Indonesia kini bagaimanapun telah berwajah buram. Darinya, seolah membuyarkan i’tikad ‘Indonesia satu’ yang diprakarsai para pejuang pada Sumpah Pemuda 82 tahun silam. Persoalannya, sampai saat ini, bagaimana peran pemuda membangun negeri ini? kenapa Indonesia menjadi negara korup? Juga mengapa Indonesia terjerambab ke dalam lubang kemiskinan? Dan kenapa keadilan sosial bagi seluruh bangsa tak tercapai? Siapa yang salah? Pertanyaan amsal itulah yang kiranya ada dalam benak bangsa yang peduli.
Secara runut, saya akan menggali korelasi dan manifestasi antarpemuda, korupsi, dan pemiskinan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki prestasi pemuda Indonesia di kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan itu. Prestasi itu sungguh memukau baik di olimpiade sains, kompetisi olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh kaum muda.
Namun prestasi internasional itu tidak sebanding dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimpin. Lagipula budaya timur itu sangatlah susah diubah, masyarakat Indonesia masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka bagi kaum muda.
Di Indonesia, jumlah pelaku wirausaha saat ini masih relatif minim. Dari populasi yang mencapai sekira 240 juta penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekira 0,2%, sedangkan jumlah wirausaha yang ideal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara itu minimal 2% dari total jumlah penduduk. Sementara itu, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang masih menganggur mencapai 17 persen dari 70 juta jiwa, atau sekitar 12 juta pemuda. Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam kondisi miskin dan berpendidikan rendah. Sementara, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Februari 2011, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 8,12 juta dengan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja.
Dengan data di atas, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal, tangguh serta ungggul menjadi kebutuhan yang perlu disiapkan melalui perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkret serta konsisten dalam penyelenggaraannya.
Dalam isu kewirausahaan golongan pemuda perlu memperoleh perhatian khusus. Selain sebagai nafas zaman, kaum mudalah yang senatiasa menjadi incaran pemasaran sebagai segmen pasar potensial. Posisi pemuda juga strategis dan khas secara budaya dan kondisi fisik serta emosional. Para pemudalah juga yang nanti mengalami persoalan besar sebagai pembayar utang bangsa, menghadapi persaingan global, serta paradigma kehidupan yang baru.
Secara falsafi manusia, ‘miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari. Manusia hidup sekali bukan untuk kehidupan miskin, namun untuk kehidupan yang berkecukupan. Dari sana, lantas ada etos kerja yang timbul untuk memenuhinya. Begitupun kata ‘korupsi’, ia adalah sifat dan praktik yang amat dijauhi demi terpenuhinya moral kehidupan manusia. Menjauhi korupsi berarti menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bersama. Namun, keduanya seolah bersinergi bersama dala rentas kehidupan bangsa kita. Evolusi kehidupan bangsa kita tak jauh bahkan erat dengan dua kata yang seharusnya dihindarkan, antara miskin dan korupsi. Tak pelak di sini saya menjabar rumus ‘korupsi=pemiskinan’.
Ditinjau dari sejarah, laku korup bangsa kita memang telah tercatat semenjak proses kolonisasi barat masuk ke Nusantara. Bagaimana laku para elite penguasa kala itu menikmati upeti-upeti tanpa kerja keras dan menerima utang dalam pelbagai bentuk, dan saat tak mampu membayar satu per satu wilayah pelabuhan dan daerah strategis dilepas ke tangan kekuasaan asing. Begitupun, saat terjadi perang suksesi dan sang raja terancam digeser dari takhta, dia lantas menjanjikan sejumlah konsesi berupa wilayah kepada VOC demi dukungan penjajah. Nahasnya, sejarah macam ini terus diulang oleh pelakunya sampai saat ini.
Ia sudah menggejala walau sejarah juga mencatat perlawanan bangsa terhadap korupsi; dimulai dari masa Orde Lama yang membentuk UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanan korupsi. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang mengeluarkan Keppres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi yang dipimpin Jaksa Agung. Hingga masa kini kita mengenal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi otoritas penuh membumihanguskan korupsi di Indonesia.
Nyatanya, sampai sekarang korupsi sudah menjadi ‘api besar’, berujung pada sindrom genosida yang amat sulit dipadamkan. Akibatnya, Indonesia dengan segala kekayaan yang semestinya—diamanatkan Pancasila— untuk menggapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia pun tak tercapai. Nahasnya, rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin, dikotomi dan ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita sudah memiliki etos kerja kuat seperti yang ditunjukkan ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang tangguh’. Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan kerana faktor struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Mereka yang termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran, vicious circle of proverty (Korupsi yang memiskinkan, Penerbit Buku Kompas 2011).
Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp 23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp 42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp 51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp 66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang dignifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; pada tahun 2004, sekitar 16,7 %; lalu turun menjadi 16% (2005); naik lagi menjadi 17,8% (2006); kemudian 16,6 % (2007); 15,4% (2008); 14,2% (2009); dan terakhir sekitar 13,3 % (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp 155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu dolar per kapita per hari. Karena ekses gejala korupsi masif dan pembusukan sekelilingnya, maka tak bisa dihindarkan pula, bila anggaran pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.
Muhammad Bagus Irawan
Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang