Negeri ini sedang dilanda badai korupsi di segala instansi
pemerintahan maupun swasta. Hal ini hampir tidak bisa di bendung mengingat
budaya korupsi sudah semakin kental. Upaya-upaya yang terus dilakukan
Pemerintah untuk menekan angka korupsi di tanah air seakan tidak mampu
memberikan jalan yang tepat. Itu pula yang menjadikan negeri ini menjadi salah
satu negara terkorup di dunia.
Menurut survei
Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah
3, berangkat 0,2 dari skor tahun lalu, dengan pengertian dari skala 0-10 (0
berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih).
Dan Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara, artinya Indonesia masih berada dalam jajaran
negara terkorup. Skor Indonesia masih
dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand (Kompas, 2/12/11).
Data-data di atas semoga memacu pimpinan KPK dan seluruh
lapisan yang terkait untuk lebih serius memperhatikan permasalahan ini. Para
koruptor memang harus ditindak tegas dan peradilan harus merata, tidak dengan
cara tebang pilih, dengan menyikat habis para koruptor yang menjadi teroris di
negeri ini.
Setelah terpilihnya pimpinan baru KPK harapan besar akan ada perubahan untuk
pemberantasan korupsi sangat digantungkan kepada lembaga ini. Walau banyak
pihak masih meragukan sepak terjang lembaga penindak korupsi ini. Terpilihnya
Abraham Samad sebagai pemimpin KPK dengan suara mayoritas dan merupakan sosok
yang menjadi pilihan para politisi yang duduk di Komisi III DPR-RI. Terpilihnya
Samad oleh banyak pihak dinilai karena dia lebih mudah dikendalikan partai.
Namun demikian tanggapan itu adalah sebuah tanggapan yang masih belum kita tahu
bagaimana hasilnya, karena pimpinan KPK yang baru akan memulai kiprahnya pada
hari Sabtu (17/12) akhir pekan lalu.
Begitu banyaknya kasus-kasus besar yang menanti kepemimpinan KPK yang baru
adalah menjadi satu jalan menuju trasformasi kinerja KPK yang mulai banyak
diragukan masyarakat. Dari kebijakan-kebijakan yang diambil kelak, semoga
lembaga ini perlahan tapi pasti diharapkan bisa membuka tabir dari tindakan
para koruptor yang mengotori negeri ini.
Tetapi kita jangan lupa bahwa para koruptor yang merugikan negara dan mengambil
hak-hak para kaum termarjinalkan bukan saja ditemukan dikalangan petinggi di
pemerintahan atau para elit politik di negeri ini saja. Para koruptor kecil
yang sering terlupakan juga harus ditindak tegas, mengingat sudah membudayanya
korupsi di tanah air. Karena itu, pemberantasan korupsi tidak lagi hanya
berlaku dikalangan para pejabat yang punya tangguk kekuasaan di pemerintahan
saja.
Para pelaku korupsi di level bawah meski dilakukan secara kecil-kecilan, tetapi
tindakannya cukup meresahkan karena nyaris dilakuan hampir di terjadi instansi
pemerintahan. Korupsi kecil-kecilan ini umumnya sasarannya adalah rakyat kecil
yang cari makan sajapun sudah sulit. Tindakan (korupsi) seperti ini sering kita
temukan di kehidupan kita sehari-hari, seperti pada saat mengurus
keperluan administrasi atau surat menyurat. Biasanya sering kali kita di bebankan
dengan "ucapan terimakasih". Sebagai contoh pada saat
pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) misalnya, kita harus direpotkan dengan
berbagai administrasi yang menyulitkan. Terkadang kita bisa satu harian
mengurus SIM. Di sini layanan yang kita dapatkan seringkali mengecewakan kita.
Sampai pada akhirnya kita sering kali ditawari salah satu petugas dengan
mengatakan "mau mengurus SIM ya Pa". Dengan logat yang lembut seakan
memberikan bantuan dengan tulus si pengurus SIM pun menjawab "ya Pa".
Maka terjadilah kesepakatan di antara mereka yang akhirnya si pengurus SIM
harus mengeluarkan rupiah lebih besar dari tarif yang sudah ditentukan
sebelumnya. Bukankah ini adalah "koruptor yang sopan?" Dengan
kesepakatan dan sama-sama mau akhirnya korupsi berjalan mulus dan ini sangat
sulit diretas mengingat alasan sama-sama mau.
Bahkan kita juga jumpai kejadian yang mirip dengan contoh di atas. Bahkan
kejadian ini tidak terjadi di gedung pemerintahan atau swasta atau perkantoran.
Ini terjadi dan kita saksikan di pinggir jalan ketika ada razia kendaraan roda
dua dan roda empat yang dilakukan polisi lalulintas. Sesuai dengan aturan yang
berlaku sebaiknya para pengendara bermotor yang tidak sesuai dengan aturan
berlalulintas wajib di Tindak Langsung (Tilang). Yakni dengan memberikan surat
Tilang tanda kapan disidangkan kasusnya kepada pengendara. Namun di luar dari
itu masih banyak kita jumpai kejadian-kejadian aneh ketika ada kesepakatan
pengendara dengan petugas yang memberikan salam tempel yang akhirnya petugas
"memaafkan" kesalahan pengendara. Ini merupakan ironi korupsi yang
dilakukan dengan cara sopan yang tidak merasa dirugikan satu sama lain.
Pengendara bebas dari hukuman sedangkan petugas mendapat jatah tambahan dengan
rupiah yang telah diterima.
Masih banyak lagi contoh-contoh tindakan korupsi yang dilakukan dengan
motif-motif seperti di atas. Di kantor-kantor misalnya, kita sering di bebankan
dengan memberikan uang untuk menyelesaikan surat keterangan dan surat-surat
penting lainnya yang notabenenya adalah tugas dan tanggungjawab pegawai di mana
kita meminta surat itu. Dan tidak jarang juga ini kita temukan pada proses
perijinan usaha yang sampai pada sekala yang lebih besar. Para pegawai
pemerintahan sering sekali meraup untung pribadi sehingga harus merugikan keuangan
negara sampai triliunan rupiah.
Inilah yang saya katakan bahwa korupsi telah membudaya dan dilakukan dengan
sangat sopan bagaikan sebuah silahturahmi bagi masyarakat kita di negeri ini.
Masyarakat secara umum sering kali mengomentari para koruptor yang menjadi
buronan KPK. Padahal tidak jarang mereka juga melakukannya walau jumlahnya
kecil seperti contoh di atas. Kecil atau besar, tetap saja itu sebuah kesalahan
atau dosa sesuai dengan ajaran agama. Artinya korupsi sudah di halalkan jika
seperti ini kondisinya.
Karena itu perlu dilakukan evaluasi secara mendalam agar korupsi bisa ditekan.
Masyarakat juga harus menyadari bahwa budaya korupsi harus dihapus mulai dari
bawah sehingga negeri ini menjadi negeri yang bebas dari korupsi. Jadi , tak
hanya koruptor kakap saja yang ditindak tegas. Koruptor kecil dan
berlagak sopan seperti pembahasan di atas juga harus diberantas. Ini jika kita
ingin dikatakan serius menangani korupsi di negeri ini.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama mulai dari komponen terkecil, di samping
dukungan dalam setiap program pemberantasan korupsi terutama di
instansi-instansi pemerintah. Caranya, dengan mengingatkan para pegawainya
untuk tidak melakukan korupsi sekalipun dengan dalih uang terimakasih. Dan
kepada KPK selaku lembaga penindak para koruptor, harus benar-benar jeli
dalam memutus perkara, dan jauh dari kepentingan politik, serta mampu
mempertahankan independensinya. Tentu juga pemerintah harus serius
mengkampanyekan gerakan anti korupsi secara berkesinambungan, serta memberikan dorongan
untuk menyelesaikan kasus korupsi. Bukan menjadi tempat perlindungan
(safe haven) koruptor. (Jon Roi Tua Purba)
Penulis adalah guru dan aktif di Campus Concern Medan (CC-Medan), tinggal di
Pematangsiantar.