Oleh: Aris Arif Mundayat
Sepekan yang lalu pembicaraan yang marak adalah seputar
rancangan Undang-Undang Anti Korupsi yang oleh sejumlah pihak, baik akademisi,
politisi dan praktisi hukum menilai bahwa rancangan undang-undang tersebut tidak
akan memberi efek jera bagi pelaku korupsi. Jika ada penilaian sedemikian rupa
pihak legislative tentu perlu berfikir untuk mengkaji secara seksama sebelum
mengesahkannya sebagai Undang-Undang yang secara sah dapat dijalankan sebagai
panduan penerapan hukum. Kemampuan anggota dewan akan diuji apakah mereka
benar-benar memiliki niat untuk masa depan Indonesia yang bebas korupsi atau
tidak.
Kelompok pro Hak Azasi Manusia tentu menolak adanya
hukuman mati untuk berbagai bentuk kejahatan karena hal itu melanggar hak untuk
hidup. Demikian pula jika diterapkan dalam Undang-Undang Anti Korupsi, sehingga
argument untuk menghaspuskannya sangat masuk akal. Kelompok anti korupsi yang
berada pada kubu yang berargumen bahwa korupsi telah menyengsarakan orang banyak
dan melanggar HAM orang banyak juga maka hukuman mati perlu untuk menjadi sanksi
pada Undang-Undang tersebut. Hal ini tentu menghasilkan kontroversi diantara
keduanya, ketika RUU yang ada menghapus hukuman mati tersebut. Republik Rakyat
Cina yang berniat untuk menghapus korupsi menerapkan hukuman mati bagi pelanggar
korupsi berat, dan ini pula yang seringkali menjadi argument bagi kelompok pro
hukuman mati untuk koruptor.
Sementara itu pemilahan pelaku korupsi berdasarkan kelas
besaran hasil korupsi juga dinilai banyak pihak hanya akan menjadi celah hukum
bagi pelaku korupsi untuk dapat berkelit, karena korupsi di Indonesia cenderung
dilakukan secara berjemaah. Celah hukum seperti ini memang dapat menjadi wilayah
yang rawan terhadap penegakan hukum di Indonesia dan akibatnya tidak memberi
efek jera kepada pelaku korupsi. Penjara yang selama ini diterapkan pada pelaku
korupsi yang rata-rata hanya memperoleh hukuman selama 4 tahun dan mendapatkan
remisi secara jelas tidak memiliki rasa keadilan bagi masyarakat penyumbang
pajak sebagai pihak yang dirugikan. Sementara itu hukuman untuk memiskinkan
pelaku korupsi dan kewajiban untuk kerja sosial yang sesungguhnya memiliki efek
mendidik tampak hanya menjadi wacana.
Indonesia masa depan perlu untuk memiliki Undang-Undang
Anti Korupsi yang ditegakkan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan. Jika
sementara ini KPK menjadi lembaga yang aktif untuk menangani kasus korupsi maka
lembaga ini idealnya hanya untuk mendidik dan memberdayakan lembaga kepolisian
dan kejaksaan untuk dapat secara tegas menangani korupsi secara menyeluruh.
Wacana kebutuhan akan keberadaan KPK secara permanen dari masyarakat adalah
refleksi dari ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi kepolisian dan
kejaksaan. Hal ini mestinya juga menjadi pelajaran bagi kedua institusi tersebut
agar dapat menegakkan hukum secara adil. Idealnya memang KPK hanya lembaga
sementara yang perlu dilengkapi oleh personel yang kuat sehingga dapat member
efek pemberdayaan bagi penegak hukum dari tingkat nasional hingga daerah.
Undang-Undang Anti Korupsi merupakan kebutuhan, namun tentunya harus merupakan
instrument hukum yang ke depannya dapat menjalankan fungsi pemberantasan korupsi
secara benyeluruh. Itu jika lembaga penghasil Undang-Undang berniat untuk
memberantas korupsi di Indonesia.
Berniatkah kita untuk memiliki Indonesia yang
bersih dari korupsi?