Korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan pejabat yang mendapatkan harta melalui kecurangan atau tidak syar’i, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Korupsi berbeda dengan mencuri. Dalam sistem uqubat, mencuri terkategori hudud yang hukumannya potong tangan, sedangkan korupsi masuk dalam kelompok ta’zir yang hukumannya disesuaikan dengan jumlah harta yang dikorupsi, bisa berupa penjara tahunan hingga hukuman mati. Rasulullah Saw bersabda: ”Perampas, koruptor (mukhtalis), dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan”. (HR. Ahmad, Ashaabus Sunan dan Ibnu Hibban)
Korupsi adalah perbuatan haram yang tingkat keharamannya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan terhadap harta kekayaan milik umum (seperti korupsi APBN dan proyek-proyek negara untuk masyarakat). Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Hai kaum muslimin, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. Siapa yang kami beri padanya dari hasil itu hendaknya ia terima dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.
Cara Islam Cegah Korupsi
Syariat Islam telah memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi. Upaya pencegahan terhadap tindakan korupsi setidaknya harus dilakukan terhadap dua hal, menciptakan budaya yang bersih-Islami dan membentuk sistem pemerintahan yang tangguh.
Budaya yang Islami dapat dilakukan dengan cara: Pertama, membekali aparat negara dengan ketaqwaan. Rasulullah telah menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada para sahabat. Terlebih kepada mereka yang ditunjuk menjadi aparat pemerintahan. Ditanamkan kepada mereka untuk tidak berbuat ghulul (curang). Imam At Tirmidzi menuliskan sebuah hadits dari Muadz bin Jabbal yang berkata: Rasulullah Saw mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah saw bertanya kepadaku, ’Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.”
Kedua, memilih aparat negara yang memiliki kapabilitas. Rasulullah Saw tidak mengangkat mereka yang lemah untuk pejabat. Di dalam Kitab Mukhtasar Targhib wa Tarhib, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Dari Abu Dzar ra mengatakan: Aku Berkata, “Wahai Rasulullah mengapa engkau tidak mengangkatku jadi pejabat?. Dia mengatakan: Lalu Rasulullah Saw memukul pundakku dengan tangannya, lalu berkata: Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanat dan jabatan adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat, kecuali bagi yang mengambilnya dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya.” Di dalam hadits yang lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah juga sangat membenci orang yang ambisius terhadap jabatan.
Ketiga, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin Khattab adalah penguasa kaum muslim yang berhasil menjunjung tinggi pola hidup sederhana. Muhammad Ash-Shalabi dalam kitab Syakhsiyatu Umar wa Aruhu, menuliskan sejumlah kisah yang menunjukkan gaya hidup Amirul Mukminin yang sangat sederhana, zuhud dan wara’. Suatu ketika, minyak wangi jenis misk dan anbar dari Bahrain didatangkan kepada Umar. Umar berkata pada istrinya, Atikah, ”Aku senang sekali bila menemukan seorang wanita yang pandai menimbang minyak wangi ini untukku, hingga aku membagi-bagikannya kepada kaum muslimin.” Atikah menjawab, “Aku pandai menimbangnya. Bawalah kemari minyak wangi itu agar kutimbang untukmu!”. “Tidak”, kata Umar. “Mengapa tidak?”, tanya istrinya. Umar menjawab,”Aku khawatir kamu mengambilnya, lalu kamu mengoleskannya di lehermu, sehingga kamu mengambil bagian dari milik kaum muslimin.”
Keempat, pengawasan masyarakat. Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat tercatat, Umar bin Khattab telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya berkata: “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang” Lalu seorang laki-laki menyambut dengan lantang “kalau begitu, demi Allah Swt, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.
Sementara upaya menciptakan sistem yang tangguh dapat ditempuh dengan cara: Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi. Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri". (HR. Abu Dawud).
Kedua, larangan menerima hadiah dan suap. Hadiah (hibah, gratifikasi) yang diberikan kepada aparat pemerintah pasti bermaksud agar aparat itu menguntungkan pemberi hadiah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap, berapun nilainya dan dengan jalan apapun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. Rasulullah Saw bersabda: “Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)
Sementara hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah termasuk yang diharamkan. Rasulullah Saw bersabda: “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)
Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azis pernah menolak hadiah berupa buah apel, karena beliau memahami bahwa itu merupakan penyuapan. Diriwayatkan Amr bin Muhajir, bahwa suatu hari salah seorang anggota keluarga Umar bin Abdul Aziz memberinya hadiah apel. Atas pemberian itu, Umar lantas berkata, "Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai." Amr bertanya, "Mengapa pemberian hadiah dari orang yang masih ada hubungan kekerabatan ditolak? Padahal, Rasulullah Saw juga menerima hadiah." Umar menjawab, "Sesungguhnya, hadiah yang diberikan kepada Rasulullah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap."
Ketiga, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Prinsip praktik birokrasi dalam pemerintahan Islam, menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nidzamul Hukmi fil Islam, harus memenuhi tiga kritera: (1) Sederhana dalam aturan; (2) Cepat dalam pelayanan, dan (3) Ditangani oleh ahlinya (profesional).
Cara Islam Berantas Korupsi
Selain mempunyai cara untuk mencegah tindakan korupsi, Islam juga memiliki seperangkat aturan untuk memberantas korupsi. Pertama, pembuktian terbalik. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang terbukti efektif mencegah aparat melakukan kecurangan.
Umar bin khattab pernah menerapkan hukum pembuktian terhadap para wali (gubernur)nya. Salah satunya adalah kepada Abu Hurairah yang telah selesai bertugas sebagai gubernur di wilayah Bahrain. Umar berkata kepada Abu Hurairah, “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” jawab Abu Hurairah, “Aku bukan musuh Allah dan bujkan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!” Umar bertanya, “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu? Abu Hurairah menjawab, “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.” Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (Baitul Mal) jawab Umar. Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya kea rah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin”.
Kedua, menerapkan hukuman yang setimpal. Sanksi (‘uqubat) bagi pelaku ghulul (termasuk korupsi) adalah ta’zir (bukan had), karena harta yang dicuri merupakan harta yang syubhat (harta negara/baitul mal) dan merupakan harta milik umum. Sebelum sanksi ta’zir dilakukan maka harta hasil korupsi itu harus dikembalikan terlebih dahulu kepada pemiliknya (baik individu maupun negara). Jika barangnya telah rusak/cacat/berkurang maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya.
Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyh’ir (pemberitaan/ekspos media), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, hingga hukuman mati. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara dan merugikan negara (seperti Skandal BLBI dan Bank Century) , koruptor dapat dijatuhi hukuman mati. Wallahu a’lam. [slm/fpi]