Oleh:
Aris Arif Mundayat
Kasus
Bank Century belum pernah tuntas kemudian muncul kasus Gayus yang mengungkap
mafia peradilan. Kasus ini belum selesai menyusul kasus Nazarudin yang membawa
nama-nama petinggi Partai Demokrat dengan kasus korupsi. Ketika kasus ini mulai
diperiksa dengan tertangkapnya Nazarudin, muncul lagi kasus suap yang
melibatkan anggota DPR dan Kemenakertrans. Kasus demi kasus saling menyusul dan
sambung menyambung tanpa ada ujung penyelesaian yang jelas. Masalah ini bukan
hanya menandakan adanya pembusukan atau tidak berfungsinya lembaga yudikatif
sehingga lamban dalam menangani kasus, namun juga menunjukkan adanya pembusukan
di lembaga legislatif dan eksekutif. Bagaimana bisa tiga lembaga trias politika
membusuk secara bersamaan? Apa yang salah dengan negeri ini?
Jika kita
lihat dari aspek “political financing” (pendanaan politik) kita dapat
melihat rangkaian sebab akibat yang telah mengkondisikan terjadinya pembusukan
di tiga sendi lembaga politik modern tersebut. Masyarakat politik (political
society) yang mewadahi dirinya dalam partai politik seringkali merupakan
perkumpulan elite ekonomi yang menggerakkan bisnis di tingkat kabupaten/kota,
propinsi maupun pemain ekonomi nasional. Ini adalah anak-anak dan cucu dari
hasil perselingkuhan antara politisi dan pelaku bisnis pada masa Orde Baru.
Mereka bukanlah pebisnis yang tumbuh karena kewirausahaan yang kuat, namun
lebih merupakan pelaku ekonomi yang menjadi besar karena berkolusi dengan
negara. Anak-anak hasil perselingkuhan tersebut masih meniru perilaku ekonomi
dan politik orang tuanya. Banyak politisi dan anak-anak politisi yang membangun
perseroan terbatas dan firma serta perusahaan sub kontrak yang secara rutin
memperoleh tender dengan proyek-proyek pemerintah. Uang proyek itulah yang
mereka gunakan untuk mendanai partai politik yang mereka dirikan, dan
sebaliknya partai politik itu pula yang membuka kunci pintu pendanaan dari uang
negara guna menghidupi bisnis mereka. Mereka inilah yang mewarnai masyarakat
politik di Indonesia sejak Orde Baru hingga pasca reformasi. Pada dasarnya
tidak ada perubahan yang mendasar dalam masalah ini.
Pada aras
sosial politik yang berbeda kita memiliki masyarakat sipil yag selama Orde Baru
mengalami proses depolitisasi. Dalam era itu pengelompokan masyarakat sipil
lebih digerakkan oleh negara untuk kepentingan mendukung kebijakan pemerintah
yang merupakan bangunan politik ekonomi oligarki yang telah memperselingkuhkan
politisi dan pebisnis. Dalam kondisi seperti ini kita hanya memiliki
“masyarakat sipil semu” yang mengorganisir diri ke dalam berbagai kelompok
masyarakat yang terkorporasi untuk kepentingan Negara. Kita dapat mengatakan
bahwa yang muncul adalah korporatisme Negara bukan korporatisme sosial. Di lain
pihak, pada masa itu kita memiliki organisasi non pemerintah yang memperoleh
dana dari luar yang berseberangan dengan negara, namun tidak memiliki kemampuan
untuk membangun gerakan sosial maupun korporasi sosial yang kuat untuk
mempengaruhi pemerintah dan membangun engagement (kerjasama) atau linkage
(jembatan penghubung) antara pemerintah dan masyarakat sipil aktif yang
mandiri. Akibat dari kondisi ini masyarakat sipil tidak memiliki kekuatan
kontrol yang kuat terhadap masyarakat politik. Akibatnya ketika di era
reformasi –yang mana telah tersedia infrastruktur demokrasi procedural-- kita
menyelenggarakan Pemilu maka yang terjadi justru masyarakat politik yang telah
tergabung dalam partai politik membeli suara sebesar Rp 20.000,00 per orang
untuk memberikan dukungan suara. Ini bukan demokrasi yang substantive ketika
politik uang itu masih merupakan instrument untuk memperoleh suara.
Politik
uang dalam hal ini adalah produk dari perselingkuhan antara pebisnis dan
politisi (yang merupakan anak cucu dari hasil perselingkuhan di era Orde Baru)
dengan masyarakat sipil yang belum terberdayakan secara politik. Keturunan dari
perselingkuhan ini adalah “politisi najis” yang kemudian terpilih untuk duduk
dalam lembaga legislative dan yang terpilih menjadi pimpinan politik dari
lembaga eksekutif. ‘Politisi najis’ tersebut terus melakukan praktek korupsi uang
rakyat untuk kelangsungan bisnis dan posisi politik mereka dengan melakukan
penyuapan terhadap elite lembaga yudikatif, menyuap sesama ‘politisi najis’ di
lembaga legislative khususnya melalui badan anggaran dan juga menyuap eksekutif
yang menduduki jabatan atas dasar ‘politik dagang sapi’ yang sering disebut
sebagai koalisi strategis antara partai yang dominan dengan partai-partai lain
untuk kepentingan memuluskan kepentingan politik dan ekonomi masing-masing
partai atau masyarakat politik.
Pembusukan
trias politika di indonesia adalah akibat dari banyaknya ‘politisi najis’
di tiga lembaga tersebut. kenyataan ini ini luput dari perhatian kaum reformis
yang lebih asyik dalam urusan demokrasi prosedural, bahkan banyak pula reformis
yang justru terkena imbas kenajisan politik uang yang mewabah. Perlu ada
perundang-undangan yang tegas untuk mencegah terjadinya berbagai perselingkuhan
politik dan ekonomi yang telah dibahas di atas agar tidak menghasilkan
‘politisi najis’ untuk lahir di negri ini. Untuk menegakkan undang-undang
tersebut diperlukan aktor di lembaga yudikatif yang bersih dan mampu menerapkan
hukum dengan pasti. Selain itu, perlu pula pemberdayaan politik bagi masyarakat
sipil agar mereka mampu membangun korporasi sosial dan linkage yang kuat agar
dapat ikut andil dalam mengontrol jalannya negeri ini untuk masa depan rakyat
yang sejahtera dan tertib. kekuatan korporasi sosial ini sangat penting untuk
mendukung fungsi KPK (Komite Pemberantasan Korupsi), karena korporasi tersebut
merupakan akar dari pemberantasan korupsi yang berbasis rakyat dan tentu saja
kepentingan rakyat untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.