Abdul Basyir
Ketika menawarkan diri untuk membuat makalah tentang KORUPSI, saya sama sekali tidak berpretensi bahwa saya adalah manusia yang bersih dari KORUPSI. Sebaliknya saya merasa sebagai warga yang sedikit banyak terlibat dalam perilaku KORUP, dan turut andil dalam budaya Korupsi di masyarakat. Kondisi masyarakat kita telah membuat kita secara terpaksa atau tidak, secara sukarela atau tidak, pada akhirnya mengikuti atau menyuburkan perilaku koruptif, manipulatif dan permisif (pada amanah).
Terminologi Korupsi
Kalau ditelusuri, kata "korupsi" yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filosof Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi—yang ditempatkan dalam konteks filsafat alam-nya—lebih berarti perubahan, meski dalam arti negatif.
Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (1887), menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" itu, menjadi jelas bahwa ada pergeseran semantis (makna). Tampak ada dua pergeseran. Yang pertama ada dalam terkaitnya korupsi dengan kekuasaan. Yang kedua adalah pergeseran pada hal yang dilukiskan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya. Pergeseran atau lompatan pemaknaan ini mungkin bisa menerangkan mengapa tidak ada padanan kata "korupsi" dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa Jawa, berkaitan dengan makna kekuasaannya itu.
Dalam Dunia Saya
Dalam dunia komputer, jika ada file atau data yang rusak sehingga tidak berfungsi, atau berfungsi tapi tidak maksimal, atau fungsinya di intervensi menjadi fungsi lain (dalam pengertian negatif), data tersebut di sebut CORRUPT. Jika system (dalam komputer) itu Corrupt biasanya mengakibatkan Fatal Error (Kerusakan Luas Biasa). System biasanya menjadi mandul, tidak berfungsi dan kemudian harus di replace (digantikan). System yang sudah SANGAT CORRUPT kemungkinan besar tidak dapat diperbaiki atau sangat sulit diperbaiki. Saya lebih senang menggantinya dengan system yang sama sekali baru atau dari backup terakhir yang terjamin Running Well dan tidak terkontaminasi.
Reformasi Dan Korupsi
Dulu jaman Orde Baru tema Korupsi ini adalah tema yang sangat Tabu. Tahun 90-an Prof. Sumitro Joyohadikusumo pernah menyatakan bahwa kebocoran dana APBN selama ini (saat itu) mencapai 30%. Pemerintahpun gempar dan menekan Pak Mitro sehingga akhirnya Beliau meralat atau memperhalus pernyataannya.
Setelah ekonomi Indonesia terhempas akibat over heating tahun 1998, reformasi yang di motori mahasiswa bergulir bak bola salju yang sangat dahsyat. Soeharto akhirnya mengundurkan diri ditengah desakan publik yang menilai dirinya selama ini telah berbuat SANGAT Korup, sehingga menyebabkan Indonesia yang sebenarnya kaya akan sumber daya alam, menjadi negara yang miskin. Gelombang Reformasi ketika itu sebenarnya mengkristal menjadi 6 Visi Reformasi yaitu : 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya 2. Otonomi seluas-luasnya, 3. Brantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) 4. Amandemen UUD 1945 5. Cabut Dwi fungsi ABRI 6. Tegakkan Supremasi Hukum dll.
Anehnya setelah 10 tahun reformasi bergulir, ternyata keadaan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya negara ini menjadi semakin korup dan bahkan oleh sebagian pengamat disebut sebagai negara lemah (weak states) yang sedang bergerak menjadi negara gagal (failed states).
Soeharto bukannya tidak pernah diadili, tetapi usaha-usaha untuk membawa kasus Soeharto ke pengadilan selalu di mentahkan baik oleh institusi pemerintahan ataupun institusi hukum. Otonomi yang dilaksanakan salah satunya dengan cara pilkadal, bukan malah memperbaiki daerah tersebut tetapi malah membuat perpecahan di tengah-tengah masyarakat (contoh pilkada Depok, pilkada Lampung, Pilkada Maluku Utara, dll). Ujungnya adalah bentrok antar pihak massa dan timbulnya raja-raja kecil baru hasil dari KKN baru yang lebih lokal. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme hanya sebatas Retorika Politik menjelang Pemilu, bahkan saya mensinyalir pada pemilu 2009 tidak akan ada lagi Partai yang mengusung tema BERSIH DARI KORUPSI karena terbukti semua partai ketika terjun ke parlemen tidak dapat menjaga kebersihannya. Supremasi hukum bukan di tegakkan tapi di bengkokkan sesuai dengan uang yang membayarnya. Amandemen UUD 45 memang telah dilaksanakan, tapi ternyata sebagian mengarahkan kepada neo Liberaslisme baru yang penerapannya bahkan tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat atau bahkan negara itu sendiri.
Realita Korupsi, Dari Patologi Sosial Menjadi Perilaku Sosial (Sosial Behaveour)
Tidak dipungkiri lagi bahwa kata KORUPSI adalah kata yang sangat populer saat ini, mungkin juga bersanding dengan kata CINTA. Korupsi menjadi populer karena saat ini masyarakat merasakan betul dahsyatnya dampak korupsi. BBM Naik, Harga-harga Naik, Sekolah susah dan Mahal, Persaingan semakin keras, Air Bersih susah didapat, Sehat semakin mahal, Kelaparan, Kesenjangan Sosial, Kemelaratan, Kemiskinan, Ketergantungan pada produk import, pelacuran, Kehilangan harga diri, Kebodohan dan pembodohan, dan segala macam bentuk keterpurukan serta tirani di masyarakat.
Saat ini setiap pemimpin atau pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya bisa di sebut Korup. Setiap orang yang serakah bahkan bisa saja mendapat cap tersebut. Orang yang berkolusi atau Nepotisme akan dicap juga sebagai seorang Korup. Nampak masyarakat kita mudah sekali menggunakan kata Korup ini untuk menuding pejabat.
Tetapi sebenarnya persoalan terbesar dalam memerangi korupsi di Indonesia adalah bahwa rakyat Indonesia sendiri bersikap fleksibel terhadap korupsi. Berdasarkan survei dan dalam banyak kasus, memperlihatkan masyarakat kita cenderung mendefiniskan korupsi dari segi kuantitas, yang berarti bahwa, baru akan disebut korupsi jika yang diambil secara tidak semestinya itu dalam jumlah yang besar. Banyak orang juga menganggap bahwa masih wajar jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Masyarakat baru akan merasa jijik jika orang-orang itu TERLALU SERAKAH. Masyarakat juga tidak terlalu mempermasalahkan orang yang korupsi terutama jika ia ikut menikmati hasil tersebut. Mungkin mereka akan membela orang tersebut dengan mengatakan bahwa masih banyak yang korupsi-nya lebih besar tetapi tidak tersentuh hukum.
Para Koruptor di Indonesia juga diuntungkan dengan produk hukum penjajah Belanda yang sangat memihak oknum tsb(sangat wajar mengingat mereka dahulu adalah pelaku dari tindakan tersebut). Sebagian besar produk hukum kolonial yang menjadi acuan tersebut tidak jelas dan sudah sangat ketinggalan jaman.
Klop lah dua penyebab diatas menjadi penyubur budaya korupsi di masyarakat. Yang pertama adalah sebuah pathology sosial yang telah amat-sangat akut, yaitu budaya koruptif, jalan pintas, materialistis berlebihan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif dalam amanah. Dan Kedua, kemudian bertemu dengan realitas hukum yang amburadul, baik systemnya maupun para penegaknya dan akhirnya penegakannya atau produk hukumnya.
Disinilah akhirnya yang memperparah korupsi sebagai pathology sosial itu, karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan miliaran s/d triliunan hanya beberapa tahun saja, bahkan kasus BLBI yang merugikan negara hingga 600-an triliunan dan hingga kini masih terasa efeknya, sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman, apalagi jika tidak tertangkap bukan main beruntungnya.
Pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terDISTORSI. Dari awalnya masyarakat menganggap perilaku Korupsi itu sebagai pathology sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat, saat ini masyarakat merasa orang tidak mungkin eksis kalau terlalu jujur. Akhinnya perilaku Korup itu menjadi suatu SOSIAL BEHAVIOUR (perilaku masyarakat/ perilaku sosial). Ini misalnya dapat dilihat dari kalimat JUJUR DAN CERDAS, di mata masyarakat jujur saja itu salah, tetapi ketika jujur dan CERDAS, maka itulah yang benar, karena menurut mereka jujur itu cenderung bermakna BODOH. Ini sebenarnya suatu pretensi tetapi dengan berdasarkan fakta. Faktanya adalah system di Indonesia mengharuskan orang untuk mendukung perilaku Koruptif, Manipulatif, dan Permisif.
Saya contohkan, di Jakarta, jika anda membuat KTP berapa biaya SEBENARNYA yang harus dikeluarkan dan berapa TERNYATA anda keluar biaya ? biayanya sebenarnya hampir tidak ada, tetapi anda bisa keluar biaya sangat besar dari 20rb hingga 50rb mungkin lebih. Sama halnya, jika kemudian anda menikah. Padahal mengurus menikah itu kita berurusan dengan departemen Agama, sesuatu yang sakral, mayoritas kaum santri lulusan IAIN atau UIN (sekarang), tetapi jika berhubungan dengan korupsi ya sama saja. Saat ini di setiap kelurahan di Jakarta ada program pemberdayaan masyarakat (PPMK), yang digulirkan pemda dengan dana 2 milyar setiap kelurahan. Setiap pelaksana program tersebut mendapat honor dan seharusnya program tersebut tidak berbunga. Tetapi hampir tidak ada wilayah yang membebaskan peserta program tersebut dari biaya, artinya program tersebut tetap berbunga, walaupun lebih kecil dari bunga bank.
Sektor-sektor pelayanan publik di Indonesia sangat rentan korupsi, walaupun bisa jadi kadang-kadang, nilainya (menurut pelaku) sangat kecil, sekedar salam tempel, tetapi itulah yang meyuburkan perilaku permisif amanah, dan koruptif. Pada akhirnya masyarakat kita cenderus apatis, pesimis, dan pragmatis dalam memandang perkara Korupsi ini. Dan itu menjadikan mereka (masyarakat umum) terbiasa tidak disiplin, menyepelekan peraturan (karena terang-terangan dilanggar aparat), serta senang dengan jalur-jalur instant (meskipun berbahaya).
Kembali Kepada Kejujuran Dan Hati Nurani
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa keterbukaan, Reformasi atau yang sejenisnya, itulah yang menyuburkan Korupsi. Bukan dan sama sekali bukan itu maksud saya. Masyarakat saat ini butuh contoh, teladan dalam hal kejujuran. Masyarakat butuh pemimpin yang jujur dan berhati nurani. Yang tidak korupsi, hingga hal yang sangat-sangat kecil sekalipun. Itulah yang akan merevolusi paradigma masyarakat Indonesia. Dan sebgagai bagian dari masyarakat kita harus terus bermuhasabah dan bermuroqobah, apakah perilaku kita, tindakan kita hari ini, sudah mulai koruptif, manipulatif dan permisif. Apakah kita sudah mulai menganggap remeh peraturan, mulai suka dengan jalan pintas, mulai melanggar disiplin, mulai suka subhat, mulai menyerempet yang haram, dan lain-lain perilaku manipulatif. Mulailah pemberantasan korupsi dengan perubahan RADIKAL dan berjihad pada diri sendiri untuk selalu menegakkan kejujuran dan hati nurani dalam setiap perbuatan.
Contoh Keberhasilan Dakwah Rasulullah SAW
Dan itulah yang telah di contohkan Rasulullah SAW pada lembaran sirah kenabiannya. Masyarakat Arab sebelum periode kenabian adalah masyarakat yang sangat sakit, pathology sosialnya sangat kronis. Tetapi kemudian Islam datang dan membuat perubahan radikal, dan lahirlah ummat terbaik yang kemudian memimpin dunia ini hingga berabad-abad lamanya dalam periode kegemilangan sejarah umat manusia.
Sebagian anda tentu pernah menonton film berjudul The Untouchable atau mendengar ceritanya, film ini bercerita tentang kisah nyata seorang agen FBI bernama Elliot Ness, yang hidupnya didedikasikan untuk memburu mafia penyelundup miras kejam bernama Al Capone. Saat itu Undang-undang sangat melarang peredaran minuman keras, sedangkan masyarakatnya terlanjur cinta berat dengan alkohol. Dan Film ini berarkhir dengan Capone dipenjara bukan karena praktek mafianya (menyelundup miras), tetapi karena penggelapan pajak.
Satu hal menurut saya, bahwa akhirnya Amerika mencabut undang-undang pelarangan minuman keras, hingga sekarang minuman keras legal beredar. Kebijakan anti alkoholism dianggap kebijakan yang konyol dan tidak masuk akal. Inilah kegagalan Amerika dalam mencegah alkoholism pada rakyatnya.
Sangat berbeda dengan Rasulullah yang walaupun tipe masyarakat Arab saat itu sama atau bahkan lebih parah dari karakteristik masyarakat Amerika. Tetapi kita lihat hasil dakwah Nabi saat ini, hampir tidak ada satupun minuman beralkohol di jual bebas di kalangan masyarakat Arab. Masyarakat Arab Muslim sangat anti terhadap miras dan jumlah Alkoholic Arab Muslim sangat sedikit atau hampir tidak ada. Di negara Arab Muslim yang menerapkan syariah Islam, hampir tidak ada fenomena anak-anak muda mabuk-mabukan di jalan. Dalam hal yang sama rasanya kita bisa berharap pada peperangan melawan pathology sosial korupsi ini. Mudah-mudahan.
“Tidak akan menjadi baik ummat ini, kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pendahulu mereka (generasi sahabat)”.
Wallahu ‘a lam bishowab
tulisan ini adalah makalah yang saya buat untuk tugas kuliah Pathology Sosial dengan dosen Dr. Elidar Husein di Pendidikan Kader Muballigh KODI Jakarta.
Sumber: http://abasyir.blogspot.com/