Jakarta - Interpelasi soal
kebijakan pengetatan pemberian remisi yang diusulkan sejumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dinilai janggal. Interpelasi tersebut justru semakin
memperkuat kesan bahwa DPR pro terhadap koruptor.
"Sangat
janggal jika DPR mempersoalkan berlebihan kebijakan tersebut. Hingga sampai
pengusulan interpelasi yang anehnya justru disambut lebih dari 100 anggota DPR
lintas fraksi. Ini memperkuat kesan DPR yang pro koruptor," kata anggota
Koalisi Masyarakat Sipil dari Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan
melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (18/12/2011) petang.
Koalisi
Masyarakat Sipil menolak usulan interpelasi tersebut. Koalisi juga mengajak
anggota DPR yang masih berani dan berkomitmen memberantas korupsi untuk menolak
ikut dalam interpelasi.
"Kita
tentu tidak ingin lembaga terhormat di negeri ini terus menerus dipersepsikan
korup," kata Abdullah.
Mengingat,
lanjutnya, survet Transparansi Internasional Indonesia (TII) selama empat tahun
berturut-turut menyebutkan bahwa DPR dan partai politik termasuk empat besar
lembaga terkorup di Indonesia.
"Kasus
yang ditangani KPK saja sudah menjerat 44 politisi, anggota atau mantan anggota
DPR, jadi wajar jika kita curiga dengan interpelasi yang sedang bergulir,"
ungkap Abdullah.
Lebih
jauh, dia menjelaskan, DPR salah mendefinisikan hak interpelasinya kali ini.
Sesuai dengan definisinya, interpelasi diajukan untuk kebijakan-kebijakan
pemerintah yang berdampak luas.
"Apakah
kebijakan remisi berdampak buruk secara luas? Pada masyarakat tentu saja tidak,
tapi pada koruptor jelas kebijakan ini berdampak," tuturnya.
"Dari
sini kita tahu hak konstitusional DPR tersebut rentan disalahgunakan dan
dibajak sebagai alat pembelaan koruptor," tambah Abdullah.
Masyarakat,
katanya, sama sekali tidak diuntungkan dengan mekanisme pengawasan melalui
interpelasi kali ini.
Ia
menambahkan, meskipun belum sempurna, kebijakan pengetatan remisi yang
dilakukan pemerintah seharusnya didukung DPR dengan tujuan meningkatkan
efektifitas penghukuman dan pemberian efek jera bagi terpidana korupsi.
Pemberian
remisi di tengah rendahnya rata-rata hukuman pengadilan terhadap koruptor
justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tercatat, rata-rata
hukuman koruptor sepanjang 2010 hanya 3 tahun 4 bulan, dan banyak yang dihukum
1 tahun lebih sedikit.
"Publik
perlu memberikan dukungan agar koruptor tidak lagi menjadi warga terhormat di
negeri ini. Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan perekonomian negara,
menghianati kepercayana rakyat, dan melanggar hak asasi jutaan rakyat
Indonesia," tegas Abdullah.
Sumber: http://nasional.kompas.com