Gerand
Berbicara tentang korupsi tidak akan ada habisnya. Tidak perlu heran, korupsi
sudah menjadi tradisi atau budaya yang akan sulit dihapus. Karena telah menjadi
semacam sifat genetik dalam diri manusia itu sendiri dan akan terus berulang.
Kita memerlukan peredam untuk mematahkan gerakan masif tindakan korupsi agar
efeknya tidak meluas dan peredam yang ampuh ada pada diri kita sendiri.
Marah,
geram itulah yang ada dalam hati kita, saat mendengar korupsi semakin
merajalela. Sejak reformasi, gendang telah ditabuh sebagai bertanda perang
terhadap korupsi. Itu berarti peperangan melawan korupsi secara intens telah
lebih satu dekade, alhasil korupsi bukan malah surut tapi malah menjamur.
Semakin keras diperangi koruptor makin tiada takutnya. Meski suara-suara
lantang menderu-deru terdengar dari para pemimpin negeri dan suara parlemen
jalanan bah desingan mesin-mesin peluru tidak juga membuat nyali para koruptor
menjadi ciut.
Berbicara
tentang korupsi, memang tidak akan ada habisnya. Barangkali umur korupsi itu
sendiri, sudah setua sejak manusia ada dimuka bumi ini. Seandainya usia korupsi
sedemikian tuanya, maka tidak perlu heran, korupsi sudah menjadi tradisi atau
budaya yang akan sulit dihapus. Karena telah menjadi semacam sifat genetik
dalam diri manusia itu sendiri dan akan terus berulang.
Sesungguhnya
apakah yang memotivasi manusia itu sendiri untuk melakukan korupsi. Banyak hal,
karena pada dasarnya manusia memiliki keinginan dan kebutuhan. Selain itu,
banyak simpul-simpul lain yang mendorong manusia itu untuk melakukan korupsi.
Ingin kaya, dihormati, dan tidak kekurangan dalam segala hal apapun. Jika saat
ini korupsi marak terjadi di lingkungan birokrasi itu sendiri, karena ada
masalah mekanisme yang tidak bekerja dengan baik dalam sistem, lengahnya
pengawasan. Seperti saat ini, korupsi dilakukan tidak hanya perorangan tapi
sudah berjamaah. Itu berarti lingkungan juga turut mempengaruhi akan semakin
meningkatnya tindakan korupsi.
Dan
yang paling menyedihkan, generasi muda yang menjadi tumpuan harapan, menjadi
tameng di garda depan untuk memutuskan rantai korupsi, tidak mau kalah dari
seniornya, masih jauh dari harapan. Pusat Penelitian dan Analisa Transaksi
Keuangan (PPATK) merilis 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) muda kaya
terindikasi korupsi (DetikNews 09/12/2011). Sepertinya regenerasi koruptor
masih akan terus berlanjut. Semoga saja para penegak hukum yang kredibel tidak
menjadi lengah dan kehabisan mesiu-mesiu untuk memupus manusia-manusia koruptor
ini.
Dilihat
dari sisi manapun, baik hukum, agama, sosial korupsi selalu menyisakan hal yang
tidak enak karena telah merampas hak banyak orang yang membuat rakyat semakin
menderita. Dari segi penegakan hukum, meski hukum sendiri telah memberikan
konsukuensi hukuman yang berat, korupsi tetap merajalela. Di lihat dari sisi
norma agama, sebenarnya kurang apalagi ajaran-ajaran yang telah disampaikan
para pendeta, ulama kepada umatnya untuk berbuat yang terbaik dalam hidup ini,
agar tidak merampas ataupun menginginkan hak-hak orang lain. Hancurnya, justru
yang kelihatan taat beribadah adalah pelaku berat yang sangat hebat. Hebatnya
di tengah-tengah masyarakat para koruptor ini juga yang menjadi sang pahlawan
dermawan.
Segala
cara telah ditempuh untuk mencegah perbuatan korupsi, baik secara hukum.
Melalui himbauan-himbauan di mimbar-mimbar umum bahkan di rumah-rumah ibadah.
Di rumah ibadah misalnya seruan untuk memerangi korupsi frekuensinya perlu
ditingkatkan, masih ada ketabuan untuk membicarakan hal tersebut, belum
disampaikan secara substansial. Seharusnya rumah peribadatan inilah menjadi
pintu terakhir untuk selalu mengingatkan secara berulang-ulang untuk menangkal
korupsi ini.
Kita
memerlukan peredam (softbreaker)
untuk mematahkan gerakan masif tindakan korupsi agar efek yang ditimbulkannya
tidak semakin meluas. Dan peredam yang ampuh hanya ada dalam diri kita sendiri.
Karena korupsi sudah seperti genetik dalam diri manusia maka korupsi tidak akan
bisa dihapus, tapi bisa diredam. Salah satunya berpaling pada diri kita
masing-masing dengan meningkatkan pola hidup sederhana, mencukupkan diri dengan
apa yang ada.
Selain
itu, kita harus menjadi alarm bagi orang lain, saling mengingatkan, bahwa
korupsi itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Dan jangan jauh-jauh, kita
mulai dari kelompok kecil, mulai dari rumah atau keluarga kita. Mudahan-mudahan
itu membawa efek besar setelah kita keluar dari rumah kita untuk meredam segala
gerak-gerik korupsi.
Sebagai
manusia yang memiliki pengharapan, saya percaya kita malu disebut sebagai orang
yang tidak beriman. Jika begitu, kita semua adalah orang ber-iman, adalah
manusiawi kita sering diselimuti rasa khawatir tapi janganlah sampai mendorong
kita bertindak, tidak pada jalurnya untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang
tidak tepat. Kata bijak mengatakan, kesusahan sehari cukuplah hanya untuk
sehari. Ini berarti hari-hari memiliki kecukupannya sendiri. Asal ada pakaian
dan makanan cukuplah. Jangan menimbun kekayaan. Sebab itu, tidak akan kita bawa
mati.