Prof. Dr. Edi Setiadi, SH. MH
Nextindonesia - Mandulnya sistem hukum di Indonesia menjadi hal yang patut diwaspadai bersama, saat ini rakyat sudah tidak lagi percaya akan sistem hukum negara ini. Hal itu wajar, karena aparat hukum yang diberikan kekuasaan oleh Undang-Undang sebagai abdi hukum, malah membuat hukum itu menjadi ajang komoditas untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
Adagium yang mengatakan hukum akan tegak berdiri dan menemukan ketegasannya akan berlaku bila yang melanggar hukum adalah rakyat miskin. Namun, hukum akan menjadi mandul apabila berhadapan dengan pelaku kejahatan yang berasal dari kalangan borjuis dan memiliki kekuasaan politik yang kuat, sudah terjadi di Indonesia.
"Rakyat harus tegas dan kritis menyikapi persoalan kejahatan korupsi. Negara patut bersyukur memiliki rakyatnya yang penyabar dan tidak suka bertindak gaduh menyikapi maraknya kasus korupsi di negara ini. Kalau rakyat muak dan melakukan tindakan anarkis karena melihat fenomena korupsi ini, tentu saja Negara ini akan hancur, " kata Prof. Dr. Edi Setiadi, SH. MH Wakil Rektor I Universitas Islam Bandung kepada Ahmad Ruhiat dari nextindonesia.com yang dilakukan di ruang kerjanya Senin, 19 September 2011 lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pandangan anda mengenai fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia?
Fenomena perilaku korup yang terjadi di negeri ini sangat memperihatinkan. Betapa tidak, jalan menuju korupsi selalu terbuka lebar dan penegakan hukum bagi pelakunya masih tertutup rapat-rapat. Dari waktu ke waktu, wajah penegakan hukum di Indonesia semakin tampak jelas. Yaitu, negara lemah dalam penegakan hukum, khususnya bagi pelaku yang masih aktif di lembaga negara atau pemerintahan.
Sudah berapa kali televisi kita telah menayangkan wajah-wajah koruptor negeri ini. Dari pejabat teras pemerintahan (atau) dari wakil rakyat. Kalau (dari) aparat penegak hukum, boleh jadi hakim atau jaksa yang jadi pelakunya. Kasus korupsi atau suap menyuap menjadi kejahatan yang mewarnai lembaga negara ini.
Tidak sedikit kasus yang dulu sempat terungkap dan kini menghilang begitu saja, paling tidak kasusnya mengambang tanpa tidak ditindak lanjuti. Maka jargon negara mengenai pemberantasan korupsi amat jauh dari fakta yang ada.
Apa penyebab utama orang melakukan tindakan melanggar hukum seperti korupsi?
Kejahatan korupsi ini kan disebabkan oleh beberapa dimensi pendorongnya. Pertama, dimensi kemiskinan dan desakan kebutuhan. Korupsi yang dimotivasi oleh kemiskinan tentunya melibatkan orang biasa dan jauh dari kaum elit dan pemegang kekuasaan. Ya, kayak copet, pencuri atau perampok.
Korupsi yang didorong oleh suatu desakan kebutuhan atau kepentingan lebih bersifat umum bisa menimpa kesiapa saja, di mana saja. Di sekolahan, di perkantoran, bahkan di rumah sendiri yang dilakukan anak kepada orang tuanya. Dampak dari korupsi ini memang tidak besar tapi tetap saja disebut suatu pelanggaran hukum.
Kedua, korupsi yang dimotivasi oleh keserakahan. Korupsi ini sama berbahayanya dengan korupsi yang didorong dengan kekuasaan. Perilaku korup atas dasar keserakahan dilakukan oleh orang yang mulai dari semi mapan, mapan bahkan orang yang memiliki banyak uang. Target-targetnya seperti dunia perbankan, perusahaan BUMN, perusahaan besar, dll.
Tidak sedikit pula tindakan korupsi yang didorong keserakahan selalu berkaitan dengan orang yang sedang berkuasa atau pejabat publik yang mampu memberikan jalan untuk memuluskan tindakan korup ini.
Ketiga, korupsi yang dimotivasi oleh kekuasaan. Korupsi jenis ini tentunya yang marak dan terungkap di negeri ini. Penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan tindakan korupsi acapkali dilakukan oleh pejabat teras atau pejabat publik. Motivasi utamanya adalah memenuhi kepentingan golongan tertentu selain untuk memperkaya diri sendiri. Uang hasil korupsi untuk modal suatu acara atau kegiatan tertentu.
Sehingga tiap tindakan korupsi tidak mungkin tidak melibatkan banyak pihak. Untuk skala besar dan melibatkan uang miliaran atau triliuanan tidak bisa dilakukan face to face. Korupsi jenis ini pasti melibatkan banyak pihak dan kepentingan dalam prosesnya.
Sebut saja kasus, Nazarudin yang disebut-sebut melibatkan uang 6,7 triliun. Logika hukumnya, Nazar tidak mungkin melibatkan orang-orang biasa saja. Pasti, melibatkan pihak yang memiliki kekuasaan lain untuk bisa memuluskan uang sebesar itu.
Kenapa orang melakukan korupsi?
Hal itu bisa dicerminkan oleh para pejabat daerah setingkat Walikota atau Bupati. Di mana sebagian besar menurut data yang ada, kurang lebih 156 pejabat daerah, walikota dan bupati di Indonesia disinyalir melakukan korupsi. Alasannya untuk mengembalikan uang bekas modal biaya kampanye dan lainnya selama pencalonannya.
Apa dampak dari tindakan Korupsi kepada rakyat?
Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela. Kasus korupsi yang cenderung dilakukan secara sistemik dan sengaja menghilangkan uang Negara ini, penanganannya sering mengambang tanpa adanya kepastian. Sebut saja kasus century dan banyak kasus lainnya yang hingga sekarang tidak ada beritanya lagi.
Dampaknya jelas besar. Korupsi yang dilakukan pejabat negara, pengusaha besar dan Wakil Rakyat selalu merugikan keuangan Negara dan Rakyat. Sebab pada prinsipnya, rakyat adalah memiliki kontribusi besar dalam pengumpulan keuangan Negara ini. Kita harus paham bahwa setiap nafas kita adalah potensi bagi Negara untuk menuntut rakyat memberikan sebagain hartanya.
Maka siapa pun pelakunya. Rakyat harus tegas dan kritis menyikapi persoalan kejahatan korupsi ini. Negara patut bersyukur memiliki rakyatnya yang penyabar dan tidak suka bertindak gaduh menyikapi maraknya kasus korupsi di negara ini. Kalau rakyat muak dan melakukan tindakan anarkis karena melihat fenomena korupsi ini, tentu saja Negara ini akan hancur.
Jika faktanya demikian, lalu bagaimana masa depan penegakan hukum di negeri ini ke depannya?
Perangkat Hukum Pidana dan Sitem Peradilan Pidana di Indonesia sebetulnya sudah cukup baik. Tinggal bagaimana orang yang menjalankannya bisa menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab suatu penegakan hukum tanpa petunjuk iman hanya akan melahirkan keadilan yang tembang pilih.
Sebagus dan selengkap (apapun) sistem dan perundang-undangan dibuat untuk menegakan keadilan dan kebenaran, akan menjadi sia-sia bila orang yang menegakan hukum terdiri dari orang-orang yang mudah disuap dan menghianati sumpah jabatannya.
Korupsi selalu terbuka lebar bila belum ada pembenahan system birokrasi pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah. Birokrasi ini seolah menjadi jalan terang untuk melakukan korupsi rutin atau bagi mereka yang akan memulai berkorupsi. Maka di sinilah sebenarnya praktek-praktek korupsi kecil-kecilan (petty corruption) terjadi.
Sebut saja contohnya saat kita membuat KTP harga 10 ribu. Karena ingin cepat selesai, maka biaya pembuatan KTP tersebut menjadi ratusan ribu. Tindakan itu yang disebut korupsi level rendah. Maka dilihat dari kacamata tindakan kejahatan, sebenarnya masyarakat kita termasuk masyarakat yang suka mempraktekkan budaya ‘sukses dengan jalan cepat’ dan melanggar hukum. Salah satunya melakukan suap, nepotisme dan kolusi dalam berbagai hal dan di mana pun kita melaksanakan tugas kerja.
Sebut saja dalam hal rekruitmen pegawai negeri. Bagi kolega dan saudara pejabat tertentu sudah biasa memasukan titipan rekanannya. Sehingga boleh dikatakan, bahwa persoalan korupsi ini bukan saja menjadi kultur kaum elit saja, tetapi juga sudah memasyarakat. Makanya sulit untuk diberantas secara makro, karena kalau diungkap maka semuanya akan terkena.
Hukum bisa ditegakan bila semua sepakat bahwa kita tidak mau melakukan korupsi. Jangan harap hukum bisa ditegakan abila penegak hukumnya tembang pilih dalam menerapkan hukum. Sebut saja penegakan hukum bagi mantan pejabat dan pejabat yang masih aktif. Tentunya, penegakannya akan sangat jauh berbeda. Boleh jadi penanganan kasus mantan pejabat akan mudah diproses dibanding pejabat yang masih aktif.
Solusinya?
Keimanan dan ketaqwaan menjadi segalanya dalam menentukan orang berpeilaku baik atau buruk. Sehingga bila negara ini sudah mengedepankan persoalan iman dan taqwa di atas segalanya, dan negara ini sudah tertib dan taat agama. Insya Allah perbuatan korupsi dapat hilang tersendirinya.
Kita patut pesimis bila hukum di Indonesia sulit ditegakan selama penegakan hukum berlaku bagi mereka yang lemah dan tak punya kekuasaan. Sulit sekali hukum dapat ditegakan jika dicampurbaurkan dengan kepentingan politik. Indonesia saja kan disebut negara terkorup di Asia tetapi jarang sekali para koruptor yang diproses hukum atau bahkan dihukum berat.
Bila dunia saja mengakui negara ini sebagai negara terkorup, lalu kenapa kita masih menganggap tindakan korupsi ini seperti biasa-biasa saja?” Maka tidak aneh, bila orang luar menyebut fenomena korupsi di Indonesia ini adalah “kejahatan tanpa Pelaku”
http://www.unisba.ac.id/index.php/en/Unisba/Rakyat-Harus-Kritis-Menyikapi-Kejahatan-Korupsi.aspx