Oleh F. Rahardi
Harian Kompas tanggal 12 Januari 1988 menurunkan berita utama berjudul Presiden Soeharto : Pemerintah akan Tindak Tegas Korupsi dan Penyelewengan. Isinya adalah pembicaraan Presiden sewaktu menerima anggota pimpinan KNPI Pusat dan Ketua DPD Tingkat I KNPI di Bina Graha, Jakarta, hari Senin 11 Januari 1988. Tanggal 13 Januari 1988, kembali harian ini menurunka berita utama : Tepat, Tekad Pemerintah yang tak akan Membiarkan Korupsi, dengan disertai subjudul Rakyat Menunggu Tindakan Konkret. Isinya berupa tanggapan dua orang Wakil Ketua DPR, dua orang advokat dan Direktur LBH Jakarta.
Dua berita utama Kompas tersebut mengingatkan saya pada hasil pengamatan yang pernah saya lakukan terhadap pola-pola korupsi di Jakarta antara tahun 1984-tahun 1985. Waktu itu saya tengah mengerjakan sebuah buku kumpulan sajak yang kemudian terbit dengan judul Catatan Harian Sang Koruptor. Untuk keperluan itu saya memang memerlukan sekadar pengetahuan lapangan tentang pola-pola korupsi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Pengamatan yang saya lakukan, tentunya lain dengan sebuah penelitian. Saya tidak mungkin menyusun sejumlah kuesioner lalu menyebarkannya kesejumlah responden yang pernah melakukan korupsi. Pengamatan terhadap gejala korupsi yang menyembul di beberapa lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta/BUMN pun tidak bisa saya lakukan secara langsung terang-terangan, melainkan dengan teknik yang agak mirip dengan investigative reporting yang sering dilakukan dalam dunia jurnalistik.
Hasil yang saya peroleh dari pengamatan tersebut ternyata agak mengejutkan diri saya sendiri. Selama ini, istilah korupsi (dari to corrupt – corruption) selalu saya artikan dalam benak saya sebagai menggunakan uang kantor atau negara secara langsung untuk keperluan pribadi. Saya justru hampir tidak menjumpai kasus korupsi seperti yang saya angan-angankan itu. Dewasa ini pola korupsi demikian memang sudah jarang sekali dilakukan orang. Kalau toh masih juga ada yang nekad melakukannya, biasanya dalam waktu yang ralatif singkat kasusnya agak segera terbongkar. Tapi contoh pola korupsi demikian toh cukup banyak juga. Yang cukup terkenal antara lain kasus Budiaji eks-Kadolog Kaltim.
Beberapa pola korupsi
Dari sekian banyak kasus yang berhasil saya kumpulkan, setelah cukup lama saya otak-atik, ternyata bisa saya kelompokkan dalam tujuh pola sebagai berikut.
1. pola konvensional; 2. pola kuitansi fiktif; 3. pola komisi; 4. pola upeti; 5. pola menjegal order; 6. pola perusahaan rekanan; 7. pola penyalahgunaan jabatan/wewenang.
Selama ini saya memang selalu beranggapan bahwa yang namanya korupsi itu ya yang menggunakan pola pertama, yang saya sebut sebgai pola konvensional itu. Artinya, seperti sudah saya jelaskan di depan, adalah menggunakan uang kantor atau negara secara langsung untuk keperluan pribadi. Karena pola konvensional ini justru sudah jarang dilakukan orang (karena risikonya tinggi), lagi pula “skenarionya” sangat sederhana, maka untuk selanjutnya tidak akan saya bahas secara khusus.
Pola kuitansi fiktif
Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi alias penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya. Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun pajak, maka saya cenderung menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN.
Contoh yang paling sederhana misalnya, kantor saya membeli barang/jasa atau menyelenggarakan sebuah kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus saya pertanggungjawabkan terhadap kantor saya adalah kuitansi. Supaya saya bisa mendapatkan keuntungan, ada beberapa cara yang bisa saya tempuh. Pertama, barang/jasa yang saya beli atau kegiatan yang saya selenggarakan saya kecilkan/saya kurangi jumlah maupun mutunya, sementara harganya tetap. Jumlah yang harus saya bayarkan otomatis juga ikut turun sementara jumlah yang harus saya pertanggungjawabkan ke kantor tetap seperti rencana. Selisih jumlah tersebut bisa langsung masuk kantung. Cara kedua, kalau saya sulit menurunkan jumlah maupun kualitas barang/jasa atau kegiatan, maka harganya yang justru saya naikkan. Selisih antara harga yang sebenarnya dengan harga yang sudah naik tadilah yang saya kantungi.
Bagi yang sudah cukup profesional, malah bisa lebih gawat lagi. Barang, jasa atau kegiatan yang diselenggarakan bisa 100 persen difiktifkan. Anggaran tetap turun tapi barang/jasa yang dibeli atau kegiatan yang diselenggarakan sama sekali tidak ada. Pernah dengar berita tentang Bimas fiktif, reboisasi fiktif bahkan juga wartawan yang melakukan reportase fiktif? Sering pula terjadi, sehabis ada seminar atau lokakarya atau raker, seorang ketua OC (organizing committee) buru-buru menyuruh sekretaris atau bendaharanya mendatangi toko-toko tertentu yang biasa diajak kerjasama untuk membuat kuitansi fiktif, agar realisasi pengeluaran seminar/lokakarya atau raker bisa klop dengan rencana anggaran yang dibuat. Ternyata kasus seperti ini masih tergolong “sopan”. Saya pernah ketemu dengan “oknum” yang sengaja mencetakkan macam-macam kuitansi dan menyimpan macam-macam stempel buatan tukang reklame kaki lima untuk mengelabuhi petugas inspektorat, audit, atau malah rekan sekantornya sendiri dari bagian akunting. Itulah tadi pola kuitansi fiktif alias manipulasi alias penyelewengan.
Pola komisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-proyeknya. Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, saya bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantor saya jelek, dengan mudah seluruh komisi itu saya makan sendiri.
Ini baru baju. Bagaimana kalau mobil, rumah, pesawat terbang atau kapal tanker? Karena jumlah komisi ini bisa sangat besar, makanya manajemen yang baik akan selalu mencek : betulkah cuma segitu komisi yang bisa dilepas? Bisakah ditawar lagi? Dalam keadaan seperti ini, tentu uang komisi itu akan kembali ke kantor lagi. Lalu mati-kutukah oknum di bagian pembelian? Tentu tidak!
Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh perusahaan untuk perusahaan adalah 20 persen. Ternyata di samping itu masih ada “komisi khusus” 2,5-5 persen yang “diselipkan” ke kantung si petugas pembelian. Bisakah komisi seperti ini dibuktikan secara hukum di pengadilan; tentu saja sulit. Bukankah kuitansi atau tanda terimanya tidak ada? Tapi, sangat sulit bukan lalu berarti mustahil. Kalau kita mampu melakukan pendekatan terhadap pihak pemberi komisi hingga berhasil membuatnya “menyanyi”, maka bukan mustahil para penerima komisi di kantor kita mengalami banyak kerepotan seperti halnya eks-PM Jepang Kakuei Tanaka dulu.
Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini menjadi teramat rumit untuk diusut lebih lanjut, manakala komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang sesuai dengan persentase melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya arloji, video. mobil, rumah, bahkan tak jarang berupa perempuan cantik yang bisa diajak kencan. Tapi bagaimanapun rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih tetap ada peluang untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.
Pola upeti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun Baru – asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun barang bahkan juga “pacar” datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam. Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman, tidak digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”. Supaya “permainan” yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan lain-lain.
Dalam kondisi tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang jumlah upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat malahan si atasan bisa langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi sifatnya sudah sangat mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang melakukan. Kalau komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi, sedang upeti adalah antara bawahan dengan atasan.
Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata untuk si pengambil keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala seseorang akan bertugas keluar kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini sudah menjadi semacam “budaya”. Saya sendiri selalu mencoba untuk tidak melakukan hal itu bila kebetulan sedang ada tugas keluar. Tapi ketika teman-teman yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan hal itu, terus terang saya jadi agak kerepotan untuk menolaknya. Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman yang lain yang kebetulan memang tidak pernah mendapat tugas keluar.
Pola menjegal order
Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi. Gaji saya Rp 300.000 ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-tiba saya mendapatkan order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang saya dapat dari kantor sesuai dengan peraturan pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya menerima komisi yang lebih gede. Kalau order ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus saya ini akan jadi kecil sekali.
Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi saya garap sendiri. Itulah sebabnya kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan yang di rumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada pegawai konfeksi yang di rumah punya usaha jahit sendiri. Ada pegawai bengkel yang di rumah juga punya usaha perbengkelan dan sebagainya. Order-order yang dijegal ini sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan. Jadi karena pembuktian kasus seperti ini juga tidak sulit, penindakannya secara administratif maupn hukum juga paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini kalau ketahuan akan segera di-PHK.
Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para tenaga sales. Resepsionis, penjaga toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga satpam penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis menguasai relasi yang datang lewat telepon, tenaga administrasi menguasai pesanan lewat surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang datang langsung lewat pintu gerbang. Kasus seperti ini pernah terjadi di kantor saya. Tapi begitu manajemen dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah boleh dibilang mustahil untuk dilakukan
Pola perusahaan rekanan
Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan terlalu kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari kantor Anda sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah Anda punya perusahaan percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-teman akan ribut lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak oknum pejabat yang memberi modal pada si keponakan, si saudara sepupu, mertua, istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin perusahaan rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan deras. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan barang baru lagi. Cuma siapakah gerangan yang berani menulis atau membeberkannya di muka umum?
Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak famili tadi kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak ada. Boleh-boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih Oom sendiri, masih Pak De sendiri, dan sebagainya, maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara lugas. Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu, anggaran dan sebagainya.
Pola penyalahgunaan jabatan/wewenang
Pola inilah yang oleh masyarakat banyak lazim disebut sebagai pungli, uang semir, pelicin, sogok, suap dan lain-lain. Contohnya sudah banyak. Misalnya Polantas yang sering terima “salam tempel”. Petugas kantor kelurahan yang sering mengutip minimal gopek (lima ratus) hanya untuk stempel surat keterangan berkelakuan baik, bahkan juga oknum wartawan yang minta amplop sehabis menjepretkan kamera dan menodongkan tape recorder.
Bagaimanakah kalau masyarakat tidak mau memberikan sesuatu kepada para petugas tadi? Urusan bakal jadi berbelit, tersendat-sendat atau bahkan macet total. Kalau sudah begini, yang repot tentunya ya masyarakat sendiri.
Memang selalu ada anjuran untuk tidak memberi iming-iming pungli kepada para petugas, agar mereka tidak tergoda. Anjuran ini mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di loket stasiun dan bukan di calo. Tapi apa lacur. Karena permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadinya ya tetap saja calo masih laku keras terutama di saat-saat ramai seperti di sekitar Lebaran.
Di kalangan para petugas/pegawai negeri masalahnya sama saja. Selama mereka diberi gaji kecil, padahal wewenangnya begitu besar, maka pungli pasti akan jalan terus. Soalnya, masyarakat memang perlu pelayanan dan tidak mau direpotkan. Mereka cenderung keluar uang sedikit asal urusan cepat selesai.
Bisakah diberantas tuntas?
Korupsi, seperti halnya pelacuran atau tindak kejahatan lain, mustahil bisa dihapuskan dari muka bumi. Tapi bukan berarti lalu kita harus membiarkan kebusukan ini merajalela tanpa adanya upaya untuk mencegahnya. Yang perlu diingat adalah, bagaimanapun upaya pencegahan dan pemberantasan kita lakukan, yang bisa kita capai hanyalah menekan peningkatan jumlah serta kualitas kejahatan termasuk tindak kejahatan korupsi. Yang bisa kita lakukan memang hanya sampai disitu. Membasmi korupsi sampai tuntas sebenarnya hanyalah slogan kosong yang tidak mungkin bisa terlaksana. Hal ini perlu saya tekankan agar kita tak lantas telanjur menggebu-gebu hingga akhirnya malah kecewa atau frustasi.
Dengan adanya manajemen yang baik, sebenarnya membuktikan adanya tindak korupsi secara hukum bisa dilakukan, meskipun (kata Presiden) memang tidak bisa dengan mudah. Yang menjadi masalah adalah seperti yang selama ini sudah sering kita dengar adakah itikad untuk menindaknya? Tapi karena penegasan tentang akan ditindaknya para pelaku korupsi itu datang dari Presiden, kita jadi percaya bahwa itikad itu jelas ada dan pasti akan dilakukan. Tentunya hal itu baru akan bisa terlaksana dengan baik, kalau kita semua ikut serta membantu menumbuhkan iklim yang baik pula.
Terakhir, pola-pola korupsi yang telah saya kemukakan di atas, sebenarnya hanyalah hasil pengamatan yang “cuma” selintas. Pasti masih banyak pola baru yang lebih rumit dan canggih yang barangkali luput dari pengamatan saya. Dengan mengemukakan pola-pola tadi, harapan saya adalah, kita bisa lebih tahu gambaran dunia korupsi supaya bisa lebih waspada membantu mengawasi lingkungan kita masing-masing, hingga tidak terjadi kasus korupsi yang menggunakan pola-pola tadi. Dan bukan malah sebaliknya, yakni mencoba mempraktekkan atau malah mengembangkan pola-pola “dasar” tadi. ***
* F. Rahardi, Wakil Pemimpin Redaksi majalah Pertanian Trubus.
Sumber : Kompas, Rabu 10 Februari 1988