Sebagai negara yang berlandaskan hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemausiaan, sudah sewajarnya negara ini terbebas dari praktik korupsi. Fakta yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, tak ada pejabat yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Gaji besar, rumah mewah, mobil mewah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemikiran inilah yang menyebabkan tak pernah ditemukannya obat penawar penyakit korupsi. Tak heran jika pihak eksekutif, yudikatif maupun legislatif terlibat dalam menghancurkan hidup masyarakat majemuk.
Banyak penduduk yang membutuhkan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, justru yang berkembang hanya birokrasi gemuk yang rakus menggerogoti milik rakyatnya sendiri. Korupsi berkembang biak bak jamur di musim hujan. Ketidakoptimalan dari pengawasan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadikan Kepala Daerah melakukan paktek tak terpuji ini.
Tercatat hingga 2011, sebanyak 175 kepala daerah yang terdiri dari 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota menjalani pemeriksaan di lembaga anti korupsi. Sebagian di antara mereka sudah diproses penegak hokum. Bahkan sudah mendekam di penjara sebagai Koruptor. Pihak-pihak yang seharusnya menampung aspirasi rakyat telah berubah fungsi menjadi pemangsa yang ganas tanpa pandang bulu. Tak salah jika masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pemerintah sekarang merupakan bagian dari mafia korupsi. Tak pernah ada kasus korupsi yang di usut sampai tuntas. Adanya kasus Bank Century, Gayus Tambunan, kasus hakim Syarifuddin juga kasus mantan Walikota Medan tak pernah diselesaikan secara tuntas.
Kurangnya penyelidikan dari pihak KPK membuat bobroknya penegakkan hukum Indonesia. Padahal Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Inilah yang seharusnya diungkit sampai ke akar permasalahannya. Hingga dapat diketahui siapa saja dalang atau pihak yang terkait dalam suatu pelanggaran atas keuangan negara. Paradigma yang demikian menjadikan masyarakat tidak percaya lagi kepada pemerintah. Negara tidak akan lagi dapat membangun bangsa untuk selanjutnya. Indonesia semakin terpuruk. Parlemen telah dianggap sebagai institusi yang boros anggaran, koruptif dan nirakuntabilitas.
Di republik ini hukum sering kali berjalan sangat lamban. Sebagai contoh kasus Nazaruddin yang bisa bersembunyi di luar negeri (Singapura) sehari sebelum dicekal. Nazaruddin bersembunyi untuk menghindari tuduhan publik terhadapnya. Seharusnya, hukum dijadikan sebagai rumah keadilan bagi segenap warga negara. Tapi fakta yang terjadi, di pengadilan sendiri sering kali terjadi praktek ketidakadilan. Hukum bisa dibeli pakai uang hasil korupsi.
Maka dari itu para koruptor tak pernah berhenti untuk menggerogoti warganya sendiri. Warga negara semakin terpinggirkan, haus dalam keadilan dan diperas atas hak sendiri.
Di balik semua tindakan korupsi tersebut, tentunya ada faktor-faktor mengapa praktek ini kerap kali terjadi. Setidaknya ada 3 faktor utama penyebabnya. Pertama, mengembalikan modal dalam upaya mendapatkan gelar. Mahalnya ongkos politik yang telah mereka keluarkan untuk bisa menduduki suatu jabatan di kursi pemerintahan. Sudah menjadi ketentuan dalam dunia politik Indonesia, untuk calon pemimpin harus mengeluarkan uang hingga puluhan miliar rupiah. Uang itu dipakai untuk kepentingan kampanye, mendapatkan pendukung partai politik, biaya tim sukses, honor untuk para saksi di tempat pemungutan suara dan biaya tak terduga lainnya.
Padahal, jika dibandingkan antara modal yang dikeluarkan untuk mendapat suatu jabatan, jauh lebih besar dibanding gaji yang didapat selam 5 tahun ke depan. Jika gaji yang diperoleh dalam sebulan adalah sebesar Rp 10-15 juta, dalam waktu 5 tahun gaji yang didapatkan hanya berkisar antar Rp 600-900 juta. Melihat kondisi demikian sudah tentu tak cukup menggantikan biaya ongkos politik yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Kedua, Adanya ruang untuk melakukan korupsi. Banyaknya celah yang tersedia untuk melakukan penyimpangan anggaran. Biasanya, dana yang sering digelapkan oleh para parasit rakyat ini adalah dana bantuan sosial atau dana hibah, biaya proyek pengadaan barang dan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN dan APBD). Modus ini kerap kali terjadi pada daerah yang akhir periode masa jabatan pemerintah daerahnya mulai habis. Pada tahun 2010 KPK mengumumkan temuan 18 modus korupsi di daerah.
Ketiga, lemahnya pengawasan di tingkat daerah. Meskipun terjadi suatu penyimpangan, biasanya hanya diselesaikan secara kekeluargaan atau sanksi berupa teguran dan administrasi yang tak begitu menjerakan. Pengawasan semacam inilah yang menjadikan hukum Indonesia bisa dibeli. Kebanyakan para koruptor telah memiliki aset di luar negeri. Sangat mengherankan, pada saat dirinya akan diperiksa justru para koruptor malah bersembunyi di balik kemewahannya. Mau kemana dibawa Negara ini?
Tanpa langkah-langkah besar, korupsi dipastikan akan merajalela sampai merasuki watak bangsa yang telah terkena benih-benih pelanggaran. Tak disadari, kejahatan moral dan intelektual sudah dipupuk kepada generasi muda sejak SD hingga SLTA melalui kecurangan, pembocoran, dan pencontekan massal pada setiap kali ujian nasional (UN). Pemerintah harus sadar, pajak adalah sumber pendapatan negara terbesar dan dengan itulah negara harus menyelenggarakan pemerintahan yang efektif, efisien, mudah, dan bersih dari korupsi.
Sejalan perkembangan teknologi komunikasi, komputer dan sistem jaringan, segala urusan harus menjadi mudah, cepat, nyaman bahkan gratis!. Kenyataan yang didapatkan justru sebaliknya, semua urusan publik seperti pembuatan KTP, STNK, paspor hingga semua bentuk perizinan selalu mengalami kendala. Banyaknya pungutan yang tak jelas kemana di alokasikan, membuat mental bangsa semakin terpuruk. Semoga semua pihak sadar, betapa pentingnya kesadaran atas semua wewenang yang dimilikinya. (Jon Marwan Purba)
Penulis adalah mahasiswa STMIK Mikroskil jurusan sistem informasi, tinggal di Medan
dari
Medan Bisnis