Oleh
Purwanto Setiadi,
“Orang pasti pernah mendengar namanya atau
melihat fotonya saat mengenakan wig yang konyol itu.”
Satir,
sindiran, kritik. Apa pun kesan yang bisa diresapi dari lagu berjudul Andai
Aku Gayus Tambunan semestinya ia bermuara pada satu hal: bahwa agar sanggup
berbicara di “frekuensi” yang sama dengan pendengarnya, lagu bisa bercerita
atau bersyair tentang apa saja, bahkan masalah serius seperti kasus Gayus
Tambunan. Dengan kata lain, hanya percaya pada tema asmara untuk bisa menjaring
audiens yang luas adalah berlebihan (walau, barangkali, memang benar hal ini
lebih mudah menemukan audiens; sebab bukankah setiap orang pernah atau paling
tidak ingin merasakan cinta?).
Gayus, belakangan ini, siapa yang tak tahu? Sekurang-kurangnya orang pasti
pernah mendengar namanya atau melihat fotonya saat mengenakan wig yang konyol
itu. Dia bukan tokoh roman percintaan yang populer. Dia tak punya kisah asmara
yang mengharubirukan perasaan siapa saja. Dia adalah antagonis, seseorang yang
menjadi tersangka kasus besar mafia hukum dan mafia perpajakan yang kebetulan
melakukan tindakan-tindakan luar biasa yang menunjukkan betapa, seperti
digambarkan dalam syair Bona, “hukuman bisa dibeli”.
Pasti tak semua orang mau tahu bagaimana sebenarnya kedua mafia itu membelit
instansi pemerintah, penegak hukum, dan barangkali juga organisasi politik,
sehingga transaksi untuk mengakali dan mengelak dari sanksi hukum bisa
dilakukan. Tapi ada satu titik yang mempertemukan kepentingan siapa pun: mereka
paham betapa praktek kotor penginjak-injakan hukum yang melibatkan birokrat,
pengusaha, dan politikus serta ketidakdilan sedang berlangsung.
Dan di situlah Bona Paputungan memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan
kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum --dan
apalagi moralitas --di negeri ini.
Melalui Andai Aku Gayus Tambunan, lelaki 30 tahun ini, sadar atau tidak, telah
melontarkan satu lagu protes. Inilah yang nyaris hilang dalam lanskap musik
kita, sebab hampir tak ada musisi yang peduli terhadap apa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat atau di negara ini.
Tentu saja, kita bisa mengatakan bahwa Bona punya pengalaman pahit yang bisa
dia ceritakan dan kebetulan bertolak belakang dengan apa yang dialami Gayus:
dia pernah dibui tanpa bisa keluar untuk pergi ke mana-mana. Bagi seniman, pengalaman
langsung, dalam hal apa pun, akan lebih berperan sebagai dorongan kuat untuk
berekespresi dan berkreasi.
James Joyce menghasilkan A Portrait of the Artist as a Young Man berdasarkan
jalan hidupnya. Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu,
yang merupakan kumpulan tulisannya semasa dalam tahanan di Pulau Buru. Banyak
lagi karya lain yang berlatar belakang serupa --yang merupakan otobiografi
penciptanya.
Tetapi jika semua seniman harus melalui tahapan seperti itu untuk menghasilkan
karya, rasanya di dunia ini tak bakal berlimpah karya besar. Dalam
kenyataannya, banyak juga karya --seni rupa, puisi, prosa, tari, drama, lagu,
apa pun --yang cenderung merupakan refleksi dari suatu keadaan; karya-karya ini
berasal dari pengamatan dan renungan, juga empati, penciptanya terhadap situasi
tertentu, bukan pengalaman langsung. Dalam musik, lagu-lagu protes hampir
selalu berpijak pada situasi tertentu itu.
Dengan kata lain, yang berfungsi dalam penciptaan karya-karya semacam itu
adalah kepekaan. Untuk berkreasi, seorang seniman tak harus menjadi tenaga
kerja wanita yang direndahkan dan disiksa di luar negeri, atau orang miskin
yang harus digusur dari suatu kawasan di perkotaan, atau Nenek Minah di
Ajibarang, Banyumas, yang mesti menjalani hukuman satu bulan dengan masa
percobaan tiga bulan lebih karena memetik tiga butir kakao di perkebunan milik
PT Rumpun Sari Antan. Dia hanya perlu mengasah sensitivitas, dan punya
kepedulian.
Dan itulah sesungguhnya yang dilakukan Bona, walau dia menghubungkannya dengan
pengalaman pribadinya --dan meskipun, barangkali, dia punya alasan lain. Kasus
Gayus, kita tahu, baru satu hal dari beragam kecompang-campingan di negeri ini.
Ada banyak persoalan genting lainnya, karut-marut sosial politik, ketidakadilan,
dan krisis moral, yang sebenarnya bisa menjadi sumber ilham bagi musisi mana
pun. Soalnya tinggal ada kepedulian atau tidak.
Sumber
: VIVAnews (http://nasional.vivanews.com/)