemberantasan korupsi dalam arti pencegahan ini telah dilaksanakan secara luar biasa oleh Presiden dan jajarannya serta oleh kepala-kepala daerah, hal ini masih menjadi tanda tanya besar, padahal reformasi birokrasi adalah pangkal pemberantasan korupsi karena disinilah akar terjadinya korupsi, dapat dikatakan bagian terbesar dari upaya pemberantasan korupsi berada di tangan eksekutif yang mengendalikan birokrasi, bila birokrasi pemerintahan masih mempertahankan wajahnya yang korup maka selama itu pula fungsi negara tidak akan berjalan dengan benar sesuai dengan tujuan negara (rechtidee) yaitu mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan. Namun sayang upaya pencegahan oleh ekskutif masih jauh dari upaya luar biasa bahkan terkadang menunjukkan pimpinan eksekutif menjadi bagian sistem yang korup tersebut.
Aspek Detektif
Aspek detektif dilakukan dengan memperkuat sistem pengawasan dan pemeriksaan baik internal maupun eksternal, pengawasan internal dimaksudkan untuk mengetahui secara cepat dan tepat penyimpangan yang terjadi dan segera melakukan perbaikan. Pengawas internal Pemerintah diantaranya adalah Irjen dan BPKP keduanya melakukan fungsi pengawasan internal, sedangkan pengawas internal pemerintah daerah adalah Bawasda (Badan Pengawas Daerah). Aparatur Irjen dan BAWASDA selama ini tidak selalu berasal dari mereka yang memiliki kemampuan dan pengalaman sebagai pengawas sehingga belum maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan sedangkan BPKP yang juga sebagai pengawas internal pemerintah justru bertenturan dengan fungsi Irjen padahal memiliki kemapuan yang sangat bagus di bidang pengawasan.
Selain itu satu-satunya pengawas eksternal pemerintah di bidang keuangan negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR sebagai pemegang fungsi controling dan budgeting untuk ditindaklanjuti. Keberadaan BPK memang didesaign untuk memperkuat fungsi pengawasan dan keuangan DPR/DPRD. Bila dalam pemeriksaannya BPK menemukan indikasi tindakpidana korupsi maka BPK harus melaporkan kepada Aparat Penegak Hukum sebagai bahan penyidikan.
Aspek Penindakan (Represif)
Upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi secara represif (penindakan) dilakukan dengan membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), terbentuknya KPK tidak dapat dilepaskan dari bobroknya sistem penegakan hukum baik secara kelembagaan maupun personal. Lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan) yang ada bahkan menjadi bagian dari “mafia peradilan” yang telah melakukan aksinya secara struktural dan sistemik sehingga tidak dapat diharapkan mampu mengemban amanat pemberantasan korupsi. Maka KPK lahir dengan kelembagaan baru yang sama sekali terlepas dari intervensi lembaga negara manapun dan dengan kewenangan yang luas meliputi penyilidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap lembaga penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, bila KPK menilai proses hukum kasus korupsi yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan berlarut-larut dan berindikasi KKN maka KPK dapat mengambilalih kasus korupsi tersebut, dalam mendeteksi indikasi tindakpidana KPK juga diberi wewenang penyadapan.
Pengadilan TIPIKOR dan Upaya Luar Biasa dalam Pemberantasan Korupsi
Kelahiran Pengadilan khusus TIPIKOR dilatarbelakangi ketidakpercayaan publik terhadap Peradilan Umum, menurut hasil penelitian KHN tahun 2002, 23,33% rakyat bersikap positif dan apresiatif terhadap Peradilan Umum, 25,88% masyarakat bersikap apatis dan 45,83% masyarakat bersikap pesimistis.
Tahun 1998 Daniel Kaufmann dalam laporanya bureuaucratic dan judicial bribery menyebutkan penyuapan di peradilan Indonesia paling tinggi diantara negara-negara seperti Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dll. Survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) melihat, lembaga peradilan menempati salah satu urutan paling korup bersama Partai Politik dan Parlemen (indeks tahun 2005 dan 4,2 tahun 2006). Sementara tahun berikutnya (2007) menyebutkn lembaga peradilan merupakan lembaga yang paling tinggi inisiatif meminta suap.
Beberapa kasus yang sudah pernah terungkap di tahun 2005-2006 sepertu kasus panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan, Herman Alositandi, yang memeras saksi dalam kasus korupsi PT Jamsostek, dan kasus advokay Syaifuddin Popon dua panitera Pengadilan Tinggi Jakarta, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh. Serta kasus Probosutedjo yang mencoba menyaupa majlis hakim di MA dengan uang milyaran rupiahm dengan Harini Wijoso, mantan PT Yogyakarta dan beberapa pegawai MA sebagai pelakunya . Terakhir adalah kasus Jaksa Urip Trigunawan dan Artalita Suryani yang melibatkan beberapa Jaksa Agung Muda.
Kepatuhan hakim untuk melaporkan harta kekayaannya juga amat rendah, data KPK per-15 Agustus 2007, hakim dan jaksa tergolong kelompok yang paling tidak patuh melaporkan harta kekayaan. Tingkat kepatuhannya hanya 43,77% dari 9.188 penyelenggara negara yang telah melaporkan harta kekayaannya
Sementara dalam hal putusan kasus-kasus korupsi peradilan umum banyak membebaskan para terdakwa, catatan MA tahun 2006, 499 perkara korupsi di tingkat kasasi 239 telah diputus, 68 diantaranya diputus bebas
Dari banyaknya fakta yang terungkap menunjukkan indikasi bahwa peradilan umum menjadi bagian dari “mafia peradilan” karena itu memberikan kewenangan kepada Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutus perkara korupsi sama dengan terjatuh di lubang yang sama. Untuk itu membentuk pengadilan khusus untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus korupsi menjadi bagian dari upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Kekhususan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meliputi komposisi hakim, batas waktu pemeriksaan dan sistem pembuktian. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berjumlah 5 orang terdiri dari 3 hakim ad hock dan 2 hakim karier, batas waktu pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama adalah 90 hari, tingkat pengadilan tinggi selama 60 hari dan di tingkat kasasi 90 hari, sistem pembuktian setengah terbalik dengan alat bukti selain berdasarkan KUHAP juga berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2002.
Pada tanggal 19 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan pasal 53 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pertimbangan hukum bahwa berdasarkan Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.”. ”Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang.
Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Pengadilan Tipikor sebagaimana dimaksud oleh Pasal 53 UU KPK tersebut, menurut Pasal 54 Ayat (1) UU KPK, berada di lingkungan Peradilan Umum. Dari sudut pandang maksud pembentuk undang-undang untuk membentuk Pengadilan Tipikor dan menempatkannya dalam lingkungan peradilan umum tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua sistem peradilan yang menangani tindak pidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945? dan apakah pembentukan pengadilan demikian (in casu Pengadilan Tipikor) secara bersama-sama dalam satu undang-undang yang mengatur tentang pembentukan sebuah lembaga yang bukan lembaga peradilan (in casu Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK, bertentangan dengan UUD 1945?
Menurut putusan MK, pengaturan Pengadilan TIPIKOR dalam UU KPK oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan sebagai pengadilan khusus, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU KPK. Namun, jika demikian halnya penggolongan Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus hanya atas dasar kriteria bahwa Pengadilan Tipikor tersebut secara khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, ditambah dengan beberapa ciri lain yaitu susunan majelis hakim terdiri atas dua orang hakim peradilan umum dan tiga orang hakim ad hoc, yang harus menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi tersebut dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan [Pasal 58 Ayat (1) UU KPK]. Maka terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama
tetapi dengan hukum acara yang berbeda dan susunan majelis hakim serta kewajiban memutus dalam jangka waktu tertentu secara berbeda, padahal menyangkut perbuatan orang yang sama-sama didakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancam pidana oleh undang-undang yang sama, yang dapat menghasilkan putusan akhir yang sangat berbeda. Kenyataan yang terjadi dalam praktik di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini, menunjukkan bukti adanya standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme peradilan yang berbeda. Dilihat dari aspek yang dipertimbangkan di atas, Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua lembaga jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Dari aspek apakah pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri bertentangan dengan UUD, menurut MK meskipun dari segi teknik perundang-undangan kurang sempurna, namun tidak serta merta bertentangan dengan UUD 1945 asalkan norma yang diatur di dalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Dari segi teknik perundang-undangan, frasa “diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Di samping itu, frasa “diatur dengan undang-undang” juga berarti bahwa hal dimaksud harus diatur dengan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun MK tidak langsung menyatakan Pengadilan TIPIKOR harus dibubarkan namun memberikan waktu kepada pembentuk UU untuk menyempurnakan dasar hukum pembentukan Pengadilan TIPIKOR selama paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan pertimbangan, Bila pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.
Putusan MK tersebut satu sisi dapat dipahami merupakan upaya memperkokoh keberadaan Pengadilan TIPIKOR sekaligus upaya memperbaiki kekurangan-kekurangan yang selama ini dirasa menghambat dalam memeriksa dan memutus perkara korupsi, namun di satu sisi berpeluang pula memperlamah keberadaan Pengadilan TIPIKOR bila pembuat Undang-undang tidak memiliki political will yang sungguh-sungguh untuk mendukung pemberantasan korupsi.
RUU Pengadilan Tipikor ; Kemajuan atau Kemunduran
RUU Pengadilan TIPIKOR telah selesai disusun draftnya oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan HAM, namun ada beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk menjaga konsistensi pemberantasan korupsi, antara lain dalam pasal 40 yang berbunyi : ”Dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 3 dibentuk pada pengadilan negeri di setiap ibukota propinsi”. Sedangkan Pasal 41 ayat (1) ”Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilakukan secara bertahap dengan Peraturan Presiden”.
Ide membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di setiap Provinsip memang ideal namun bila tidak diberi limit waktu sampai berapa lama Presiden wajib membentuk Pengadilan TIPIKOR di setiap Propinsi maka justru dapat menjadi kontraproduktif karena pembentukan Pengadilan TIPIKOR amat sangat tergantung dari kemauan Presiden.
Selain itu juga ada masalah terkait dengan Komposisi Majelis Hakim, Pasal 27 RUU Pengadilan TIPIKOR berbunyi :
”Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc yang komposisinya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara”
Menyerahkan penentuan komposisi Majlis Hakim TIPIKOR kepada Ketua Pengadilan atau Ketua MA adalah suatu kemunduran karena justru salah satu kekhususan dari Pengadilan TIPIKOR adalah karena komposisi hakimnya lebih besar hakim ad hock daridapada hakim karier karena krisis kepercayaan publik terhadap hakim karier.
Masalah lainnya adalah masalah beban kerja hakim karier pengadilan TIPIKOR, hakim karier TIPIKOR selain statusnya sebagai hakim Pengadilan TIPIKOR juga hakim biasa yang juga memeriksa dan memutus perkara-perkara lain selain korupsi, potensi dampak negatifnya hakim karier Pengadilan TIPIKOR tidak dapat berkonsentrasi penuh memeriksa dan memutus perkara korupsi saja sehingga dikhawatirkan tidak maksimal menjalankan kewajibannya sebagai hakim pengadialn TIPIKOR, selain itu dalam perkara-perkara lain hakim karier Pengadialn TIPIKOR dapat saja menjadi pintu masuk terjadinya ”mafia peradilan”.