Ardiansyah Jasman
Predikat Indonesia yang ditorehkan sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik rupanya tak mampu menyadarkan pemerintah untuk lebih tegas dalam menangani kasus yang merugikan negara ini. Meski dalam kenyataannya berbagai kasus korupsi telah diungkap dan para koruptor telah diseret dalam buih, namun pada aplikasinya masa hukuman yang dikenakan pada penjahat kerah putih tersebut tergolong sangat ringan dengan masa tahanan rata-rata sekitar 4,5 tahun. Ditambah lagi hak narapidana memperoleh remisi yang telah diatur oleh Keputusan Presiden nomor 174 tahun 1999 Tentang Remisi dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang dipertegas dalam pasal 14 bahwa setiap narapidana (termasuk kasus korupsi) mempunyai hak mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana seolah memberi kesan bahwa negara tidak begitu konsisten dan total dalam pemberantasan kasus korupsi di negara ini.
Pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi pasca Hari Proklamasi Kemerdekaan dan Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi bahan perbincangan dan selalu menjadi kontroversial bagi banyak kalangan. Pro kontra selalu mendengung dan alot dalam setiap ruang-ruang diskusi diberbagai media. Di satu sisi pemerintah tetap berdalih bahwa sebagai bangsa yang beradab pemerintah berkewajiban memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap pelanggar hukum karena keberadaban sebuah bangsa dapat diukur dari sejauh mana pemerintah mampu memberikan perlakuan yang terbaik terhadap pelanggar hukum; Perlakuan yang didasarkan pada penghormatan hak dan martabat kemanusiaan, karena pelanggar hukum merupakan bagian dari warga negara yang tetap memiliki hak-hak yang mesti dihormati dan dipenuhi. Namun disisi lain rentetan sejarah bangsa tidak dapat dipungkiri telah memperlihatkan kasus korupsi yang begitu memilukan di bangsa ini dengan kerugian negara rata-rata mencapai 2 triliun dalam per tahun, padahal vonis yang dijatuhkan dalam masa tahanan tertentu diharapkan menjadi efek jera bagi setiap tedakwa kasus korupsi. Namun dengan pemberlakuan remisi yang diberikan oleh pemerintah berpotensi mementahkan efek tersebut dan berindikasi menurunkan frekuensi kerja-kerja lembaga penegakan hukum negara seperti KPK dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi. Wakil ketua KPK M. Jasin menyadari kondisi tersebut dan mengatakan bahwa aturan yang mengatur tentang remisi harus segera diperbaiki menyesuaikan dengan undang-undang pemberantasan korupsi. Menurutnya tak pantas kalau pemerintah memberikan pengampunan terhadap kejahatan yang luar biasa ini (korupsi). Oleh karena itu ia meminta kepada pemerintah untuk segera meratafikasi pemberian remisi untuk narapidana korupsi. Apalagi tercatat bahwa pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini saja pemerintah memberikan remisi kepada 235 narapidana kasus korupsi dari berbagai lembaga permasyarakatan ataupun rumah tahanan (rutan) di seluruh wilayah Indonesia. Luar biasa! (Republika, 30/08/11).
Komitmen Presiden (Sebagai Pemerintah) Terhadap Korupsi (?)
Komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi menjadi kontradiksi akibat pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi. Bukti konkret pada tahun 2010 silam, Aulia pohan yang juga besan presiden RI itu dijerat kasus korupsi dengan dakwaan terbukti menyetujui pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar untuk bantuan hukum kasus lima mantan pejabat BI dan dialirkan ke DPR untuk diseminasi UU Bank Sentral yang diseret ke dalam buih. Lucunya, dalam menjalani masa tahanan, Aulia Pohan telah beberapa kali menerima hadiah remisi. Pada tahun 2009 Aulia Pohan mendapatkan remisi selama satu bulan disertai remisi khusus selama 15 hari saat lebaran. Dan pada tahun 2010 lagi-lagi Aulia pohan menerima remisi selama tiga bulan yaitu pada tanggal 17 Agustus. Selain remisi, Aulia juga telah memperoleh asimilasi selama dua bulan, sehingga Besan orang nomor satu di Indonesia tersebut dapat meninggalkan tahanan dalam jangka waktu tertentu dan pada endingnya dinyatakan bebas bersyarat pada Agustus 2010. Selain itu masih ditahun 2010, Syaukani mantan Bupati Kutai Kartanegara juga tidak luput dari kebijakan Sang Presiden yang memberikannya kado istimewa berupa grasi (pengampuan untuk dibebaskan). Syaukani yang terjerat kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan velodrome, sport hall, dan sarana olahraga lainnya di Desa Perjiwa, Tenggarong Seberang, pada tahun 2003 dinyatakan bebas pada 18 Agustus 2010 dengan dalih kemanusiaan akibat penyakit permanen yang dideritanya.
Meski begitu, di tahun 2011, Presiden RI yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut kembali diuji komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Beberapa kader partainya yang diduga terlibat kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, seperti Andi Malarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Angelina Sondakh (Anggota DPR RI Komisi X), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Edhi Baskoro Yudhoyono (Sekjend Partai Demokrat) dan Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat) yang kini statusnya menjadi tersangka. Belajar dari berberbagai sorotan di tahun 2010, presiden sepertinya tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang seharusnya mendapat imun dari efek kekuasaan presiden yang notabene adalah kolega satu partainya kini tak mendapatkan efek tersebut seperti yang diperoleh Aulia Pohan di tahun 2010, justru seolah terkesan Nazaruddin menjadi tumbal dalam memperbaiki pencitraan SBY (Presiden RI) sebagai tokoh anti korupsi di Indonesia yang sempat diterpuruk.
Proyeksi Di Masa Mendatang
Berdasar pada realitas yang terjadi tentang pemberantasan korupsi di Indonesia membuat komitmen pemerintah dipertanyakan totalitasnya apalagi dengan masih diberlakukannya remisi. Dalih kemanusiaan dan kekeluargaan dijadikan sebagai tameng pamungkas sehingga keadilan negara ini luntur. Para koruptor seolah dimanjakan dengan hadiah-hadiah remisi, disetiap hari besar kenegaraan dan hari raya keagamaan. Hal tersebut membuat kinerja intansi penegak hukum seakan tak diapresiasi sebagai prestasi yang membanggakan. Justru dengan sikap yang dilakukan pemerintah tak urung menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi mereka yang telah bekerja keras hingga mempertaruhkan nyawa dalam menyeret perampok negara tersebut (baca; koruptor) karena tak dapat dipungkiri instansi penegak hukum sekelas KPK misalnya harus rela dibombardir oleh intervensi kekuatan luar untuk melumpuhkan kerja-kerjanya. Oleh karena itu menurut Ketua KPK, Busyro Muqoddas bahwa remisi bagi koruptor harus dicabut agar kesadaran untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi semakin meningkat.
Lebih jauh, harusnya ada kesadaran bahwa dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan perilaku korupsi di Indonesia begitu sangat mengkhawatirkan, bahkan sampai dibuatkan undang-undang khusus Tipikor (Tindak Pidana Kasus Korupsi). Namun sepertinya pemerintah tidak begitu sadar bahwa budaya korupsi yang melanda Indonesia dengan rangking 5 dunia merupakan bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Efek yang akan timbul kemudian adalah berimbas pada stabilitas segala sektor terkhusus sektor pembangunan, perekonomian, pendidikan dan pertahanaan/ keamanan menjadi porak-poranda sehingga korban dari bencana dahsyat ini di masa mendatang adalah rakyat Indonesia sendiri.
Kebijakan pemerintah dengan memberikan remisi memperparah keadaan dengan memberi peluang besar pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Dapat dianalogikan seperti menanam benih padi di ladang sawah dimana hanya menunggu waktu tepat tikus-tikus akan berdatangan saat panen raya tiba. Korupsi akan tetap menjadi budaya yang dilestarikan di Indonesia. Di masa depan Indonesia akan tetap membudidayakan ratusan bahkan jutaan koruptor yang akan merampok negaranya sendiri dengan kekuasaan yang dimilikinya dan berujung pada kesengsaraan rakyat yang abadi.(aR)
*Penulis adalah Ketua Komisi IV Hukum dan HAM
Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar
Periode 2010-2011
Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/10/13/korupsi-menjadi-budaya-yang-dilestarikan-di-indonesia/