Rezki Satris   
“Mustahil untuk mereformasi suatu negara  jikalau korupsi masih merajalela”  inilah sepenggal kata yang dikatakan  oleh Edgago buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes  of Corruption in the Judiciary.  Indonesia kini telah memasuki usia 13  tahun dari pasca reformasi. Sebuah usia yang kalau diibaratkan dengan  manusia telah memasuki fase remaja. sebuah fase perubahan dari  ketidaktahuan menjadi lebih banyak tahu, dari fase belajar berjalan  hingga masuk kefase berlari. Dalam konteks Indonesia yang sudah memasuki  13 tahun pasca reformasi, harusnya mampu berdiri dan berlari untuk  mencapai tingkat kematangan. Namun pada kenyataannya, Indonesia saat ini  ternyata hanya berjalan di tempat dan bahkan mengulang rezim sebelum  reformasi. 
Lantas, sebuah pertanyaan yang muncul, apa yang telah di  reformasi oleh Indonesia saat ini? Apakah pemerintahannya atau elit-elit  politiknya yang dari tahun ke tahun ketika tiba saatnya pemilu hanya  disibukkan dengan persoalan mereka sendiri, atau korupsinya yang konon  ketika rezim Orde Baru di tumbangkan itu dikarenakan korupsi yang telah  merugikan negara dan masyarakat. Kalau memang halnya demikian, lantas  apa bedanya dengan yang sekarang? Apakah Indonesia saat ini telah  menjadi sebuah negara yeng terbebas dari elit-elit politik yang hanya  mementingkan kelompoknya dan kini berubah menjadi Dewa yang telah  mementingkan rakyat kecil atau saat ini negara bersih dari korupsi oleh  para penguasa yang tidak pernah puas akan kekayaan? Untuk menjawab  semuanya, mari kita melihat sejenak dalam alam bawa sadar kita sebuah  realitas kehidupan di Indonesia. Berbagai media telah menyorot persoalan  bangsa saat ini. Salah satu persoalan yang menjadi head line news dari  berbagai media saat ini adalah sorotan seputar korupsi. 
Korupsi yang  dilakukan oleh para penguasa bangsa kita mulai dari Legislatif,  Eksekutif hingga pada tingkatan Yudikatif yang telah mencederai  nilai-nilai reformasi. Sebuah pengkhiatan yang mengatas namakan rakyat  yang dilakukan oleh para penguasa yang korup terhadap bangsa dan negara.  Seperti yang dikatakan oleh Syed Hussein Alatas yang cenderung menyebut  bahwa “korupsi sebagai suatu bentuk pengkhianatan”. 
Wajar kalau bangsa  ini selamanya akan terpuruk karena orang-orang yang bertanggung jawab  mengurus bangsa hanya mementingkan dirinya sendiri. Jangan bermimpi  mendapatkan negara Indonesia yang makmur dan sejahtera seperti yang  tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 sementara negara ini  masih berada dalam lingkaran Setan yang terus-menerus hanya memikirkan  kepentingan sendiri.  Seperti yang dikatakan oleh Edgago Buscaglia dan  Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the  Judiciary diatas bahwa “Mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau  korupsi masih merajalela”. 
Kita tidak bisa menafikan bahwa korupsi  adalah sumber segala bencana dan kejatahan yang terjadi di negara kita.  Koruptor bahkan lebih berbahaya dan licik dari Teroris. Berapa banyak  manusia yang hidup dalam lingkaran kemiskinan di negara kita yang  seharusnya mendapatkan kehidupan yang layak?. Berapa banyak manusia yang  hidup di negara kita tidak mampu berobat hanya karena persoalan  ekonomi? Berapa banyak manusia yang hidup di negara kita tidak mampu  mendapatkan pendidikan yang layak lagi-lagi hanya karena persoalan  ekonomi?. Benar apabila Deni Indrayana mengatakan dalam bukunya Negeri  Para Mafioso bahwa “Adalah mimpi di siang bolong untuk memberantas  kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, mempertinggi mutu  pendidikan dan lainnya, bila korupsi masih dibiarkan menari-nari di  depan mata”. 
Perang melawan korupsi sudah seharusnya menjadi harga mati  bagi setiap rakyat di Indonesia dan tidak hanya lembaga yang mengurusi  korupsi seperti KPK, POLRI, Peradilan saja yang berkewajiban terhadap  penanganan korupsi tetapi harus menjadi kewajiban bersama.  Dalam  memberantas korupsi di Indonesia diperlukan sebuah langkah perubahan  yang tidak terpatok pada sebuah sistem. Benar, ketika ada yang  mengatakan bahwa “seperti apapun sistemnya dibentuk, dan sebagus apapun  sistemnya diterapkan, kalau memang manusianya bobrok, maka korupsi akan  tetap merajalela”. Kegagalan bangsa kita dalam memberantas korupsi  adalah terletak pada ketidak perhatian kita terhadap pemberdayaan  masyarakat khususnya generasi muda. Kita sering terkungkung dan terpatok  pada sebuah sistem, sehingga cenderung bersikap masa bodoh dan  cenderung mengandalkan sistem. Padahal sistem yang baik adalah sebuah  sistem yang didalamnya semua kalangan masyarakat turut andil tanpa ada  diskriminasi khususnya kaum muda. Peran kaum muda dalam memberantas  korupsi sangat dibutuhkan. Kaum mudalah yang menjadi fondasi terhadap  masa depan bangsa. Sebagaimana generasi muda sering di identikkan dengan  agent of change (agen perubahan). Generasi muda mampu menjadikan negara  ini menjadi negara yang makmur yang terlepas dari korupsi. Kesadaran  dan partisipasi kaum muda dalam memberantas korupsi sangat diharapkan.  Dengan kesadaran dan moralitas yang tinggi akan mampu menjadikan bangsa  kedepan menjadi lebih baik.