Peran Dan Fungsi Ormas Dalam Membangun Partisipasi Masyarakat Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih Dari KKN*
Kamis, 10 Februari 2011
Oleh: KH. Abdullah Cholil,
M.Hum*
Pendahuluan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebenarnya menjadi
masalah banyak Negara dan bukan sesuatu fenomena baru pula dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Praktik tidak terpuji itu sudah hadir sejak bangsa Indonesia
telah menjadi satu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Pada awal kemerdekaan,
sudah dikenal istilah kong kali kong atau
TST (Tahu Sania Tahu) yang artinya tidak
berbeda dengan apa yang dilakukan dalam praktik korupsi. Pada masa itu sudah
terdapat beberapa pejabat Negara yang ditengarai dan bahkan diadili karena
terlibat dalam korupsi (Raharjo, 1999). Namun, virus praktik yang merisaukan
itu semakin meluas sepanjang pemerintahan Orde Baru, dan nampaknya masih
berlangsung sampai saat ini. Dengan meluasnya gejala virus korupsi itu Bung
Hatta, Proklamator dan mantan Wakil Presiden RI, setuju dengan pendapat
Suhartini, seorang Dosen Universitas Gadjah Mada, bahwa korupsi telah menjadi
bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia (Noer, 1990). Begitu membudayanya
praktik korupsi itu sampai-sampai sebuah media internasional menempatkan
Indonesia sebagai Negara yang paling korupsi di Asia (Muhammad, 1999).
Terobosan-terobosan besar dilakukan
oleh Negara ini untuk memberantas korupsi (KKN). Mulai dari pembuatan
Undang-Undang Anti Korupsi hingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Masyarakat juga diberikan akses informasi yang cukup tentang
transparansi kebijakan - kebijakan birokrasi pemerintahan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. LSM dan NGO juga tumbuh berkembang dan diharapkan mampu
untuk menekan seminimal mungkin terjadinya tindak KKN. Namun, jamur KKN belum
juga musnah. Indonesia seakan menjadi lingkungan/habitat yang baik untuk
pertumbuhan virus KKN. KKN telah menjadi bagian budaya Indonesia.
Mengapa
Terjadi Budaya KKN Di Indonesia ?
Tidak mudah memang untuk menjawab
pertanyaan itu dengan ringkas, karena masalah ini menyangkut semua dimensi kehidupan
bangsa, baik ekonomi, politik, social, budaya dan sebagainya. Pembacaan
sementara terhadap maraknya praktik korupsi di Indonesia dapat terpetakan dalam
dua Faktor. Pertama, dari sudut
internal pelaku korupsi itu sendiri. Ada keyakinan bahwa praktik itu didorong
oleh rendahnya gaji pegawai negeri. Pada awal kemerdekaan, Bung Hatta telah
mengingatkan bagaimana pentingnya memberikan gaji yang memadai kepada pegawai
negeri, agar mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak terjerembab untuk
melakukan korupsi (Noer, 1987). Namun, cukup atau tidaknya gaji tergantung pada
mentalitas dan gaya hidup seseorang, sehingga factor paling menentukan
sebenarnya adalah rasa tidak puas dan selalu kekurangan. Mereka yang mudah
terjerumus pada praktik itu adalah mereka yang memiliki mentalitas yang
"selalu merasa kekurangan" (unsatiable
mentality) Kedua, Faktor (Eksternal) sosio-kultural bangsa yang berada di
luar diri pelaku korupsi. Diantaranya adalah factor beban cultural (cultural burden) yang membebani pundak
banyak orang terutama para aparat pemerintah. Lompatan struktur jabatan akibat
kondisi transisional yang sedang dihadapi para aparat Negara. Faktor ini
seringkali nampak pada "aparat-aparat baru “ ataupun " aparat naik
jabatan". Ada semacarn shock culture
dalam mental aparat dalarn masa transisional, sepertinya ada tuntutan untuk
dapat memenuhi standar symbol- simbol kehidupan tertentu sesuai dengan tuntutan
profesi. Selain itu juga, niaraknya budaya konsumtif dalam realitas budaya
masyarakat Indonesia. Kebijakan pembangunan yang relative terbuka (di jaman
pemerintahan Orde Baru) telah menyediakan peluang baru bagi masuknya pelbagai
produk industri dari Negara-negara maju ke tengah denyut jantung kehidupan
masyarakat. Walaupun sebagian besar produk itu baru dapat dikonsumsi oleh
masyarakat perkotaan, tetapi corak kehidupan baru telah mengalir ke relung-relung
kehidupan masyarakat pedesaan. McDonalisasi
pasar Indonesia, demikian kira - kira symbol penjajahan ekonomi modern
Negara-negara kapitalis. Telah terjadi babak baru negeri ini, sebuah pola
budaya baru terbentuk yang disebut dengan consumer
culture (Featherstone, 1991).
Faktor selanjutnya, sebagai akibat
dari budaya konsumen, Gengsi dan Gaya hidup mewah. Media informasi dan hiburan
telah menjadi single actor dan terbesar
dalarn mempengaruhi budaya gengsi plus hidup mewah masyarakat desa.
Sinetron-sinetron dan tayangan televisi telah membius para kaum muda dengan
segala hedonisme yang meliurkan lidah. Tayangan-tayangan kehidupan yang serba
gampang, enak dan hanya mempersoalkan tentang percintaan telah mengalihkan
perhatian dan simpati kaum muda terhadap, persoalan pelik yang dihadapi Negara.
Dialog dan Diskusi tokoh tentang persoalan Negara actual telah tergeser oleh
sinetron-sinetron ataupun oleh tayangan selebritis papan atas. Bahkan para
Anggota legislative pun mulai enggan untuk melihat dan mendengarkan pidato
kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Sungguh transisi budaya`yang sangat
cepat. Hidup mewah dan rasa gengsi menyebabkan masyarakat akan selalu merasa
kekurangan, sehingga mereka membutuhkan dana tambahan yang tidak lain diperoleh
melalui praktik korupsi (KKN). Inilah actor yang akan mengakhiri kejayaan
sebuah bangsa dari masa keemasannya, sebagaimana hancurnya Daulah Abbasiyah
sebab terlelap dalarn gaya hidup mewah masyarakatnya.
Wilayah
Kerja Dan Fungsi Ormas Dalam Mengikis Praktik KKN
Ormas dan NGO sebagai lembaga yang
bersentuhan langsung dengan realita masyarakat di level grass root, dituntut harus mampu melakukan pembacaan, memberikan
pernahaman serta melakukan pendampingan dari perilaku dan ancaman yang akan
menghegemoni masyarakatnya, baik secara fisik maupun pernikiran. Sebab sebagai
sebuah lembaga yang berada di tengah-tengah antara penguasa (dalarn hal ini
pemerintah dan lembaga public service lainnya)
di satu sisi dan rakyat (masyarakat ataupun anggotanya) di sisi lain, Ormas dan
NGO harus mampu menjadi lidah penyambung antara dua sisi yang sangat rentan
terjadi konflik kepentingan. Sebagai lembaga yang berada di tengah-tengah
(penyeimbang dari tindakan penguasa yang lebih superior di hadapan rakyat), NGO
dan Ormas harus bersikap sebagai pihak yang independent, bukan malah
memposisikan diri sebagai pembela rakyat maupun penguasa. Walaupun dalam banyak
kasus rakyat selalu menjadi obyek derita dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa, namun ada juga rakyat yang secara semena-mena telah melakukan
pengrusakan terhadap lingkungan hidup, misalnya, sehingga perlu diadakan
pembinaan dan penyadaran kolektif masyarakat. Namun dalam kasus Korupsi, jelas
NGO ataupun Ormas lainnya akan menjadi pelindung rakyat.
Ada beberapa langkah yang dapat
dilaksanakan NGO baik secara langsung bersarna-sama masyarakat ataupun melalui
Birokrasi Pemerintahan yang terkait untuk mengikis habis praktik KKN dalarn
kehidupan masyarakat.
pEsensial ; Niat untuk menanggulangi korupsi harus
menjadi tujuan bersama dari segenap komponen masyarakat atau "one heart and mind", kata
Convey (1999). Innama al Amal bin niyati (Sesungguhnya
segala perbuatan itu semua tergantung pada Niat). Artinya dengan niat suci ada
semangat dan keberanian untuk mengambil resiko apapun yang tidak mudah dihadapi,
terutama di kalangan elite baru kemudian upaya yang lebih strategis dapat
dilakukan. Hal ini bisa dilakukan dg. kampanye serta aksi solidaritas dlm skala
nasional baik lewat mass media maupun dialog dan seminar.
pIdeal ; Langkah ideal adalah upaya jangka
panjang yang berkelanjutan, yaitu menanamkan nilai budaya dan moralitas kepada
masyarakat,terutama generasi muda, untuk meyakini bahwa praktik korupsi itu adalah
sesuatu yang buruk dan jahat, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat dan
Negara. Upaya ini dapat dilakukan lewat pendidikan moral baik di tingkat
masyarakat ataupun di kalangan birokrat.
pStrategis ; Langkah ini dilakukan dengan upaya
keras untuk menutup semua lubang dan kesempatan bagaimanapun kecilnya, yang
memungkinkan digunakan untuk berlangsungnya praktik korupsi. Menegakkan
kepastian hukum tanpa diskriminatif, optimalisasi lembaga pemberantasan korupsi
menutup celah-celah penyimpangan & kesalahan interpretasi UU. (hukum)
sehingga substansi hukum tidak dapat dipermainkan lagi oleh para lawyer.
Ada banyak teori tentang bagaimana
membangun perencanaan strategis, langkah taktis serta manajerial issue dan
komunikasi massa yang harus dilakukan oleh NGO agar misi dan target dapat
tercapai. Namun yang paling penting, dalam mengaplikasikan segala teorinya
tersebut, mulai dari Advokasi, MoU, class
action dan lain sebagainya, seharusnya lebih ditujukan untuk meningkatkan
nalar kritis (memberdayakan masyarakat) dengan meningkatkan keberanian
masyarakat untuk berbicara dalam lingkaran struktur kekuasaan. Sehingga pada
saat NGO ataupun Ormas tersebut lepas dari satu lembaga etalase dan beralih
membina lembaga etalase yang lain, yang terjadi adalah pemberdayaan masyarakat.
Ketergantungan masyarakat grass root kepada sebuah lembaga NGO/Ormas menjadi
hilang dan keberanian untuk berbicara dalam struktur politik dapat muncul.
Penutup
Korupsi di Indonesia telah menjadi
bagian dari budaya bangsa, sehingga budaya haruslah dilawan dengan budaya baru.
NGO harus dapat membuat dan mendeklarasikan budaya baru (minimal membongkar
budaya tersebut) yang lebih membawa masyarakat ke jenjang kehidupan yang lebih
baik. Tutup seluruh celah dan peluang terjadinya praktik korupsi serta bersilhkan
sedikit demi sedikit para oknum birokrasi dari budaya korupsi. Selamatkan
mereka dari budaya yang salah dan menjerumuskan rakyat dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia sehingga menjadi para birokrat yang bersih dan bebas dari KKN.
*) Disampaikan dalam
Dialog Hukum " Membangun Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih dari KKN '
diselenggarakan oleh PAC Gerakan Pemuda
Ansor Gapura Sumenep tanggal 28 Agustus 2005 di Aula Kantor MW NU Gapura
Sumenep
*) Adalah Pengasuh
Pondok Pesantren AI Usymuni Terate Pandian Sumenep selaku Ketua Tanfidziyah PCNU
Sumenep