Setelah kampanye terbuka dimulai, pada saat itu pula, politisi mulai mengibuli secara terbuka. Meski kibul mengibuli sudah dilakukan sejak dinobatkan sebagai politisi, tetapi kini akan lebih seru. Apalagi, politisi lekat dengan figur pembohong dan gampang ingkar janji.
Saya kemudian menjadi terhentak ketika beberapa hari terakhir, ketika semua partai politik menurunkan orang-orang hebat untuk menjadi Jurkamnas dalam Pileg 9 April 2014 ini. Bagi saya, itu tidak menjadi persoalan.
Tetapi, jika tidak untuk mengibuli, tentu tidak perlu menurunkan segala kekuatan demikian untuk berkampanye. Sebab, masyarakat tetap akan lebih percaya kepada sesuatu yang nyata. Nyata memperjuangkan aspirasi rakyat dan nyata memperjuangkan nasib rakyat. Bukankah setiap Pemilu selalu berkampanye? Bukankah janji-janji para politisi tetap itu-itu saja? Figur ingkar janji semakin dekat.
Pada suatu kesempatan, sebelum kampanye terbuka benar-benar di buka. Salah satu warga kedatangan tamu calon anggota legislatif (caleg). Caleg yang tidak mau saya sebutkan namanya ini, jika tidak salah, sudah dua kali mencalonkan diri menjadi anggota DPRD dari salah satu Parpol terkenal dan terdaftar di KPU. Tetapi, dua kali pula dia masih belum dipilih oleh rakyat.
Saya sangat bangga dengan orang ini. Bukan bangga karena jadi politisi. Tetapi bangga karena semangat untuk terus berjuang tak pernah surut meski selalu gagal. Barangkali, dia berprinsip bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Semoga tidak tertunda terus ya!
Setelah sampai di rumah warga, waktu itu malam hari pukul 22.00. Si tuan rumah langsung mengumpulkan masyarakat agar datang ke rumahnya karena ada caleg yang akan berjuang untuk rakyat. Akan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Jalan yang tidak diaspal, akan segera diaspal.
Singkat cerita, setelah caleg dibantu tuan rumah itu, berceramah menghipnotis warga, lalu si caleg pulang. Menariknya, rasan-rasan dari warga bukan malah empati karena sudah dua kali menjadi caleg gagal. Bukan pula semangat untuk memilihnya nanti. Tetapi, karena tidak memberikan uang sama sekali kepada warga menjadi rasan-rasan tak menarik.
Meski si caleg telah memberikan secuil catatan agar siapa yang memilih nanti dicatat, tetap tidak digubris karena diyakini akan ingkar janji. Saya tidak tahu untuk apa pemilih dia itu dicatat. Untuk diberi uang, diberi janji atau apa, saya jelas tidak tahu. ”Jangan menjadi caleg jika tidak punya dana. Toh pada akhirnya nanti juga lupa kepada kita,” kata salah satu warga.
Kisah lain, lagi-lagi ini adalah kisah kedatangan caleg ke rumah-rumah kampung penduduk di salah satu desa di Madura. Ketika caleg lain ini datang ke rumah tokoh masyarakat, tokoh tersebut langsung mengundang seluruh masyarakat agar berkumpul dalam suatu tempat.
Berkumpullah puluhan hingga ratusan warga di tempat yang ditentukan itu. Lalu, bak pahlawan datang kesiangan, si caleg langsung menyampaikan visi dan misi. Tepuk tangan dan sorak sorai seakan mendukung penuh pada caleg tersebut, mulai terdengar.
Menariknya, warga rupanya tidak mau tertipu dengan janji dan ungkapan caleg tersebut. Mereka langsung meminta kepada si caleg agar melakukan perbaikan jalan sebelum menjadi anggota DPRD. Sebab, kerusakan infrastruktur jalan sudah bertahun-tahun dibiarkan hingga akan ganti dewan. Nah, jika hal tersebut dipenuhi, warga menjamin 100 persen akan memilih caleg tersebut.
”Jika memenuhi tuntutan kami sekarang, kami akan lebih tepat janji. Suara kami untuk anda. Sebab, sudah setiap tahun janji palsu caleg selalu terdengar tetapi tetap saja jalan yang dapat menunjang ekonomi masyarakat dibiarkan tanpa ada perbaikan” kiritik dan desakan salah satu warga itu.
Ada kisah menarik lain, ada salah satu anak muda memberi stiker salah satu caleg. Saat berjumpah pak tani, anak muda itu berkata dengan membawa stiker caleg ”Ini gambar caleg terbaik kita nanti pak. Karena akan menentukan masa depan desa ini lima tahun ke depan. Kita tidak boleh salah pilih,” terang pemuda tadi berapi-api.
Seperti yang saya tulis dalam rubrik Jendela ini, bapak tani terlihat hanya senyum dan tertawa. Lalu dia berkata, ”Ini benar-benar caleg ”se sae” (yang baik dan enak) ya dik?” tanya pak tani tani.
”Betul, itu caleg sae (baik) untuk dijadikan sebagai wakil kita di DPR. Dia memiliki visi dan misi untuk memajukan masyarakat dan menyejahterakan rakyat,” jelasnya lagi-lagi cukup panjang. Mungkin, pemuda ini mulai berfikir bahwa orang tersebut dipastikan akan mengikuti dan akan memilih jagoannya itu.
”Maksud saya, apa ada ”saeketnya” (50 ribu-nya) gitu? Jika tidak ada ’itu’-nya, lebih baik kerja di sawah, Dik. Wakil rakyat hanya menebar janji dan mendekat pada rakyat kecil seperti saya hanya ketika menjelang pemilihan. Saat tidak ada pemilu, mereka hilang entah kemana,” ujarnya. Pemuda muda tadi tidak bisa menjawab. Hanya diam seribu bahasa.
Realitas ini menggambarkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada politisi benar-benar berkurang. Sebab, meski sudah berjanji dan berjanji tetap tidak bisa memenuhi janjinya. Apalagi, setiap lima tahun selalu digelar pesta demokrasi dan meminta masyarakat agar ikut berpartisipasi. Namun, nyatanya masyarakat miskin tetap terus bertambah, warga buta haruf tetap saja tidak bisa dibendung jumlahnya. Kepentingan masyarakat dipolitisir demi kepentingan pribadi dan golongan.
Akhirnya, pada kampanye terbuka ini, saya sebagai warga yang punya hak suara memilih hanya berharap, semua politisi memahami bahwa politik adalah suci. Politik bisa dijadikan sebagai sarana dakwah. Bukan sebagai sarana untuk mengibuli dan mempolitisasi kepentingan masyarakat demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jika politisi tidak ingkar janji, masyarakat pasti bertindak lebih terpuji. Tingkah laku membohongi sudah tidak ngetren dan membosankan. Semoga politisi kita benar-benar berpolitik sesuai amanat penderitaan rakyat. (Busri Taha)