Sejak 2003, tanggal 9 Desember sudah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Antikorupsi se-Dunia. Di tanggal itu, dalam sebuah permusyawarahan antarbangsa di Mesksiko, PBB menyetujui Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption)
Para pegiat antikorupsi dunia ketika itu bersepakat mengatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama (common enemy) yang patut diberangus oleh siapapun yang menemukan dan melihat.
Sejak beberapa hari lalu di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan (tentu saja) di Padang juga sudah dipanasi dengan berbagai kegiatan menyambut Hari Antikorupsi itu. Di berbagai negara maju yang tingkat korupsinya mendekati nol tentu saja peristiwa ini jadi peristiwa biasa-biasa saja. Akan tetapi di negeri seperti di Indonesia yang dipatok sebagai negeri terkorup (salah satu) peringatan ini memiliki arti sendiri. Ada semangat perlawanan terhadap budaya korupsi yang kian mengental tetapi juga ada semangat melawan perlawanan itu (tentu saja) dari para koruptor dan karib kerabatnya.
Lepas dari apakah itu klise atau tidak, tetapi omongan seorang Kepala Negara seperti Susilo Bambang Yudhoyono tentu patut jadi bahan pertimbangan orang banyak. Kemarin ia mengajak semua pihak agar peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati di Semarang pada 9 Desember 2011 tak sekedar seremonial dan protokoler belaka. Peringatan tersebut, kata Kepala Negara, harus memberikan potret mengenai capaian pemberantasan korupsi yang berhasil dan belum berhasil dicapai.
Rasanya harapan itu sudah di barih makan pahek. Sebab memberantas korupsi harus sama sistemiknya dengan se sistemiknya korupsi dilakukan oleh bangsa ini. Kita ingin betul-betul bicara yang konkret, tajam, dan memotret fakta yang ada. Dengan demikian, kita bisa melakukan langkah-langkah yang lebih tepat ke depan.
Bagaimana konretnya?
Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan konsolidasi kerja terkait pemberantasan korupsi. Keempat institusi tersebut hendaknya melaporkan kepada publik hasil konsolidasi kepada publik pada 9 Desember mendatang. Ini semua agar kita tidak melihat dengan skeptis upaya pemberantasan. Kita ingin lihat seberapa besar upaya itu telah membawa hasil. Hasilnya bukan saja pada banyak koruptor dijaring dan seberapa besar uang negara diselamatkan tetapi juga harus dapat kita rasakan seberapa besar semangat korupsi itu mengendor akibat terus digedor.
Sebagai penyakit global, korupsi tidak mengenal tapal batas dan limit waktu. Sustainability atau kemampuan bertahan korupsi sungguh mencengangkan. Faktanya, dari zaman kebesaran Romawi hingga keadidayaan USA detik ini, korupsi masih ada dan semakin menggurita di abad-abad terakhir ini.
Indonesia termasuk dalam deretan pasien penderita penyakit korupsi stadium akut. Corruption Perception Index yang diterbitkan oleh Transparency International (TI) mungkin bisa mendeskripsikan keterpurukan harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia internasional. TI melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berturut-turut dari tahun ke tahun adalah 1,7 (2000), 1,9 (2001-2003), 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), dan 2,3 (2007). IPK tersebut dibuat dalam skala 0-10; 0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih.
Satuhal yang juga perlu dipertimbangkan dalam peringatan Hari Antikorupsi Internasional ini adalah bagaimana agar semangat antikorupsi itu juga diwariskan. Jika budaya korup secara genetik menitis turun temurun kenapa semangat antikorupsi tidak bisa juga dikembangkan menjadi semangat yang juga diwariskan kepada generasi berikutnya. Ini semua agar pada saat satu era budaya korupsi diganyang dengan penuh semangat, pada era berikutnya semangat itu terus berlangsung.
Forum Rektor Indonesia memiliki gagasan agar menerapkan pendidikan antikorupsi untuk kalangan mahasiswa. Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Dr Ir Usman Rianse mengatakan, pendidikan antikorupsi harus diajarkan di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Ini pantas diapresiasi agar para siswa di Indonesia juga ditulari semangat antikorupsi sehingga ketika ia dewasa kelak semangat itu terus bergelora di hatinya.
Kalau memang Forum Rektor berkeinginan agar di semua kampus perguruan tinggi dilaksanakan kuliah wajib ‘Pendidikan Antikorupsi’ maka ini adalah langkah spektakuler yang harus didukung semua pihak. Jangan sampai ada pula yang menghalangi gagasan ini untuk dilaksanakan dalam kurikulum perguruan tingi