Oleh : Angga Rieskiyanto*
“Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely” (Lord Acton) Korupsi hanya bisa dilakukan jika ada kekuasaan. Lord Action mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolute, cenderung absolute korupsinya. Dalam UNCAC (UU 7/2006) disebutkan bahwa relasi kuasa dan korupsi sangat berbahaya yakni merusak demokrasi (pemilu), merusak aturan hukum (suap dalam legislasi), merusak pembangunan berkelanjutan (dana pembangunan disuap), merusak pasar (ada suap tender), merusak kualitas hidup (pendidikan, kemiskinan), merusak HAM (mengurangi hak hidup). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat total kerugian negara akibat korupsi pengadaan barang dan jasa mencapai Rp 689,195 milliar. Jumlah tersebut dihitung dari kasus yang ditangani KPK sejak 2005-2009. Sebesar Rp 2 Triliun lebih, potensi kerugian negara dalam semester satu tahun 2010, akibat dari 176 kasus korupsi yang terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Uang yang dikorupsi merupakan uang yang seharusnya dialokasikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pasca reformasi, diciptakan dua inovasi pemberantasan korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Namun, KPK yang diharapkan mampu menjadi trigger bagi institusi peradilan yang korup, justru kedodoran. Serangan balik dari koruptor terbukti melemahkan KPK. Pengadilan Tipikor menjadi sangat gemuk dan rawan dijangkiti mafia peradilan. Hal tersebut disebabkan UU Pengadilan Tipikor mengamanatkan Pengadilan Tipikor didirikan sesuai dengan wilayah kota/kabupaten yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri di wilayah tersebut. Selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan tidak melibatkan peran penting masyarakat. ditekankan pada pemberantasan korupsi. Pencegahan korupsi belum menjadi prioritas. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi biasanya menitik beratkan pada elemen kelembagaan (elemen institusional) dan elemen kaedah aturan (elemen instrumental) serta penegakan hukum (law enforcement).
Namun meninggalkan pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Padahal menurutnya hukum harus dipandang sebagai suatu kesatuan hukum, elemen-elemen diatas merupakan kesatuan yang seharusnya bergerak seimbang dan sinergis. Pemasyarakatan dan pendidikan anti korupsi yang dapat dilakukan pada jenjang pendidikan yaitu dengan menciptakan suasana anti korupsi di kelas. Hal itu dapat diimplementasikan dengan role play ( bermain peran). Di dalam kelas dapat dibentuk peraturan yang berisi larangan untuk berbuat korup dan juga terdapat aparat penegak hukum untuk menindak pelaku perbuatan korup. Pemain diganti setiap bulan agar setiap peserta didik dapat merasakan dan mengimplementasikan peran serta mendapatkan pelajaran anti korupsi.
Setelah diinternalisasi dengan role play peserta didik juga dapat menjadi subyek pembudayaan hukum dengan pementasan kesenian. Mata pelajaran kesenian dapat menjadi sarana. Pementasan kesenian tersebut dapat berupa drama yang bertemakan anti korupsi. Dalam lingkup pendidikan menengah dan tinggi. Pendidikan anti korupsi dapat dilakukan dengan Focus Grup Discussion (FGD) yang bertujuan untuk membedah kasus-kasus korupsi yang terdekat dengan kehidupan peserta didik. Metode outbond pun bisa dilakukan yakni dengan memasukkan nilai anti korupsi di tiap permainan yang dilakukan. Contoh konkritnya ialah di setiap pos penjagaan outbond, peserta didik diharapkan mampu mengidentifikasi perilaku korup. Pembudayaan hukum juga harus dilakukan dalam lingkup pendidikan tinggi hukum. Seperti telah dipaparkan di awal bahwa pendidikan tinggi hukum harus mampu menciptakan pekerja-pekerja kemanusiaan dan penegak keadilan.
Dalam kegiatan akademis, mata kuliah etika dan keprofesian hukum menjadi salah satu cara yang efektif. Mahasiswa diperkenalkan pada dunia peradilan dan permasalahan yang terjadi. Termasuk tentang korupsi. Sebagai contoh mahasiswa diminta untuk menganalisa kasus suap yang terjadi dalam proses peradilan. Telaah kasus akan membuat mahasiswa lebih memahami nilai-nilai anti korupsi. Peran serta masyarakat bahkan pemuda dapat ditingkatkan dengan membuat kegiatan sosialisasi anti korupsi. Salah satunya dengan membuat sekolah anti korupsi sebagai salah satu pendidikan informal.
Sekolah anti korupsi bisa diinisiasi oleh organisasi mahasiswa, institusi peradilan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam sekolah anti korupsi, peserta diberikan pemahaman mengenai korupsi dan juga kemampuan untuk menginvestigasi kasus korupsi. Seperti yang tertuang dalam UU no 31 tahun 1999 ayat 41 pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa masyarakat memiliki hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hokum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
Manfaat yang didapat selain mampu menginternalisasikan nilai anti korupsi juga menambah kemampuan mahasiswa untuk dapat menginvestigasi kasus korupsi sebelum akhirnya menyerahkan kepada aparatur penegak hukum. Jelas korupsi merugikan banyak hal sehingga disini peran pemuda memiliki tempat yang strategis dalam pemberantasan korupsi. Maka keterhimpunannya seluruh elemen masyarakat baik aparatur penegak hukum dan masyarakat umum dalam pemberantasan korupsi dapat memberikan kesinergisan dalam upaya menghasilkan Indonesian’s Zero Coruption.
*Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Peserta Pelatihan Citizen Jurnalism for Anti Coruption