Politisi, Figur Ingkar Janji

Setelah kampanye terbuka dimulai, pada saat itu pula, politisi mulai mengibuli secara terbuka. Meski kibul mengibuli sudah dilakukan sejak dinobatkan sebagai politisi, tetapi kini akan lebih seru. Apalagi, politisi lekat dengan figur pembohong dan gampang ingkar janji.

Saya kemudian menjadi terhentak ketika beberapa hari terakhir, ketika semua partai politik menurunkan orang-orang hebat untuk menjadi Jurkamnas dalam Pileg 9 April 2014 ini. Bagi saya, itu tidak menjadi persoalan.

Tetapi, jika tidak untuk mengibuli, tentu tidak perlu menurunkan segala kekuatan demikian untuk berkampanye. Sebab, masyarakat tetap akan lebih percaya kepada sesuatu yang nyata. Nyata memperjuangkan aspirasi rakyat dan nyata memperjuangkan nasib rakyat. Bukankah setiap Pemilu selalu berkampanye? Bukankah janji-janji para politisi tetap itu-itu saja? Figur ingkar janji semakin dekat.

Pada suatu kesempatan, sebelum kampanye terbuka benar-benar di buka. Salah satu warga kedatangan tamu calon anggota legislatif (caleg). Caleg yang tidak mau saya sebutkan namanya ini, jika tidak salah, sudah dua kali mencalonkan diri menjadi anggota DPRD dari salah satu Parpol terkenal dan terdaftar di KPU. Tetapi, dua kali pula dia masih belum dipilih oleh rakyat.

Saya sangat bangga dengan orang ini. Bukan bangga karena jadi politisi. Tetapi bangga karena semangat untuk terus berjuang tak pernah surut meski selalu gagal. Barangkali, dia berprinsip bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Semoga tidak tertunda terus ya!

Setelah sampai di rumah warga, waktu itu malam hari pukul 22.00. Si tuan rumah langsung mengumpulkan masyarakat agar datang ke rumahnya karena ada caleg yang akan berjuang untuk rakyat. Akan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Jalan yang tidak diaspal, akan segera diaspal.

Singkat cerita, setelah caleg dibantu tuan rumah itu, berceramah menghipnotis warga, lalu si caleg pulang. Menariknya, rasan-rasan dari warga bukan malah empati karena sudah dua kali menjadi caleg gagal. Bukan pula semangat untuk memilihnya nanti. Tetapi, karena tidak memberikan uang sama sekali kepada warga menjadi rasan-rasan tak menarik.

Meski si caleg telah memberikan secuil catatan agar siapa yang memilih nanti dicatat, tetap tidak digubris karena diyakini akan ingkar janji. Saya tidak tahu untuk apa pemilih dia itu dicatat. Untuk diberi uang, diberi janji atau apa, saya jelas tidak tahu. ”Jangan menjadi caleg jika tidak punya dana. Toh pada akhirnya nanti juga lupa kepada kita,” kata salah satu warga.

Kisah lain, lagi-lagi ini adalah kisah kedatangan caleg ke rumah-rumah kampung penduduk di salah satu desa di Madura. Ketika caleg lain ini datang ke rumah tokoh masyarakat, tokoh tersebut langsung mengundang seluruh masyarakat agar berkumpul dalam suatu tempat.
Berkumpullah puluhan hingga ratusan warga di tempat yang ditentukan itu. Lalu, bak pahlawan datang kesiangan, si caleg langsung menyampaikan visi dan misi. Tepuk tangan dan sorak sorai seakan mendukung penuh pada caleg tersebut, mulai terdengar.

Menariknya, warga rupanya tidak mau tertipu dengan janji dan ungkapan caleg tersebut. Mereka langsung meminta kepada si caleg agar melakukan perbaikan jalan sebelum menjadi anggota DPRD. Sebab, kerusakan infrastruktur jalan sudah bertahun-tahun dibiarkan hingga akan ganti dewan. Nah, jika hal tersebut dipenuhi, warga menjamin 100 persen akan memilih caleg tersebut.

”Jika memenuhi tuntutan kami sekarang, kami akan lebih tepat janji. Suara kami untuk anda. Sebab, sudah setiap tahun janji palsu caleg selalu terdengar tetapi tetap saja jalan yang dapat menunjang ekonomi masyarakat dibiarkan tanpa ada perbaikan” kiritik dan desakan salah satu warga itu.

Ada kisah menarik lain, ada salah satu anak muda memberi stiker salah satu caleg. Saat berjumpah pak tani, anak muda itu berkata dengan membawa stiker caleg ”Ini gambar caleg terbaik kita nanti pak. Karena akan menentukan masa depan desa ini lima tahun ke depan. Kita tidak boleh salah pilih,” terang pemuda tadi berapi-api.

Seperti yang saya tulis dalam rubrik Jendela ini, bapak tani terlihat hanya senyum dan tertawa. Lalu dia berkata, ”Ini benar-benar caleg ”se sae” (yang baik dan enak) ya dik?” tanya pak tani tani.

”Betul, itu caleg sae (baik) untuk dijadikan sebagai wakil kita di DPR. Dia memiliki visi dan misi untuk memajukan masyarakat dan menyejahterakan rakyat,” jelasnya lagi-lagi cukup panjang. Mungkin, pemuda ini mulai berfikir bahwa orang tersebut dipastikan akan mengikuti dan akan memilih jagoannya itu.

”Maksud saya, apa ada ”saeketnya” (50 ribu-nya) gitu? Jika tidak ada ’itu’-nya, lebih baik kerja di sawah, Dik. Wakil rakyat hanya menebar janji dan mendekat pada rakyat kecil seperti saya hanya ketika menjelang pemilihan. Saat tidak ada pemilu, mereka hilang entah kemana,” ujarnya. Pemuda muda tadi tidak bisa menjawab. Hanya diam seribu bahasa.

Realitas ini menggambarkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada politisi benar-benar berkurang. Sebab, meski sudah berjanji dan berjanji tetap tidak bisa memenuhi janjinya. Apalagi, setiap lima tahun selalu digelar pesta demokrasi dan meminta masyarakat agar ikut berpartisipasi. Namun, nyatanya masyarakat miskin tetap terus bertambah, warga buta haruf tetap saja tidak bisa dibendung jumlahnya. Kepentingan masyarakat dipolitisir demi kepentingan pribadi dan golongan. 

Akhirnya, pada kampanye terbuka ini, saya sebagai warga yang punya hak suara memilih hanya berharap, semua politisi memahami bahwa politik adalah suci. Politik bisa dijadikan sebagai sarana dakwah. Bukan sebagai sarana untuk mengibuli dan mempolitisasi kepentingan masyarakat demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jika politisi tidak ingkar janji, masyarakat pasti bertindak lebih terpuji. Tingkah laku membohongi sudah tidak ngetren dan membosankan. Semoga politisi kita benar-benar berpolitik sesuai amanat penderitaan rakyat. (Busri Taha)

Read more…

Safak Muhammad: Gerakan Nasional Keberkahan Finansial untuk Atasi Kemiskinan dan Korupsi

Buku-buku mengenai how to get rich sesungguhnya tidak terlalu umum dalam literatur Islam. Persoalannya, ada semacam pemahaman pada sebagian umat Islam, bahwa mengejar kekayaan sama saja dengan mengutamakan kehidupan duniawi. Seperti diungkap Safak Muhammad, seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. “Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam,” ugkap Safak, yang baru saja meluncurkan buku ketiganya berjudul Keberkahan Finansial (Solusi Qolbu, 2006).

Namun menurut Safak, sejatinya Islam itu sangat concern dengan masalah kemakmuran umatnya. “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran,” kata Safak mengutip sabda Nabi Muhammad SAW. Tapi sayangnya, Safak melihat selama ini yang dominan dalam Islam adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. “Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?” tambahnya.

Itulah sebabnya, melalui buku terbarunya tadi, Managing Director Media Sukses ini hendak membuka mata umat Islam supaya tidak alergi dengan kekayaan. Bahkan, Alumni Magister Managemen Agribisnis IPB Bogor, ini mengajak umat untuk berlomba-lomba mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar. Menurutnya, mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar, serta dengan prinsip-prinsip Islami pastilah akan membawa kebaikan bagi umat. Itulah sebabnya, penulis buku best seller berjudul Kaya Tanpa Bekerja (Republika, 2004) dan Cara Mudah Orang Gajian Menjadi Entrepreneur (MediaSukses, 2005) ini mencanangkan: Gerakan Nasional Keberkahan Finansial untuk Atasi Kemiskinan dan Korupsi.

Nah, untuk mengetahui seluk-beluk gerakan pengentasan kemiskinan dan korupsi tersebut, serta konsep menjadi kaya secara Islami, Edy Zaqeus dari Pembelajar.com secara khusus mewawancarai Safak Muhamad. Berikut petikan wawancaranya:

Apa pengertian konsep keberkahan finansial dalam buku terbaru Anda itu?
Keberkahan finansial yang saya maksudkan adalah bertambahnya kebaikan atas uang atau finansial yang kita miliki. Bahasa lugasnya, semakin kaya seharusnya semakin bermanfaat kekayaan itu bagi kehidupan ini. Bisa juga dikatakan, kekayaan adalah sarana untuk mendekatkan kita pada kebajikan. Bukan malah mendekatkan kita pada kejahatan. Karena itu, dalam konsep ini saya menjelaskan bagaimana kecerdasan spiritual—bagaimana membuat hidup ini lebih bermakna—justru bisa melipatgandakan kekayaan. Konsep ini akan menghilangkan persepsi yang selama ini ada: bahwa untuk meraih dan melipatgandakan kekayaan harus dengan ‘sedikit’ curang, culas dan sejenisnya.

Apa pijakan dasar konsep tersebut?
Khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Pijakan lainnya adalah pertanggungjawaban terhadap harta itu tidak hanya bagaimana cara mendapatkan harta, tetapi juga bagaimana membelanjakan atau mengelolanya.

Dalam literatur Islam, boleh dibilang buku-buku bertema how to get rich bukanlah jenis tema yang popular. Pandangan Anda?
Mas Edi sangat benar. Saya pun melihat kondisinya seperti itu. Seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam. Bisa juga karena konsep sufi yang keblabasan. Padahal Islam itu sangat concern dengan kemakmuran. Buktinya Nabi mengatakan, “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran.” Tapi sayangnya, selama ini yang dominan adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. Cuman sampai di situ aja! Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?

Di sinilah kemudian timbul masalah. Ketika keinginan kaya itu begitu besar sementara orang tidak tahu bagaimana mendapatkannya dengan benar, maka seringkali memakai jalan pintas, misalnya korupsi. Kalau mau jujur, siapa yang banyak melakukan korupsi di negeri ini? Nah, kemudian timbul inspirasi untuk menulis buku ini yang tidak hanya membahas cara mendapatkan kekayaan tetapi bagaimana mengelolanya dengan baik.

Sekilas hampir semua kajian keagamaan kurang memberi tempat mengenai tema cara-cara menjadi kaya. Bahkan tema ini terkesan agak ‘dimusuhi’. Pandangan Anda?
Inilah anehnya. Seolah-olah kalau kita beragama dengan baik itu tidak butuh duit atau tidak boleh kaya. Kalau pun merasa butuh, tapi tidak mau belajar dengan baik tentang cara-cara menjadi kaya karena ada kekhawatiran dianggap serakah. Kalau mau jujur, kita ini kan hidup di dunia yang membutuhkan duit. Orang bilang UUD, ujung-ujungnya duit. Saya sih tidak merasa tema buku saya ini akan mendapatkan ‘perlawanan’. Justru saya merasa ini adalah tantangan. Bahkan saya sudah memiliki ide untuk menyebarluaskan kajian-kajian sejenis ini melalui sebuah gerakan. Mungkin namanya “Gerakan Nasional Keberkahan Finansial”. Untuk itu saya berharap pada teman-teman atau tokoh-tokoh yang lain dapat membantu gerakan ini. Saya yakin gerakan ini akan sedikit membantu upaya pemerintah untuk memberantas korupsi.

Tema entrepreneurship dan cara menjadi kaya cukup dominan dalam buku-buku anda. Bagaimana perspektif Islam yang sesungguhnya mengenai hal ini?
Saya memang concern dengan masalah ini, karena saya sangat prihatin dengan bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, namun penduduknya masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Lebih dari itu, saya sangat prihatin dengan ketimpangan ekonomi di negeri ini. Ditambah lagi begitu meluasnya persepsi bahwa korupsi masih dianggap salah satu jalan ‘legal’ untuk meraih kekayaan. Nah, dari sinilah saya kemudian ingin berbuat sesuatu sesuai kemampuan saya. Apalagi, tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun hadits Nabi yang melarang berbisnis dan mencari uang sebanyak-banyaknya, asalkan tetap pada koridor moral. Bahkan pekerjaan berdagang atau menjadi entrepreneur itu dianggap lebih baik dari pekerjaan lain. Nabi pun mengatakan bahwa sembilan pintu rezeki itu berasal dari perdagangan. Demikian juga dalam shalat di dalamnya ada doa “ ……. warzuqni...berilah rezeki…..”. Untuk urusan dunia, Islam juga mengajarkan kepada kita agar bekerja seolah-olah kita akan hidup selamanya, tetapi ketika sudah beribadah, seolah-olah akan mati besok.

Dalam buku Keberkahan Finansial ini tampaknya Anda mencoba mengemas konsep-konsep how to get rich ala ‘barat’—yang nota bene banyak dianggap sebagai ‘sekuler’—dengan bungkus konsep-konsep Islami. Benarkah?
Saya tidak memungkiri bahwa ada pemikiran orang-orang barat di dalam buku saya. Tetapi, nyatanya tidak semua pemikiran orang barat bertentangan dengan Islam. Jadi apa salahnya? Demikian juga, tidak selalu yang datangnya dari Arab—tempat diturunkannya Islam—itu selalu Islami. Nah, berkenaan dengan hal ini, Islam juga sudah memberikan guidance bahwa urusan dunia itu memang diserahkan kepada kita. Antum a’lamu biumuriddun-yaakum: “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Namun demikian, saya tidak membungkus pemikiran mereka dengan konsep Islami.

Menurut Anda, apakah ada perbedaan substansial antara cara-cara menjadi kaya seperti dalam teori Kiyosaki dll itu dengan cara-cara menjadi kaya versi Keberkahan Finansial?
Oh, pasti ada! Kalau mereka lebih menitik beratkan pada usaha dan kerja keras saja dan seolah-olah menjadi kaya itu hanya urusan pribadi (egois), ditambah konsep kapitalisme. Dalam konsep Keberkahan Finansial, menjadi kaya itu bukan urusan pribadi dan kerja keras semata, tetapi harus dimulai dengan keluhuran jiwa dan kecerdasan spiritual. Prinsip khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain—harus didahulukan. Dengan prinsip itu, akhirnya kita akan menjadi kaya secara ‘otomatis’. Uang akan ngikut dengan sendirinya. Kenapa demikian? Karena dengan prinsip itu kita akan berusaha menjadi profesional dalam bidang apa pun yang kita geluti. Orang profesional, tentu banyak yang membutuhkan.

Makanya dalam buku itu ada sub bahasan “Raihlah Akhiratnya, Dapatkan Uangnya” dan “Bertambah Kaya dengan Mensejahterakan Orang Lain”. Selain itu, dalam konsep ini, saya mencoba menguraikan konsep Distributor Rezeki. Semakin dipercaya seseorang untuk menjadi ‘distributor’ rezeki, semakin besar kekayaan seseorang. Ini sejalan dengan konsep Islam yang mengatakan bahwa di dalam harta yang kita miliki terdapat titipan orang lain yang harus kita bagikan atau beramal. Nah, sebenarnya orang yang ingin kaya itu harus berlomba untuk mendapatkan kepercayaan menjadi ‘distributor rezeki’ tersebut.

Menurut Anda, apakah dalam ekonomi Islam dikenal konsep-konsep perencanaan keuangan?
Secara tegas tentang perencanaan keuangan memang belum pernah saya temukan. Tetapi seperti yang saya sebutkan di atas, urusan dunia ini diserahkan kepada kita kok… jadi ya terserah kita, bagaimana baiknya aja! Soal perencanaan keuangan itu kan hanya istilah saja. Dasar-dasar secara umum tentu ada seperti sebuah hadits yang mengatakan “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain. Pertama, masa hidupmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu”.

Bagaimana cara Anda mendamaikan konsep-konsep meraih kekayaan yang memakai sistem pelipatgandaan uang berbasis bunga dengan konsep ekonomi syariah yang mengharamkan bunga?
Semua ‘ulama sepakat bahwa riba itu haram. Tetapi apakah bunga bank itu termasuk riba, menurut saya masih khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat. Biarkanlah itu berkembang menjadi perbedaan, karena masing-masing memiliki alasan. Sah-sah saja. Akan tetapi kalau kita ingin lebih berhati-hati, memilih sistem syariah tentu sangat lebih baik.

Soal ajakan untuk melek finansial ini, Anda optimis akan banyak yang mendengar?
Saya yakin, ‘bola’ ini akan terus bergulir dan mendapat respon yang baik dari masyarakat karena sesungguhnya masyarakat membutuhkan ini. Optimisme ini setidaknya berkat dukungan tokoh-tokoh seperti KH.Abdullah Gymnastiar yang bersedia memberikan kata pengantar pada buku saya. Demikian juga KH. Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah MUI. Safir Senduk, perencana keuangan. Juga Aidil Akbar Madjid, Chairman IARFC, H. Rahmat Hidayat yang pakar syariah, Ida Kuraeny, Ketua Umum IAAI, dan DR. Ir. Wahyu Saidi, MSc, yang pengusaha waralaba Bakmi Tebet. Mereka semua bersedia memberikan endorsement atau testimoni pada buka saya.(ez)

* Safak Muhammad dapat dihubungi di: safak.muhammad@keberkahanfinansial.com

http://motivasi259.blogspot.com/2008/11/safak-muhammad-gerakan-nasional.html
Read more…

Asa Berangus Korupsi di 2012


Oleh : Mora Dingin
Aktivis Qbar Padang

Berbicara soal pemberantasan korupsi tidak asing lagi ditelinga kita. Sejak zaman reformasi lahir hingga sekarang perlawanan terhadap pemberantasan korupsi terus ditabuh dan dikumandangkan.

Bahkan pemerintahan SBY jilid II yang sudah memasuki setengah perjalanan dalam mendayung roda pemerintahan terus mendengungkan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama program kerjanya hingga 2014 mendatang. Namun sampai sekarang sepertinya pemberantasan korupsi berjalan lembut gemulai, bak seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, melangkah setahap demi setahap.

Ini semua disebabkan karena dalam pemberantasan korupsi ternyata banyak tantangannya, baik yang muncul dari aparat penegak hukum sendiri yang terkesan lembek dalam melaksanakan tugasnya maupun dari pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri yang lihai dalam mempermainkan hukum di negeri ini, hingga berujung kepada lambatnya penuntasan kasus bahkan bisa saja lepas dari jeratan hukum.

Korupsi --yang nota bene merupakan penyakit nomor dua yang tertua setelah pelacuran sepanjang sejarah dunia ini ada--, ternyata telah memberikan dampak yang begitu buruk buat keberlangsungan kehidupan manusia.

Mengguritanya tindakan korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kesemua itu bermuara kepada ketimpangan, kemiskinan, dll. Tindakan perbuatan korupsi yang sudah menjadi akut sering menjangkiti para pejabat-pejabat di negeri ini. Mulai dari pejabat ditingkat daerah hingga pejabat di tingkat pusat. Semuanya berlomba-lomba untuk korupsi.

Dalam pandangan ahli-ahli ilmu sosial bahwa kejahatan kerah putih (White Collar Crime) salah satunya adalah korupsi, merupakan gejala yang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat dan yang menekan pada aspek material financial belaka. Karena itu pada mulanya gejala ini disebut Busines Crime atau ekonomi criminal. Oleh karena itu White Collar Crime merupakan kejahatan yang sering dilakukan oleh pengusaha ataupun pejabat-pejabat dalam menjalankan peranan fungsinya. Termasuk pejabat pemerintahan di negeri tercinta ini.

Tahun 2012, Sebuah Harapan
Tahun 2012 sudah dimulai, semoga ini akan menjadi sebuah momentum serta harapan baru dalam pemberantasan korupsi yang lebih baik kedepan. Karena itu sudah sepantasnya kita merajut asa di tahun yang baru ini, semoga semua stakeholder baik masyarakat, pemerintah serta aparat penegak hukum saling bahu membahu dalam memberangus tindakan korupsi yang sedah mengakar kuat di negeri ini.

Hendaknya menjadi sebuah renungan buat kita bersama, cacatan yang disampaikan oleh Trancaparanci Internasional (TI) beberapa bulana yang lewat (2011) bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di poin 2,8. Kondisi ini masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan IPK negara tetangga seperti Singapura 3,9 dan Malaysia 4 serta Korea Selatan 5,4. Jadi indeks persepsi korupsi Indonesia berdasarkan data dari TI meningkat 0,8 persen setelah ditetapkannya Inpres No 5 Tahun 2004. Sehingga ada anggapan bahwa Inpres tersebut belum dijalankan dan belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Baca: Kompas, 8/11/2011).

Memang rasanya data tersebut tidak lah mengherankan mengingat dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa kasus tindak pidana korupsi yang cukup besar dan sangat merugikan negara. Mulai dari kasus bank century, kasus penggelapan pajak oleh Gayus Halomoan Tambunan, Kasus Suap Pemilihan Gubernur BI oleh Miranda Gultom, hingga kasus pembangunan Wisma Altel dengan terdakwa Nazaruddin.
Belum lagi kasus-kasus yang menimpa para kepala daerah yang menunjukkan ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Sungguh luar biasa perbuatan korupsi di negeri ini.

Bahkan untuk daerah Sumatera Barat khususnya dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Padang pada tahun 2011 jumlah kasus korupsi mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010. Yaitu terjadi peningkatan sebanyak 83 kasus, dari 157 kasus yang termonitor LBH tahun 2011 dibandingkan kasus yang terdata LBH Padang tahun 2010 yang hanya berjumlah 46 kasus (Padeks, 08/12/2011).


Peran Aparat Penegak Hukum

Buramnya penegakan hukum dalam memberantas korupsi, berbanding lurus dengan semakin mengguritnya pernyakit korupsi yang terjadi hari ini. Buramnya penegakan hukum dalam menangani kasus korupsi tak bisa dilepaskan masih lemahnya peran aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun pengacara dalam menjalankan fungsinya. 

Kita menyadari betul bahwa pemberantasan korupsi tidak akan bisa terwujud tanpa peran yang baik dari aparat penengak hukum dibarengi dengan dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Aparat penegah hukum merupakan corong utama penegakan hukum dinegeri ini. Hukum mustahil bisa ditegakkan kalau aparat penegak hukumnya sendiri tidak taat terhadap peraturan yang ada.

Makanya di awal 2012 ini, rasanya kita masih terus dibayang-bayangi trauma terhadap lemahnya kinerja aparat penegak hukum. Mungkin masih segar dalam ingatan kita  beberapa waktu silam berita buruk soal keberadaan aparat penegak hukum, hati kita menjadi pilu, kepercayaan kita menjadi pudar lagi, ketika melihat salah satu intitusi penegak hukum yaitu kejaksaan bahwa anggotanya lebih kurang 1000 orang dilaporkan ke Jaksa Agung Pengawasan (Jamwas). Dan selama tahun 2010, 256 jaksa yang diberi sanksi dan 32 orang ci copot dari jabatannya ( Padeks, 3/01/2011).

Melihat keadaan yang miris itu, sewajarnya kita bertanya bagaimanakah nasib pemberantasan korupsi kedepan di negeri ini? Jawabannya, mari kita bercermin kepada kondisi peran yang dimainkan oleh aparat penegak hukum kita hari ini. Mungkin masing-masing kita semua bisa memberi penilaian. Walaupun begitu kita masih berharap banyak kepada aparat penegak hukum, agar lebih bisa mengemban amanat serta fungsinya yang telah dipercayakan oleh rakyat selama ini.

Satu catatan penting buat kita bahwa untuk pemberantasan korupsi mungkin kita masih perlu terus belajar kepada negara Cina yang menerapkan hukuman mati terhadap pejabatnya yang terlibat korupsi. Rasanya hukuman penjara yang diterapkan hari ini tidaklah cukup, membuat jera para penggiat korupsi di negeri ini, karena disebabkan telah mengikisnya budaya malu dari diri setiap individu.

Karena itu, tidak salah rasanya dicoba ide-ide yang berkembang akhir-akhir ini hukuman yang pas diterapkan untuk penggiat korupsi adalah hukuman kurungan dan pemiskinan koruptor yaitu dengan menarik semua aset kekayaannya, serta bentuk hukuman sosial lainnya. Sehingga, akhirnya semua orang akan jera untuk melakukan korupsi dinegeri ini, terutama para pejabat-pejabat berdasi.

Akhirnya dalam mengawali tahun 2012 ini mari kita merajut asa dan menyamakan tekat untuk bersama-sama memerangi korupsi! Semoga bangsa ini bisa lepas dari cengkaraman peyakit yang sudah  akut tersebut. Amin! (*)
Read more…

Mengatasi Korupsi

Gerand
Berbicara tentang korupsi tidak akan ada habisnya. Tidak perlu heran, korupsi sudah menjadi tradisi atau budaya yang akan sulit dihapus. Karena telah menjadi semacam sifat genetik dalam diri manusia itu sendiri dan akan terus berulang. Kita memerlukan peredam untuk mematahkan gerakan masif tindakan korupsi agar efeknya tidak meluas dan peredam yang ampuh ada pada diri kita sendiri. 

Marah, geram itulah yang ada dalam hati kita, saat mendengar korupsi semakin merajalela. Sejak reformasi, gendang telah ditabuh sebagai bertanda perang terhadap korupsi. Itu berarti peperangan melawan korupsi secara intens telah lebih satu dekade, alhasil korupsi bukan malah surut tapi malah menjamur. Semakin keras diperangi koruptor makin tiada takutnya. Meski suara-suara lantang menderu-deru terdengar dari para pemimpin negeri dan suara parlemen jalanan bah desingan mesin-mesin peluru tidak juga membuat nyali para koruptor menjadi ciut.

Berbicara tentang korupsi, memang tidak akan ada habisnya. Barangkali umur korupsi itu sendiri, sudah setua sejak manusia ada dimuka bumi ini. Seandainya usia korupsi sedemikian tuanya, maka tidak perlu heran, korupsi sudah menjadi tradisi atau budaya yang akan sulit dihapus. Karena telah menjadi semacam sifat genetik dalam diri manusia itu sendiri dan akan terus berulang.

Sesungguhnya apakah yang memotivasi manusia itu sendiri untuk melakukan korupsi. Banyak hal, karena pada dasarnya manusia memiliki keinginan dan kebutuhan. Selain itu, banyak simpul-simpul lain yang mendorong manusia itu untuk melakukan korupsi. Ingin kaya, dihormati, dan tidak kekurangan dalam segala hal apapun. Jika saat ini korupsi marak terjadi di lingkungan birokrasi itu sendiri, karena ada masalah mekanisme yang tidak bekerja dengan baik dalam sistem, lengahnya pengawasan. Seperti saat ini, korupsi dilakukan tidak hanya perorangan tapi sudah berjamaah. Itu berarti lingkungan juga turut mempengaruhi akan semakin meningkatnya tindakan korupsi.

Dan yang paling menyedihkan, generasi muda yang menjadi tumpuan harapan, menjadi tameng di garda depan untuk memutuskan rantai korupsi, tidak mau kalah dari seniornya, masih jauh dari harapan. Pusat Penelitian dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) merilis 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) muda kaya terindikasi korupsi (DetikNews 09/12/2011). Sepertinya regenerasi koruptor masih akan terus berlanjut. Semoga saja para penegak hukum yang kredibel tidak menjadi lengah dan kehabisan mesiu-mesiu untuk memupus manusia-manusia koruptor ini.

Dilihat dari sisi manapun, baik hukum, agama, sosial korupsi selalu menyisakan hal yang tidak enak karena telah merampas hak banyak orang yang membuat rakyat semakin menderita. Dari segi penegakan hukum, meski hukum sendiri telah memberikan konsukuensi hukuman yang berat, korupsi tetap merajalela. Di lihat dari sisi norma agama, sebenarnya kurang apalagi ajaran-ajaran yang telah disampaikan para pendeta, ulama kepada umatnya untuk berbuat yang terbaik dalam hidup ini, agar tidak merampas ataupun menginginkan hak-hak orang lain. Hancurnya, justru yang kelihatan taat beribadah adalah pelaku berat yang sangat hebat. Hebatnya di tengah-tengah masyarakat para koruptor ini juga yang menjadi sang pahlawan dermawan.

Segala cara telah ditempuh untuk mencegah perbuatan korupsi, baik secara hukum. Melalui himbauan-himbauan di mimbar-mimbar umum bahkan di rumah-rumah ibadah. Di rumah ibadah misalnya seruan untuk memerangi korupsi frekuensinya perlu ditingkatkan, masih ada ketabuan untuk membicarakan hal tersebut, belum disampaikan secara substansial. Seharusnya rumah peribadatan inilah menjadi pintu terakhir untuk selalu mengingatkan secara berulang-ulang untuk menangkal korupsi ini.

Kita memerlukan peredam (softbreaker) untuk mematahkan gerakan masif tindakan korupsi agar efek yang ditimbulkannya tidak semakin meluas. Dan peredam yang ampuh hanya ada dalam diri kita sendiri. Karena korupsi sudah seperti genetik dalam diri manusia maka korupsi tidak akan bisa dihapus, tapi bisa diredam. Salah satunya berpaling pada diri kita masing-masing dengan meningkatkan pola hidup sederhana, mencukupkan diri dengan apa yang ada.

Selain itu, kita harus menjadi alarm bagi orang lain, saling mengingatkan, bahwa korupsi itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Dan jangan jauh-jauh, kita mulai dari kelompok kecil, mulai dari rumah atau keluarga kita. Mudahan-mudahan itu membawa efek besar setelah kita keluar dari rumah kita untuk meredam segala gerak-gerik korupsi.

Sebagai manusia yang memiliki pengharapan, saya percaya kita malu disebut sebagai orang yang tidak beriman. Jika begitu, kita semua adalah orang ber-iman, adalah manusiawi kita sering diselimuti rasa khawatir tapi janganlah sampai mendorong kita bertindak, tidak pada jalurnya untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak tepat. Kata bijak mengatakan, kesusahan sehari cukuplah hanya untuk sehari. Ini berarti hari-hari memiliki kecukupannya sendiri. Asal ada pakaian dan makanan cukuplah. Jangan menimbun kekayaan. Sebab itu, tidak akan kita bawa mati.


Read more…

Budaya Korupsi Sopan

Negeri ini sedang dilanda badai korupsi di segala instansi pemerintahan maupun swasta. Hal ini hampir tidak bisa di bendung mengingat budaya korupsi sudah semakin kental. Upaya-upaya yang terus dilakukan Pemerintah untuk menekan angka korupsi di tanah air seakan tidak mampu memberikan jalan yang tepat. Itu pula yang menjadikan negeri ini menjadi salah satu negara terkorup di dunia.
Menurut  survei Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 3, berangkat 0,2 dari skor tahun lalu, dengan pengertian dari skala 0-10 (0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat  bersih). Dan Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara,  artinya Indonesia masih berada dalam jajaran negara terkorup. Skor  Indonesia masih dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand  (Kompas, 2/12/11).

Data-data di atas semoga memacu pimpinan KPK dan seluruh lapisan yang terkait untuk lebih serius memperhatikan permasalahan ini. Para koruptor memang harus ditindak tegas dan peradilan harus merata, tidak dengan cara tebang pilih, dengan menyikat habis para koruptor yang menjadi teroris di negeri ini.

Setelah terpilihnya pimpinan baru KPK harapan besar akan ada perubahan untuk pemberantasan korupsi sangat digantungkan kepada lembaga ini. Walau banyak pihak masih meragukan sepak terjang lembaga penindak korupsi ini. Terpilihnya Abraham Samad sebagai pemimpin KPK dengan suara mayoritas dan merupakan sosok yang menjadi pilihan para politisi yang duduk di Komisi III DPR-RI. Terpilihnya Samad oleh banyak pihak dinilai karena dia lebih mudah dikendalikan partai. Namun demikian tanggapan itu adalah sebuah tanggapan yang masih belum kita tahu bagaimana hasilnya, karena pimpinan KPK yang baru akan memulai kiprahnya pada hari Sabtu (17/12) akhir pekan lalu.

Begitu banyaknya kasus-kasus besar yang menanti kepemimpinan KPK yang baru adalah menjadi satu jalan menuju trasformasi kinerja KPK yang mulai banyak diragukan masyarakat. Dari kebijakan-kebijakan yang diambil kelak, semoga lembaga ini perlahan tapi pasti diharapkan bisa membuka tabir dari tindakan para koruptor yang mengotori negeri ini.

Tetapi kita jangan lupa bahwa para koruptor yang merugikan negara dan mengambil hak-hak para kaum termarjinalkan bukan saja ditemukan dikalangan petinggi di pemerintahan atau para elit politik di negeri ini saja. Para koruptor kecil yang sering terlupakan juga harus ditindak tegas, mengingat sudah membudayanya korupsi di tanah air. Karena itu, pemberantasan korupsi tidak lagi hanya berlaku dikalangan para pejabat yang punya tangguk kekuasaan di pemerintahan saja.

Para pelaku korupsi di level bawah meski dilakukan secara kecil-kecilan, tetapi tindakannya cukup meresahkan karena nyaris dilakuan hampir di terjadi instansi pemerintahan. Korupsi kecil-kecilan ini umumnya sasarannya adalah rakyat kecil yang cari makan sajapun sudah sulit. Tindakan (korupsi) seperti ini sering kita temukan di kehidupan kita sehari-hari, seperti  pada saat mengurus keperluan administrasi atau surat menyurat. Biasanya sering kali kita di bebankan dengan  "ucapan terimakasih". Sebagai contoh pada saat pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) misalnya, kita harus direpotkan dengan berbagai administrasi yang menyulitkan. Terkadang kita bisa satu harian mengurus SIM. Di sini layanan yang kita dapatkan seringkali mengecewakan kita. Sampai pada akhirnya kita sering kali ditawari salah satu petugas dengan mengatakan "mau mengurus SIM ya Pa". Dengan logat yang lembut seakan memberikan bantuan dengan tulus si pengurus SIM pun menjawab "ya Pa". Maka terjadilah kesepakatan di antara mereka yang akhirnya si pengurus SIM harus mengeluarkan rupiah lebih besar dari tarif yang sudah ditentukan sebelumnya. Bukankah ini adalah "koruptor yang sopan?" Dengan kesepakatan dan sama-sama mau akhirnya korupsi berjalan mulus dan ini sangat sulit diretas mengingat alasan sama-sama mau.

Bahkan kita juga jumpai kejadian yang mirip dengan contoh di atas. Bahkan kejadian ini tidak terjadi di gedung pemerintahan atau swasta atau perkantoran. Ini terjadi dan kita saksikan di pinggir jalan ketika ada razia kendaraan roda dua dan roda empat yang dilakukan polisi lalulintas. Sesuai dengan aturan yang berlaku sebaiknya para pengendara bermotor yang tidak sesuai dengan aturan berlalulintas wajib di Tindak Langsung (Tilang). Yakni dengan memberikan surat Tilang tanda kapan disidangkan kasusnya kepada pengendara. Namun di luar dari itu masih banyak kita jumpai kejadian-kejadian aneh ketika ada kesepakatan pengendara dengan petugas yang memberikan salam tempel yang akhirnya petugas "memaafkan" kesalahan pengendara. Ini merupakan ironi korupsi yang dilakukan dengan cara sopan yang tidak merasa dirugikan satu sama lain. Pengendara bebas dari hukuman sedangkan petugas mendapat jatah tambahan dengan rupiah yang telah diterima.

Masih banyak lagi contoh-contoh tindakan korupsi yang dilakukan dengan motif-motif seperti di atas. Di kantor-kantor misalnya, kita sering di bebankan dengan memberikan uang untuk menyelesaikan surat keterangan dan surat-surat penting lainnya yang notabenenya adalah tugas dan tanggungjawab pegawai di mana kita meminta surat itu. Dan tidak jarang juga ini kita temukan pada proses perijinan usaha yang sampai pada sekala yang lebih besar. Para pegawai pemerintahan sering sekali meraup untung pribadi sehingga harus merugikan keuangan negara sampai triliunan rupiah.

Inilah yang saya katakan bahwa korupsi telah membudaya dan dilakukan dengan sangat sopan bagaikan sebuah silahturahmi bagi masyarakat kita di negeri ini. Masyarakat secara umum sering kali mengomentari para koruptor yang menjadi buronan KPK. Padahal tidak jarang mereka juga melakukannya walau jumlahnya kecil seperti contoh di atas. Kecil atau besar, tetap saja itu sebuah kesalahan atau dosa sesuai dengan ajaran agama. Artinya korupsi sudah di halalkan jika seperti ini kondisinya.

Karena itu perlu dilakukan evaluasi secara mendalam agar korupsi bisa ditekan. Masyarakat juga harus menyadari bahwa budaya korupsi harus dihapus mulai dari bawah sehingga negeri ini menjadi negeri yang bebas dari korupsi. Jadi , tak hanya  koruptor kakap saja yang ditindak tegas. Koruptor kecil dan berlagak sopan seperti pembahasan di atas juga harus diberantas. Ini jika kita ingin dikatakan serius menangani korupsi di negeri ini.

Untuk itu dibutuhkan kerjasama mulai dari komponen terkecil, di samping dukungan dalam setiap program pemberantasan korupsi terutama di instansi-instansi pemerintah. Caranya, dengan mengingatkan para pegawainya untuk tidak melakukan korupsi sekalipun dengan dalih uang terimakasih. Dan kepada KPK selaku lembaga penindak para koruptor, harus benar-benar jeli dalam  memutus perkara, dan jauh dari kepentingan politik, serta mampu mempertahankan independensinya. Tentu juga pemerintah harus serius mengkampanyekan gerakan anti korupsi secara berkesinambungan, serta memberikan dorongan untuk menyelesaikan kasus korupsi. Bukan menjadi tempat perlindungan  (safe haven) koruptor. (Jon Roi Tua Purba)

Penulis adalah guru dan aktif di Campus Concern Medan (CC-Medan), tinggal di Pematangsiantar.


Read more…

Apa yang Salah dengan Negeri Ini?


Oleh: Aris Arif Mundayat

Kasus Bank Century belum pernah tuntas kemudian muncul kasus Gayus yang mengungkap mafia peradilan. Kasus ini belum selesai menyusul kasus Nazarudin yang membawa nama-nama petinggi Partai Demokrat dengan kasus korupsi. Ketika kasus ini mulai diperiksa dengan tertangkapnya Nazarudin, muncul lagi kasus suap yang melibatkan anggota DPR dan Kemenakertrans. Kasus demi kasus saling menyusul dan sambung menyambung tanpa ada ujung penyelesaian yang jelas. Masalah ini bukan hanya menandakan adanya pembusukan atau tidak berfungsinya lembaga yudikatif sehingga lamban dalam menangani kasus, namun juga menunjukkan adanya pembusukan di lembaga legislatif dan eksekutif. Bagaimana bisa tiga lembaga trias politika membusuk secara bersamaan? Apa yang salah dengan negeri ini?

Jika kita lihat dari aspek “political financing” (pendanaan politik) kita dapat melihat rangkaian sebab akibat yang telah mengkondisikan terjadinya pembusukan di tiga sendi lembaga politik modern tersebut. Masyarakat politik (political society) yang mewadahi dirinya dalam partai politik seringkali merupakan perkumpulan elite ekonomi yang menggerakkan bisnis di tingkat kabupaten/kota, propinsi maupun pemain ekonomi nasional. Ini adalah anak-anak dan cucu dari hasil perselingkuhan antara politisi dan pelaku bisnis pada masa Orde Baru. Mereka bukanlah pebisnis yang tumbuh karena kewirausahaan yang kuat, namun lebih merupakan pelaku ekonomi yang menjadi besar karena berkolusi dengan negara. Anak-anak hasil perselingkuhan tersebut masih meniru perilaku ekonomi dan politik orang tuanya. Banyak politisi dan anak-anak politisi yang membangun perseroan terbatas dan firma serta perusahaan sub kontrak yang secara rutin memperoleh tender dengan proyek-proyek pemerintah. Uang proyek itulah yang mereka gunakan untuk mendanai partai politik yang mereka dirikan, dan sebaliknya partai politik itu pula yang membuka kunci pintu pendanaan dari uang negara guna menghidupi bisnis mereka. Mereka inilah yang mewarnai masyarakat politik di Indonesia sejak Orde Baru hingga pasca reformasi. Pada dasarnya tidak ada perubahan yang mendasar dalam masalah ini.

Pada aras sosial politik yang berbeda kita memiliki masyarakat sipil yag selama Orde Baru mengalami proses depolitisasi. Dalam era itu pengelompokan masyarakat sipil lebih digerakkan oleh negara untuk kepentingan mendukung kebijakan pemerintah yang merupakan bangunan politik ekonomi oligarki yang telah memperselingkuhkan politisi dan pebisnis. Dalam kondisi seperti ini kita hanya memiliki “masyarakat sipil semu” yang mengorganisir diri ke dalam berbagai kelompok masyarakat yang terkorporasi untuk kepentingan Negara. Kita dapat mengatakan bahwa yang muncul adalah korporatisme Negara bukan korporatisme sosial. Di lain pihak, pada masa itu kita memiliki organisasi non pemerintah yang memperoleh dana dari luar yang berseberangan dengan negara, namun tidak memiliki kemampuan untuk membangun gerakan sosial maupun korporasi sosial yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah dan membangun engagement (kerjasama) atau linkage (jembatan penghubung) antara pemerintah dan masyarakat sipil aktif yang mandiri. Akibat dari kondisi ini masyarakat sipil tidak memiliki kekuatan kontrol yang kuat terhadap masyarakat politik. Akibatnya ketika di era reformasi –yang mana telah tersedia infrastruktur demokrasi procedural-- kita menyelenggarakan Pemilu maka yang terjadi justru masyarakat politik yang telah tergabung dalam partai politik membeli suara sebesar Rp 20.000,00 per orang untuk memberikan dukungan suara. Ini bukan demokrasi yang substantive ketika politik uang itu masih merupakan instrument untuk memperoleh suara.

Politik uang dalam hal ini adalah produk dari perselingkuhan antara pebisnis dan politisi (yang merupakan anak cucu dari hasil perselingkuhan di era Orde Baru) dengan masyarakat sipil yang belum terberdayakan secara politik. Keturunan dari perselingkuhan ini adalah “politisi najis” yang kemudian terpilih untuk duduk dalam lembaga legislative dan yang terpilih menjadi pimpinan politik dari lembaga eksekutif. ‘Politisi najis’ tersebut terus melakukan praktek korupsi uang rakyat untuk kelangsungan bisnis dan posisi politik mereka dengan melakukan penyuapan terhadap elite lembaga yudikatif, menyuap sesama ‘politisi najis’ di lembaga legislative khususnya melalui badan anggaran dan juga menyuap eksekutif yang menduduki jabatan atas dasar ‘politik dagang sapi’ yang sering disebut sebagai koalisi strategis antara partai yang dominan dengan partai-partai lain untuk kepentingan memuluskan kepentingan politik dan ekonomi masing-masing partai atau masyarakat politik.

Pembusukan trias politika di indonesia adalah  akibat dari banyaknya ‘politisi najis’ di tiga lembaga tersebut. kenyataan ini ini luput dari perhatian kaum reformis yang lebih asyik dalam urusan demokrasi prosedural, bahkan banyak pula reformis yang justru terkena imbas kenajisan politik uang yang mewabah. Perlu ada perundang-undangan yang tegas untuk mencegah terjadinya berbagai perselingkuhan politik dan ekonomi yang telah dibahas di atas agar tidak menghasilkan ‘politisi najis’ untuk lahir di negri ini. Untuk menegakkan undang-undang tersebut diperlukan aktor di lembaga yudikatif yang bersih dan mampu menerapkan hukum dengan pasti. Selain itu, perlu pula pemberdayaan politik bagi masyarakat sipil agar mereka mampu membangun korporasi sosial dan linkage yang kuat agar dapat ikut andil dalam mengontrol jalannya negeri ini untuk masa depan rakyat yang sejahtera dan tertib. kekuatan korporasi sosial ini sangat penting untuk mendukung fungsi KPK (Komite Pemberantasan Korupsi), karena korporasi tersebut merupakan akar dari pemberantasan korupsi yang berbasis rakyat dan tentu saja kepentingan rakyat untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.


Read more…

Korupsi Menjadi Budaya yang Dilestarikan di Indonesia

 Ardiansyah Jasman

Predikat Indonesia yang ditorehkan sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik rupanya tak mampu menyadarkan pemerintah untuk lebih tegas dalam menangani kasus yang merugikan negara ini. Meski dalam kenyataannya berbagai kasus korupsi telah diungkap dan para koruptor telah diseret dalam buih, namun pada aplikasinya masa hukuman yang dikenakan pada penjahat kerah putih tersebut tergolong sangat ringan dengan masa tahanan rata-rata sekitar 4,5 tahun. Ditambah lagi hak narapidana memperoleh remisi yang telah diatur oleh Keputusan Presiden nomor 174 tahun 1999 Tentang Remisi dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang dipertegas dalam pasal 14 bahwa setiap narapidana (termasuk kasus korupsi) mempunyai hak mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana seolah memberi kesan bahwa negara tidak begitu konsisten dan total dalam pemberantasan kasus korupsi di negara ini.

Pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi pasca Hari Proklamasi Kemerdekaan dan Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi bahan perbincangan dan selalu menjadi kontroversial bagi banyak kalangan. Pro kontra selalu mendengung dan alot dalam setiap ruang-ruang diskusi diberbagai media. Di satu sisi pemerintah tetap berdalih bahwa sebagai bangsa yang beradab pemerintah berkewajiban memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap pelanggar hukum karena keberadaban sebuah bangsa dapat diukur dari sejauh mana pemerintah mampu memberikan perlakuan yang terbaik terhadap pelanggar hukum; Perlakuan yang didasarkan pada penghormatan hak dan martabat kemanusiaan, karena pelanggar hukum merupakan bagian dari warga negara yang tetap memiliki hak-hak yang mesti dihormati dan dipenuhi. Namun disisi lain rentetan sejarah bangsa tidak dapat dipungkiri telah memperlihatkan kasus korupsi yang begitu memilukan di bangsa ini dengan kerugian negara rata-rata mencapai 2 triliun dalam per tahun, padahal vonis yang dijatuhkan dalam masa tahanan tertentu diharapkan menjadi efek jera bagi setiap tedakwa kasus korupsi. Namun dengan pemberlakuan remisi yang diberikan oleh pemerintah berpotensi mementahkan efek tersebut dan berindikasi menurunkan frekuensi kerja-kerja lembaga penegakan hukum negara seperti KPK dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi. Wakil ketua KPK M. Jasin menyadari kondisi tersebut dan mengatakan bahwa aturan yang mengatur tentang remisi harus segera diperbaiki menyesuaikan dengan undang-undang pemberantasan korupsi. Menurutnya tak pantas kalau pemerintah memberikan pengampunan terhadap kejahatan yang luar biasa ini (korupsi). Oleh karena itu ia meminta kepada pemerintah untuk segera meratafikasi pemberian remisi untuk narapidana korupsi. Apalagi tercatat bahwa pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini saja pemerintah memberikan remisi kepada 235 narapidana kasus korupsi dari berbagai lembaga permasyarakatan ataupun rumah tahanan (rutan) di seluruh wilayah Indonesia. Luar biasa! (Republika, 30/08/11).
Komitmen Presiden (Sebagai Pemerintah) Terhadap Korupsi (?)
Komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi menjadi kontradiksi akibat pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi. Bukti konkret pada tahun 2010 silam, Aulia pohan yang juga besan presiden RI itu dijerat kasus korupsi dengan dakwaan terbukti menyetujui pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar untuk bantuan hukum kasus lima mantan pejabat BI dan dialirkan ke DPR untuk diseminasi UU Bank Sentral yang diseret ke dalam buih. Lucunya, dalam menjalani masa tahanan, Aulia Pohan telah beberapa kali menerima hadiah remisi. Pada tahun 2009 Aulia Pohan mendapatkan remisi selama satu bulan disertai remisi khusus selama 15 hari saat lebaran. Dan pada tahun 2010 lagi-lagi Aulia pohan menerima remisi selama tiga bulan yaitu pada tanggal 17 Agustus. Selain remisi, Aulia juga telah memperoleh asimilasi selama dua bulan, sehingga Besan orang nomor satu di Indonesia tersebut dapat meninggalkan tahanan dalam jangka waktu tertentu dan pada endingnya dinyatakan bebas bersyarat pada Agustus 2010. Selain itu masih ditahun 2010, Syaukani mantan Bupati Kutai Kartanegara juga tidak luput dari kebijakan Sang Presiden yang memberikannya kado istimewa berupa grasi (pengampuan untuk dibebaskan). Syaukani yang terjerat kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan velodrome, sport hall, dan sarana olahraga lainnya di Desa Perjiwa, Tenggarong Seberang, pada tahun 2003 dinyatakan bebas pada 18 Agustus 2010 dengan dalih kemanusiaan akibat penyakit permanen yang dideritanya.

Meski begitu, di tahun 2011, Presiden RI yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut kembali diuji komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Beberapa kader partainya yang diduga terlibat kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, seperti Andi Malarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Angelina Sondakh (Anggota DPR RI Komisi X), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Edhi Baskoro Yudhoyono (Sekjend Partai Demokrat) dan Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat) yang kini statusnya menjadi tersangka. Belajar dari berberbagai sorotan di tahun 2010, presiden sepertinya tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang seharusnya mendapat imun dari efek kekuasaan presiden yang notabene adalah kolega satu partainya kini tak mendapatkan efek tersebut seperti yang diperoleh Aulia Pohan di tahun 2010, justru seolah terkesan Nazaruddin menjadi tumbal dalam memperbaiki pencitraan SBY (Presiden RI) sebagai tokoh anti korupsi di Indonesia yang sempat diterpuruk.

Proyeksi Di Masa Mendatang
Berdasar pada realitas yang terjadi tentang pemberantasan korupsi di Indonesia membuat komitmen pemerintah dipertanyakan totalitasnya apalagi dengan masih diberlakukannya remisi. Dalih kemanusiaan dan kekeluargaan dijadikan sebagai tameng pamungkas sehingga keadilan negara ini luntur. Para koruptor seolah dimanjakan dengan hadiah-hadiah remisi, disetiap hari besar kenegaraan dan hari raya keagamaan. Hal tersebut membuat kinerja intansi penegak hukum seakan tak diapresiasi sebagai prestasi yang membanggakan. Justru dengan sikap yang dilakukan pemerintah tak urung menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi mereka yang telah bekerja keras hingga mempertaruhkan nyawa dalam menyeret perampok negara tersebut (baca; koruptor) karena tak dapat dipungkiri instansi penegak hukum sekelas KPK misalnya harus rela dibombardir oleh intervensi kekuatan luar untuk melumpuhkan kerja-kerjanya. Oleh karena itu menurut Ketua KPK, Busyro Muqoddas bahwa remisi bagi koruptor harus dicabut agar kesadaran untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi semakin meningkat.

Lebih jauh, harusnya ada kesadaran bahwa dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan perilaku korupsi di Indonesia begitu sangat mengkhawatirkan, bahkan sampai dibuatkan undang-undang khusus Tipikor (Tindak Pidana Kasus Korupsi). Namun sepertinya pemerintah tidak begitu sadar bahwa budaya korupsi yang melanda Indonesia dengan rangking 5 dunia merupakan bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Efek yang akan timbul kemudian adalah berimbas pada stabilitas segala sektor terkhusus sektor pembangunan, perekonomian, pendidikan dan pertahanaan/ keamanan menjadi porak-poranda sehingga korban dari bencana dahsyat ini di masa mendatang adalah rakyat Indonesia sendiri.

Kebijakan pemerintah dengan memberikan remisi memperparah keadaan dengan memberi peluang besar pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Dapat dianalogikan seperti menanam benih padi di ladang sawah dimana hanya menunggu waktu tepat tikus-tikus akan berdatangan saat panen raya tiba. Korupsi akan tetap menjadi budaya yang dilestarikan di Indonesia. Di masa depan Indonesia akan tetap membudidayakan ratusan bahkan jutaan koruptor yang akan merampok negaranya sendiri dengan kekuasaan yang dimilikinya dan berujung pada kesengsaraan rakyat yang abadi.(aR)

*Penulis adalah Ketua Komisi IV Hukum dan HAM
Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar
Periode 2010-2011
Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/10/13/korupsi-menjadi-budaya-yang-dilestarikan-di-indonesia/

Read more…

Hari Antikorupsi Sedunia Jangan Hanya Seremonial

Sejak 2003, tanggal 9 Desember sudah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Antikorupsi se-Dunia. Di tanggal itu, dalam sebuah permusyawarahan antarbangsa di Mesksiko, PBB menyetujui Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption)

Para pegiat antikorupsi dunia ketika itu bersepakat mengatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama (common enemy) yang patut diberangus oleh siapapun yang menemukan dan melihat. 

Sejak beberapa hari lalu di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan (tentu saja) di Padang juga sudah dipanasi dengan berbagai kegiatan menyambut Hari Antikorupsi itu. Di berbagai negara maju yang tingkat korupsinya mendekati nol tentu saja peristiwa ini jadi peristiwa biasa-biasa saja. Akan tetapi di negeri seperti di Indonesia yang dipatok sebagai negeri terkorup (salah satu) peringatan ini memiliki arti sendiri. Ada semangat perlawanan terhadap budaya korupsi yang kian mengental tetapi juga ada semangat melawan perlawanan itu (tentu saja) dari para koruptor dan karib kerabatnya.

Lepas dari apakah itu klise atau tidak, tetapi omongan seorang Kepala Negara seperti Susilo Bambang Yudhoyono tentu patut jadi bahan pertimbangan orang banyak. Kemarin ia mengajak semua pihak agar peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati di Semarang pada 9 Desember 2011 tak sekedar seremonial dan protokoler belaka. Peringatan tersebut, kata Kepala Negara, harus memberikan potret mengenai capaian pemberantasan korupsi yang berhasil dan belum berhasil dicapai.

Rasanya harapan itu sudah di barih makan pahek. Sebab memberantas korupsi harus sama sistemiknya dengan se sistemiknya korupsi dilakukan oleh bangsa ini. Kita ingin betul-betul bicara yang konkret, tajam, dan memotret fakta yang ada. Dengan demikian, kita bisa melakukan langkah-langkah yang lebih tepat ke depan.

Bagaimana konretnya?

Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan konsolidasi kerja terkait pemberantasan korupsi. Keempat institusi tersebut hendaknya melaporkan kepada publik hasil konsolidasi kepada publik pada 9 Desember mendatang. Ini semua agar kita tidak melihat dengan skeptis upaya pemberantasan. Kita ingin lihat seberapa besar upaya itu telah membawa hasil. Hasilnya bukan saja pada banyak koruptor dijaring dan seberapa besar uang negara diselamatkan tetapi juga harus dapat kita rasakan seberapa besar semangat korupsi itu mengendor akibat terus digedor.

Sebagai penyakit global, korupsi tidak mengenal tapal batas dan limit waktu. Sustainability atau kemampuan bertahan korupsi sungguh mencengangkan. Faktanya, dari zaman kebesaran Romawi hingga keadidayaan USA detik ini, korupsi masih ada dan semakin menggurita di abad-abad terakhir ini.

Indonesia termasuk dalam deretan pasien penderita penyakit korupsi stadium akut. Corruption Perception Index yang diterbitkan oleh Transparency International (TI) mungkin bisa mendeskripsikan keterpurukan harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia internasional. TI melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berturut-turut dari tahun ke tahun adalah 1,7 (2000), 1,9 (2001-2003), 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), dan 2,3 (2007). IPK tersebut dibuat dalam skala 0-10; 0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih.
Satuhal yang juga perlu dipertimbangkan dalam peringatan Hari Antikorupsi Internasional ini adalah bagaimana agar semangat antikorupsi itu juga diwariskan. Jika budaya korup secara genetik menitis turun temurun kenapa semangat antikorupsi tidak bisa juga dikembangkan menjadi semangat yang juga diwariskan kepada generasi berikutnya. Ini semua agar pada saat satu era budaya korupsi diganyang dengan penuh semangat, pada era berikutnya semangat itu terus berlangsung.

Forum Rektor Indonesia memiliki gagasan agar menerapkan pendidikan antikorupsi untuk kalangan mahasiswa. Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI)  Prof Dr Ir Usman Rianse mengatakan, pendidikan antikorupsi harus diajarkan di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Ini  pantas diapresiasi agar para siswa di Indonesia juga ditulari semangat antikorupsi sehingga ketika ia dewasa kelak semangat itu terus bergelora di hatinya.

Kalau memang Forum Rektor berkeinginan agar di semua kampus perguruan tinggi dilaksanakan kuliah wajib ‘Pendidikan Antikorupsi’ maka ini adalah langkah spektakuler yang harus didukung semua pihak. Jangan sampai ada pula yang menghalangi gagasan ini untuk dilaksanakan dalam kurikulum perguruan tingi
 
Read more…

Tweeps Mengingatkan Kasus Besar di Hari Anti Korupsi

Hari ini 9/12/2011 seluruh dunia memperingati Hari Anti Korupsi. Pada tanggal 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) di Merida (Meksiko). Sejak saat itu, tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia.

Korupsi memang telah menjadi musuh seluruh bangsa di dunia. Terorisme adalah kejahatan yang sadis, bisa membunuh sekelompok orang bersamaan. Tapi korupsi, dia secara sistematis bisa membunuh demokrasi, membunuh perekonomian negara, membunuh nurani manusia, dan akhirnya membunuh lebih banyak orang. Karenanya banyak yang berpendapat korupsi adalah the real terorism.

Indonesia termasuk negara yang berkomitmen memberantas korupsi. Ada UU Anti Korupsi, ada lembaga ekstra Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua presiden yang tengah berkuasa di Indonesia, selalu berbicara anti korupsi, dan berjanji, menyelenggarakan pemerintahan bersih. Tapi sampai saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negera terkorup di dunia.

Pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Hari Anti Korupsi tahun 2009, menjadi pidato yang selalu diingat oleh penggiat Anti Korupsi di Indonesia. Ketika itu SBY bilang: “Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya akan terus berjuang di garis paling depan, bersama semua elemen pemberantasan korupsi, untuk memimpin jihad melawan korupsi.”

Kasus-kasus besar korupsi di Indonesia mengindikasikan, pelakunya terorganisir dan sistematis, dan parahnya, muaranya ke pusat pusat kekuasaan, partai politik serta lembaga tinggi negara. Media sosial termasuk salah satu kanal untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi.

Hari ini Tweeps, mengucapkan selamat Hari Anti Korupsi sedunia. Celakanya seorang aktivis Twitter, yang kebetulan Menteri Komunikasi dan Informatika @tifsembiring berkicau dengan tagar #HariKorupsi. Bisa jadi sedunia hanya dia menimati #HariKorupsi di hari Anti Korupsi. Akibatnya @tifsembiring di protes banyak pihak.
Di Salingsilang.com kata kunci Anti Korupsi menjadi top trending topik pagi ini. Tweeps selain mengucapkan selamat Hari Anti Korupsi, juga mengingatkan kasus-kasus besar yang belum ditindaklanjuti KPK sampai saat ini. Rekening gendut perwira Polisi dan bailout Bank Century misalnya.

 dari : salingsilang
Read more…

Pemuda, Korupsi, dan Pemiskinan Indonesia

Muhammad Bagus Irawan

Indonesia kini bagaimanapun telah berwajah buram. Darinya, seolah membuyarkan i’tikad ‘Indonesia satu’ yang diprakarsai para pejuang pada Sumpah Pemuda 82 tahun silam. Persoalannya, sampai saat ini, bagaimana peran pemuda membangun negeri ini? kenapa Indonesia menjadi negara korup? Juga mengapa Indonesia terjerambab ke dalam lubang kemiskinan? Dan kenapa keadilan sosial bagi seluruh bangsa tak tercapai? Siapa yang salah? Pertanyaan amsal itulah yang kiranya ada dalam benak bangsa yang peduli.

Secara runut, saya akan menggali korelasi dan manifestasi antarpemuda, korupsi, dan pemiskinan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki prestasi pemuda Indonesia di kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan itu. Prestasi itu sungguh memukau baik di olimpiade sains, kompetisi olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh kaum muda.

Namun prestasi internasional itu tidak sebanding dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimpin. Lagipula budaya timur itu sangatlah susah diubah, masyarakat Indonesia masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka bagi kaum muda.

Di Indonesia, jumlah pelaku wirausaha saat ini masih relatif minim. Dari populasi yang mencapai sekira 240 juta penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekira 0,2%, sedangkan jumlah wirausaha yang ideal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara itu minimal 2% dari total jumlah penduduk. Sementara itu, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang masih menganggur mencapai 17 persen dari 70 juta jiwa, atau sekitar 12 juta pemuda. Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam kondisi miskin dan berpendidikan rendah. Sementara, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Februari 2011, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 8,12 juta dengan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja.

Dengan data di atas, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal, tangguh serta ungggul menjadi kebutuhan yang perlu disiapkan melalui perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkret serta konsisten dalam penyelenggaraannya.

Dalam isu kewirausahaan golongan pemuda perlu memperoleh perhatian khusus. Selain sebagai nafas zaman, kaum mudalah yang senatiasa menjadi incaran pemasaran sebagai segmen pasar potensial. Posisi pemuda juga strategis dan khas secara budaya dan kondisi fisik serta emosional. Para pemudalah juga yang nanti mengalami persoalan besar sebagai pembayar utang bangsa, menghadapi persaingan global, serta paradigma kehidupan yang baru.

Secara falsafi manusia, ‘miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari. Manusia hidup sekali bukan untuk kehidupan miskin, namun untuk kehidupan yang berkecukupan. Dari sana, lantas ada etos kerja yang timbul untuk memenuhinya. Begitupun kata ‘korupsi’, ia adalah sifat dan praktik yang amat dijauhi demi terpenuhinya moral kehidupan manusia. Menjauhi korupsi berarti menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bersama. Namun, keduanya seolah bersinergi bersama dala rentas kehidupan bangsa kita. Evolusi kehidupan bangsa kita tak jauh bahkan erat dengan dua kata yang seharusnya dihindarkan, antara miskin dan korupsi. Tak pelak di sini saya menjabar rumus ‘korupsi=pemiskinan’.

Ditinjau dari sejarah, laku korup bangsa kita memang telah tercatat semenjak proses kolonisasi barat masuk ke Nusantara. Bagaimana laku para elite penguasa kala itu menikmati upeti-upeti tanpa kerja keras dan menerima utang dalam pelbagai bentuk, dan saat tak mampu membayar satu per satu wilayah pelabuhan dan daerah strategis dilepas ke tangan kekuasaan asing. Begitupun, saat terjadi perang suksesi dan sang raja terancam digeser dari takhta, dia lantas menjanjikan sejumlah konsesi berupa wilayah kepada VOC demi dukungan penjajah. Nahasnya, sejarah macam ini terus diulang oleh pelakunya sampai saat ini.

Ia sudah menggejala walau sejarah juga mencatat perlawanan bangsa terhadap korupsi; dimulai dari masa Orde Lama yang membentuk UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanan korupsi. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang mengeluarkan Keppres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi yang dipimpin Jaksa Agung. Hingga masa kini kita mengenal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi otoritas penuh membumihanguskan korupsi di Indonesia.

Nyatanya, sampai sekarang korupsi sudah menjadi ‘api besar’, berujung pada sindrom genosida yang amat sulit dipadamkan. Akibatnya, Indonesia dengan segala kekayaan yang semestinya—diamanatkan Pancasila— untuk menggapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia pun tak tercapai. Nahasnya, rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin, dikotomi dan ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita sudah memiliki etos kerja kuat seperti yang ditunjukkan ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang tangguh’. Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan kerana faktor struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Mereka yang termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran, vicious circle of proverty (Korupsi yang memiskinkan, Penerbit Buku Kompas 2011).

Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp 23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp 42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp 51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp 66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang dignifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; pada tahun 2004, sekitar 16,7 %; lalu turun menjadi 16% (2005); naik lagi menjadi 17,8% (2006); kemudian 16,6 % (2007); 15,4% (2008); 14,2% (2009); dan terakhir sekitar 13,3 % (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp 155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu dolar per kapita per hari. Karena ekses gejala korupsi masif dan pembusukan sekelilingnya, maka tak bisa dihindarkan pula, bila anggaran pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.

Muhammad Bagus Irawan
Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

sumber :  Okezon
Read more…

Korupsi, Pathology Sosial Atau Perilaku Sosial ?

Abdul Basyir

Ketika menawarkan diri untuk membuat makalah tentang KORUPSI, saya sama sekali tidak berpretensi bahwa saya adalah manusia yang bersih dari KORUPSI. Sebaliknya saya merasa sebagai warga yang sedikit banyak terlibat dalam perilaku KORUP, dan turut andil dalam budaya Korupsi di masyarakat. Kondisi masyarakat kita telah membuat kita secara terpaksa atau tidak, secara sukarela atau tidak, pada akhirnya mengikuti atau menyuburkan perilaku koruptif, manipulatif dan permisif (pada amanah).

Terminologi Korupsi
Kalau ditelusuri, kata "korupsi" yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filosof Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi—yang ditempatkan dalam konteks filsafat alam-nya—lebih berarti perubahan, meski dalam arti negatif.

Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (1887), menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" itu, menjadi jelas bahwa ada pergeseran semantis (makna). Tampak ada dua pergeseran. Yang pertama ada dalam terkaitnya korupsi dengan kekuasaan. Yang kedua adalah pergeseran pada hal yang dilukiskan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya. Pergeseran atau lompatan pemaknaan ini mungkin bisa menerangkan mengapa tidak ada padanan kata "korupsi" dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa Jawa, berkaitan dengan makna kekuasaannya itu.

Dalam Dunia Saya
Dalam dunia komputer, jika ada file atau data yang rusak sehingga tidak berfungsi, atau berfungsi tapi tidak maksimal, atau fungsinya di intervensi menjadi fungsi lain (dalam pengertian negatif), data tersebut di sebut CORRUPT. Jika system (dalam komputer) itu Corrupt biasanya mengakibatkan Fatal Error (Kerusakan Luas Biasa). System biasanya menjadi mandul, tidak berfungsi dan kemudian harus di replace (digantikan). System yang sudah SANGAT CORRUPT kemungkinan besar tidak dapat diperbaiki atau sangat sulit diperbaiki. Saya lebih senang menggantinya dengan system yang sama sekali baru atau dari backup terakhir yang terjamin Running Well dan tidak terkontaminasi.

Reformasi Dan Korupsi
Dulu jaman Orde Baru tema Korupsi ini adalah tema yang sangat Tabu. Tahun 90-an Prof. Sumitro Joyohadikusumo pernah menyatakan bahwa kebocoran dana APBN selama ini (saat itu) mencapai 30%. Pemerintahpun gempar dan menekan Pak Mitro sehingga akhirnya Beliau meralat atau memperhalus pernyataannya.

Setelah ekonomi Indonesia terhempas akibat over heating tahun 1998, reformasi yang di motori mahasiswa bergulir bak bola salju yang sangat dahsyat. Soeharto akhirnya mengundurkan diri ditengah desakan publik yang menilai dirinya selama ini telah berbuat SANGAT Korup, sehingga menyebabkan Indonesia yang sebenarnya kaya akan sumber daya alam, menjadi negara yang miskin. Gelombang Reformasi ketika itu sebenarnya mengkristal menjadi 6 Visi Reformasi yaitu : 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya 2. Otonomi seluas-luasnya, 3. Brantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) 4. Amandemen UUD 1945 5. Cabut Dwi fungsi ABRI 6. Tegakkan Supremasi Hukum dll.

Anehnya setelah 10 tahun reformasi bergulir, ternyata keadaan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya negara ini menjadi semakin korup dan bahkan oleh sebagian pengamat disebut sebagai negara lemah (weak states) yang sedang bergerak menjadi negara gagal (failed states).

Soeharto bukannya tidak pernah diadili, tetapi usaha-usaha untuk membawa kasus Soeharto ke pengadilan selalu di mentahkan baik oleh institusi pemerintahan ataupun institusi hukum. Otonomi yang dilaksanakan salah satunya dengan cara pilkadal, bukan malah memperbaiki daerah tersebut tetapi malah membuat perpecahan di tengah-tengah masyarakat (contoh pilkada Depok, pilkada Lampung, Pilkada Maluku Utara, dll). Ujungnya adalah bentrok antar pihak massa dan timbulnya raja-raja kecil baru hasil dari KKN baru yang lebih lokal. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme hanya sebatas Retorika Politik menjelang Pemilu, bahkan saya mensinyalir pada pemilu 2009 tidak akan ada lagi Partai yang mengusung tema BERSIH DARI KORUPSI karena terbukti semua partai ketika terjun ke parlemen tidak dapat menjaga kebersihannya. Supremasi hukum bukan di tegakkan tapi di bengkokkan sesuai dengan uang yang membayarnya. Amandemen UUD 45 memang telah dilaksanakan, tapi ternyata sebagian mengarahkan kepada neo Liberaslisme baru yang penerapannya bahkan tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat atau bahkan negara itu sendiri.

Realita Korupsi, Dari Patologi Sosial Menjadi Perilaku Sosial (Sosial Behaveour)
Tidak dipungkiri lagi bahwa kata KORUPSI adalah kata yang sangat populer saat ini, mungkin juga bersanding dengan kata CINTA. Korupsi menjadi populer karena saat ini masyarakat merasakan betul dahsyatnya dampak korupsi. BBM Naik, Harga-harga Naik, Sekolah susah dan Mahal, Persaingan semakin keras, Air Bersih susah didapat, Sehat semakin mahal, Kelaparan, Kesenjangan Sosial, Kemelaratan, Kemiskinan, Ketergantungan pada produk import, pelacuran, Kehilangan harga diri, Kebodohan dan pembodohan, dan segala macam bentuk keterpurukan serta tirani di masyarakat.

Saat ini setiap pemimpin atau pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya bisa di sebut Korup. Setiap orang yang serakah bahkan bisa saja mendapat cap tersebut. Orang yang berkolusi atau Nepotisme akan dicap juga sebagai seorang Korup. Nampak masyarakat kita mudah sekali menggunakan kata Korup ini untuk menuding pejabat.

Tetapi sebenarnya persoalan terbesar dalam memerangi korupsi di Indonesia adalah bahwa rakyat Indonesia sendiri bersikap fleksibel terhadap korupsi. Berdasarkan survei dan dalam banyak kasus, memperlihatkan masyarakat kita cenderung mendefiniskan korupsi dari segi kuantitas, yang berarti bahwa, baru akan disebut korupsi jika yang diambil secara tidak semestinya itu dalam jumlah yang besar. Banyak orang juga menganggap bahwa masih wajar jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Masyarakat baru akan merasa jijik jika orang-orang itu TERLALU SERAKAH. Masyarakat juga tidak terlalu mempermasalahkan orang yang korupsi terutama jika ia ikut menikmati hasil tersebut. Mungkin mereka akan membela orang tersebut dengan mengatakan bahwa masih banyak yang korupsi-nya lebih besar tetapi tidak tersentuh hukum.

Para Koruptor di Indonesia juga diuntungkan dengan produk hukum penjajah Belanda yang sangat memihak oknum tsb(sangat wajar mengingat mereka dahulu adalah pelaku dari tindakan tersebut). Sebagian besar produk hukum kolonial yang menjadi acuan tersebut tidak jelas dan sudah sangat ketinggalan jaman.

Klop lah dua penyebab diatas menjadi penyubur budaya korupsi di masyarakat. Yang pertama adalah sebuah pathology sosial yang telah amat-sangat akut, yaitu budaya koruptif, jalan pintas, materialistis berlebihan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif dalam amanah. Dan Kedua, kemudian bertemu dengan realitas hukum yang amburadul, baik systemnya maupun para penegaknya dan akhirnya penegakannya atau produk hukumnya.

Disinilah akhirnya yang memperparah korupsi sebagai pathology sosial itu, karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan miliaran s/d triliunan hanya beberapa tahun saja, bahkan kasus BLBI yang merugikan negara hingga 600-an triliunan dan hingga kini masih terasa efeknya, sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman, apalagi jika tidak tertangkap bukan main beruntungnya.

Pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terDISTORSI. Dari awalnya masyarakat menganggap perilaku Korupsi itu sebagai pathology sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat, saat ini masyarakat merasa orang tidak mungkin eksis kalau terlalu jujur. Akhinnya perilaku Korup itu menjadi suatu SOSIAL BEHAVIOUR (perilaku masyarakat/ perilaku sosial). Ini misalnya dapat dilihat dari kalimat JUJUR DAN CERDAS, di mata masyarakat jujur saja itu salah, tetapi ketika jujur dan CERDAS, maka itulah yang benar, karena menurut mereka jujur itu cenderung bermakna BODOH. Ini sebenarnya suatu pretensi tetapi dengan berdasarkan fakta. Faktanya adalah system di Indonesia mengharuskan orang untuk mendukung perilaku Koruptif, Manipulatif, dan Permisif.

Saya contohkan, di Jakarta, jika anda membuat KTP berapa biaya SEBENARNYA yang harus dikeluarkan dan berapa TERNYATA anda keluar biaya ? biayanya sebenarnya hampir tidak ada, tetapi anda bisa keluar biaya sangat besar dari 20rb hingga 50rb mungkin lebih. Sama halnya, jika kemudian anda menikah. Padahal mengurus menikah itu kita berurusan dengan departemen Agama, sesuatu yang sakral, mayoritas kaum santri lulusan IAIN atau UIN (sekarang), tetapi jika berhubungan dengan korupsi ya sama saja. Saat ini di setiap kelurahan di Jakarta ada program pemberdayaan masyarakat (PPMK), yang digulirkan pemda dengan dana 2 milyar setiap kelurahan. Setiap pelaksana program tersebut mendapat honor dan seharusnya program tersebut tidak berbunga. Tetapi hampir tidak ada wilayah yang membebaskan peserta program tersebut dari biaya, artinya program tersebut tetap berbunga, walaupun lebih kecil dari bunga bank.

Sektor-sektor pelayanan publik di Indonesia sangat rentan korupsi, walaupun bisa jadi kadang-kadang, nilainya (menurut pelaku) sangat kecil, sekedar salam tempel, tetapi itulah yang meyuburkan perilaku permisif amanah, dan koruptif. Pada akhirnya masyarakat kita cenderus apatis, pesimis, dan pragmatis dalam memandang perkara Korupsi ini. Dan itu menjadikan mereka (masyarakat umum) terbiasa tidak disiplin, menyepelekan peraturan (karena terang-terangan dilanggar aparat), serta senang dengan jalur-jalur instant (meskipun berbahaya).

Kembali Kepada Kejujuran Dan Hati Nurani
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa keterbukaan, Reformasi atau yang sejenisnya, itulah yang menyuburkan Korupsi. Bukan dan sama sekali bukan itu maksud saya. Masyarakat saat ini butuh contoh, teladan dalam hal kejujuran. Masyarakat butuh pemimpin yang jujur dan berhati nurani. Yang tidak korupsi, hingga hal yang sangat-sangat kecil sekalipun. Itulah yang akan merevolusi paradigma masyarakat Indonesia. Dan sebgagai bagian dari masyarakat kita harus terus bermuhasabah dan bermuroqobah, apakah perilaku kita, tindakan kita hari ini, sudah mulai koruptif, manipulatif dan permisif. Apakah kita sudah mulai menganggap remeh peraturan, mulai suka dengan jalan pintas, mulai melanggar disiplin, mulai suka subhat, mulai menyerempet yang haram, dan lain-lain perilaku manipulatif. Mulailah pemberantasan korupsi dengan perubahan RADIKAL dan berjihad pada diri sendiri untuk selalu menegakkan kejujuran dan hati nurani dalam setiap perbuatan.

Contoh Keberhasilan Dakwah Rasulullah SAW
Dan itulah yang telah di contohkan Rasulullah SAW pada lembaran sirah kenabiannya. Masyarakat Arab sebelum periode kenabian adalah masyarakat yang sangat sakit, pathology sosialnya sangat kronis. Tetapi kemudian Islam datang dan membuat perubahan radikal, dan lahirlah ummat terbaik yang kemudian memimpin dunia ini hingga berabad-abad lamanya dalam periode kegemilangan sejarah umat manusia.

Sebagian anda tentu pernah menonton film berjudul The Untouchable atau mendengar ceritanya, film ini bercerita tentang kisah nyata seorang agen FBI bernama Elliot Ness, yang hidupnya didedikasikan untuk memburu mafia penyelundup miras kejam bernama Al Capone. Saat itu Undang-undang sangat melarang peredaran minuman keras, sedangkan masyarakatnya terlanjur cinta berat dengan alkohol. Dan Film ini berarkhir dengan Capone dipenjara bukan karena praktek mafianya (menyelundup miras), tetapi karena penggelapan pajak.

Satu hal menurut saya, bahwa akhirnya Amerika mencabut undang-undang pelarangan minuman keras, hingga sekarang minuman keras legal beredar. Kebijakan anti alkoholism dianggap kebijakan yang konyol dan tidak masuk akal. Inilah kegagalan Amerika dalam mencegah alkoholism pada rakyatnya.

Sangat berbeda dengan Rasulullah yang walaupun tipe masyarakat Arab saat itu sama atau bahkan lebih parah dari karakteristik masyarakat Amerika. Tetapi kita lihat hasil dakwah Nabi saat ini, hampir tidak ada satupun minuman beralkohol di jual bebas di kalangan masyarakat Arab. Masyarakat Arab Muslim sangat anti terhadap miras dan jumlah Alkoholic Arab Muslim sangat sedikit atau hampir tidak ada. Di negara Arab Muslim yang menerapkan syariah Islam, hampir tidak ada fenomena anak-anak muda mabuk-mabukan di jalan. Dalam hal yang sama rasanya kita bisa berharap pada peperangan melawan pathology sosial korupsi ini. Mudah-mudahan.

“Tidak akan menjadi baik ummat ini, kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pendahulu mereka (generasi sahabat)”.

Wallahu ‘a lam bishowab

tulisan ini adalah makalah yang saya buat untuk tugas kuliah Pathology Sosial dengan dosen Dr. Elidar Husein di Pendidikan Kader Muballigh KODI Jakarta.

Sumber: http://abasyir.blogspot.com/
Read more…