Oleh Feisal Tamin
CARA
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang ditulis Kwik
Kian Gie (Kompas, 15/10), banyak benarnya. Hanya perlu dibicarakan pula
hal-hal mendasar lain dan realistis mengenai alasan pemberantasan KKN,
motif dan prioritas pemberantasannya. Ibarat bangsa dan negara sedang
terancam, harus klop, kuat dan saling mengisi antara gembok (pemerintah)
dan seluruh kisi-kisi regol (pintu) rakyatnya dalam membendung serbuan
“virus” KKN.
EKSISTENSI
negara harus dijunjung tinggi karena sangat penting dan berharga, serta
amat menentukan dalam upaya mencapai cita-cita rakyatnya. Seperti
segala kelengkapan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, telah
mendapat ancaman yang sangat kuat justru oleh sumber daya (manusia) nya
sendiri dalam wujud perilaku memperluas dan melibatkan diri dalam KKN.
Memperluas,
karena orang yang tahu ada KKN, tetapi tidak melaporkan kepada yang
lebih berwajib (atasan, pemeriksa, polisi). Kemudian yang lebih berwajib
itu tidak melakukan tindakan hukum semestinya, mereka semua memberi
andil meluasnya KKN. Aturan hukum positif mengingatkan orang yang
mengetahui dan mendiamkan kejahatan, dapat dipidana.
Padahal
KKN sesungguhnya merupakan perbuatan pribadi-pribadi, “ada main”,
“hubungan baik”, “tahu sama tahu (TST)”, yang dilakukan secara damai,
tenang dan manis. Tetapi esensinya amat bertolak belakang, penuh
kekerasan yang tidak terkendalikan. Eskalasinya menimbulkan kekacauan
dan sangat merusak sendi-sendi serta seluruh aspek kehidupan bangsa dan
negara (silent anarchism, chaotic and most damaged for nations
souvereignty).
Tenang
dan manis tetapi sadis, sehingga banyak pihak yang walaupun mengetahui,
namun takut mengungkapkannya. Itu sebabnya KKN disebut extra ordinary
crime. Ini berbeda dengan kriminalitas terbuka seperti pencurian dan
perampokan dengan taruhan nyawa, gerak fisik kuat, dengan hasil maksimal
“tidak meledak” dan sekali selesai.
Karena
itu, bisa diistilahkan pula sebagai bagian dari white collar crime.
Sebab bersifat elitis bermodalkan wewenang dan intelektualitas serta
uang tanpa otot dan banting tulang, langsung dinikmati dengan hasil
maksimal bisa “meledak” miliar rupiah, dan terus-menerus. Meminjam data
Transparansi Internasional 2003 menempatkan RI pada level 6 terkorup
dari 133 negara. Wabah KKN di Indonesia menonjol dilingkungan PNS,
Parpol, Polri, Militer dalam bentuk suap, pemerasan halus, manipulasi,
money politics, dan kolusi bisnis.
Walaupun
demikian, dusta, ingkar, munafik atau perilaku hipokrit ini bisa juga
terjadi di lingkungan bawah, daerah terpencil dan orangnya buta huruf
sekalipun sesuai dengan omzet setempat.
KKN
sering dibicarakan sehingga si pelakunya kebal. Di bawah sadar
“perdefinisi” korupsi identik selalu naik harga padahal tidak. Kalau
pimpro memotong Rp 100.000, itu seolah dianggap bukan KKN, rasanya
seratus juta rupiah ke atas baru disebut KKN. Jadi, KKN bisa dikatakan
sebagai musuh bersama dan utama bangsa dilakukan oleh warga bangsa
sendiri, dengan nuansa hipokritisme luar biasa yang amat menyesakkan
dada.
KKN
meluas karena dimaklumi kanan kiri dan enak dibuat kerja sama dengan
saling menutupi. Karena itu, salah satu akibat yang termasuk fatal, KKN
telah merusak hubungan sosial. Per-individu dan lembaga masyarakat
saling menaruh curiga satu sama lainnya secara meluas. Seolah tidak ada
celah lagi di masyarakat kita, untuk membangun silaturahmi dengan hati
bersih dan tulus ikhlas. Rasanya kita telah kehilangan salah satu modal
dasar masyarakat beradab, yaitu rasa saling percaya.
Masyarakat
majemuk multikultural telah terfragmentasi karena KKN, sekaligus
menimbulkan efek iming-iming menggiurkan melalui jalan pintas. Untuk
itu, demi eksistensi bangsa dan negara sangat dibutuhkan kemauan politik
bersama antara “regol dan gemboknya” itu, dalam mencegah dan
memberantas KKN secara simultan, sistematis, dan tegas.
GERAKAN
Disiplin Nasional, Gerakan jalan lurus lintas pakar dan agama, gerakan
anti suap KADIN, serta koalisi Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah,
dalam membangun good governance termasuk mencegah KKN sebagai tindakan
fasad (membuat rusak tatanan semesta), pas benar dengan kehendak langkah
bersama seluruh warga bangsa, yang di tetapkan MPR (GBHN) dan UU
(Propenas) memberantas risywah (korupsi) ini.
Bappenas
melalui kajian ilmiah menawarkan 14 prinsip yang representatif: 1.
Visioner; 2. Transparan; 3. Responsif; 4. Akuntabel; 5. Profesionalitas;
6. Efisien dan Efektif; 7. Desentralisasi; 8. Demokratis dan
berorientasi pada Konsensus; 9. Parsitipatif; 10. Kemitraan; 11.
Supremasi Hukum; 12. Pengurangan kesenjangan; 13. Komitmen pada
pasar;14. Komitmen pada lingkungan hidup.
Bersama-sama
seluruh kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya, yang
tentu harus sehat dan bersih mewujudkan pula good governance. Fungsi
pengawasan perlu terus ditingkatkan secara lebih efektif dengan
menjunjung tinggi supremasi hukum berkeadilan rakyat dan hak asasi
manusia. Karena tekad yang luar biasa itu merupakan pertama kali dalam
sejarah Indonesia sebagai salah satu mission sacre, maka masuk kategori
opportunity doesn’t comes twice, sehingga tidak layak untuk gagal. Ini
sekaligus tantangan bagi presiden dan kabinet baru hasil Pemilu 2004.
Semua
itu kebetulan pula berbarengan dengan pembenahan birokrasi untuk
mencapai kinerja (performance) yang tinggi. Diharapkan reformasi
birokrasi pemerintah yang sedang gencar kita laksanakan, baik dalam
aspek pelayanan publik, sumber daya aparatur, kelembagaan,
ketatalaksanaan maupun akuntabilitasnya, menjadi lebih cepat terlaksana
karena mendapat dorongan dan dukungan penuh. Hapusnya sifat kebohongan
publik yang didambakan rakyat segera tiba, karena langsung lebih dekat
dan melibatkan masyarakat luas secara transparan.
KKN
birokrasi lebih banyak secara spesifik menyangkut kebohongan publik.
Ciri-cirinya antara lain ada penyelewengan atau penyimpangan tetapi
sulit dilacak. Bahasa populer menyatakan “seperti orang membuang gas
yang berbau tetapi sulit dilacak pelakunya”. Ciri lainnya adalah publik
kurang mempunyai akses terlibat dan menjangkau praktik birokrasi
pemerintah sehari-hari. Struktur yang ada cenderung melindungi yang
kadang-kadang tanpa disadari, karena mulai dari pimpinan sampai staf
sering terjangkit budaya rutinitas,
Lupa
bahwa perilakunya salah, tidak tahu kalau memperlakukan prinsip
pengecualian dan dikecualikan, tetapi sesungguhnya itu adalah
penyelewengan. Kelemahan lainnya dari birokrasi pemerintahan yang banyak
terjadi adalah, kurang mengerti antara urusan pribadi dan kepentingan
negara. Kesadaran rendah bahwa inefisiensi itu berbahaya karena amat
bertalian dengan KKN. Akhirnya sulit menempatkan makna toleransi dengan
penegakan disiplin dan tata kerja.
Dengan
gerakan nurani anti KKN, sekaligus lebih dibukanya akses publik untuk
lebih jeli dalam menilai birokrasi secara transparan, maka mulai dari
perekrutan SDM aparatur sampai tatalaksana dan pelayanan publik harus
dideteksi secara dini. Apakah telah memenuhi kaidah-kaidah akuntabilitas
atau tidak.
Di
situlah awal KKN. Jika tahapan tersebut dapat dibersihkan segera, maka
prinsip-prinsip kompetensi, profesionalisme, meritokrasi, pelayanan
prima serta budaya kerja yang baik lainnya, lebih mudah ditegakkan.
Sementara berbagai trik, “permainan” dan kamuflase yang sesungguhnya
inefisien dan inefektif bermuatan KKN, juga lebih cepat terkuak.
Lebih
dari itu, dukungan kritik dan saran serta masukan dari masyarakat
terhadap berbagai aspek perilaku KKN birokrasi, juga akan lebih mendapat
jalan keluar dan tindak lanjutnya secara relatif lebih cepat,
transparan dan amat dipertanggungjawabkan. Kiranya selama ini masyarakat
sudah bosan, selalu mendengar penjelasan “O, itu sedang diusut, sedang
dalam proses internal tindaklanjutnya, tidak cukup bukti atau lemah
dakwaannya.”
HAL
penting yang perlu mendapat tekanan publik adalah soal prioritas
koordinasi penanganan berbagai kasus KKN. Aparatur pemerintah perlu
dikembangkan pada posisi yang benar, didudukkan pada konstelasi dan
komposisi yang tepat lewat kajian ilmiah dan empiris. Juga ditingkatkan
kedisiplinannya, ditegakkan soal reward and punishment -nya tanpa
pandang bulu, serta sangat penting membebaskan aparatur negara dari
praktik KKN.
Menyadari
terbatasnya wewenang, aspek koordinasi menjadi sangat penting. Hasil
kajian, saya tuangkan dalam berbagai instruksi serta dibuat pula Surat
Edaran ke seluruh instansi pemerintah di Pusat dan Daerah perihal
Intensifikasi Pemberantasan KKN. Kemudian sangat penting, selalu saya
tekankan agar Kepala Polri, Jaksa Agung, Kajati, BPKP, dan para pengawas
lainnya, supaya menindaklanjuti hasil rapat koordinasi lengkap dengan
rekomendasi mendalam dari para penegak hukum di Pusat dan Daerah yang
berlangsung di Bali 16-17 Desember 2002.
Sebelumnya,
13 Maret 2002 saya mengundang Jaksa Agung dan Kepala Polri untuk
membahas percepatan dan keseriusan kedua instansi itu dalam
menindaklanjuti berbagai temuan BPK dan BPKP. Dengan berbagai cara,
secara komprehensif dan sistematis kita selalu menagihnya setiap saat.
Di benak saya selalu melekat stigma sejarah “macan ompong ” serial Tim
Pemberantasan Korupsi yang timbul tenggelam dan warning pakar reformasi
China, Wang An Shih, beberapa abad lalu, bahwa KKN muncul karena
kekuasaan bermoral rendah dan hukum yang lemah.
Melalui
koordinasi pula, perlu diprioritaskan agar para pihak yang berkolusi
dengan aparat, mendapat tindakan hukum yang setimpal, bahkan jauh lebih
berat. Nurcholish Madjid (2003) menyebutnya, Allah melaknat yang
menyuap, penerima suap, dan perantara suap. Teten Masduki dari ICW
(2003) bahkan menyebutkan penyuap di Indonesia lebih kuat dari yang
disuap. Sementara Kwik Kian Gie (2003) mengatakan,”bangsa Indonesia
hancur karena kolaborasi konglomerat (elite pengusaha) dengan elite
kekuasaan”.
Kita
menaruh harapan besar pada gerakan moral nasional anti KKN dari
religiusitas NU dan Muhammadiyah yang dicanangkan 15 Oktober lalu.
Kampaye Nasional Anti Suap (KNAS) yang dicanangkan praktisi realitas
bisnis KADIN 1 Oktober 2003, juga mendambakan terwujudnya good
governance, dengan harapan benar-benar menyentuh seluruh aspek public
sphere dalam segi religiusitas dan realitas horizontalnya.
Kalau
kita semua bersih dari KKN disertai jati diri yang kuat khas Indonesia
sehingga lebih bagus dari Jepang dan Korea misalnya, maka sebentar lagi
(setelah membenahi banyak ketertinggalan yang lain, salah satu contohnya
mengatasi teori, apabila secara nasional pengelolaan SDM tidak
berhasil, maka pengelolaan pada tingkat perusahaan dan birokrasi
pemerintah terkena dampak dari ketidak berhasilan itu) bangsa Indonesia
akan menjadi Singa paling perkasa di antara Macan-Macan Asia.
Sebaliknya,
jika jati diri hilang, maka seluruh warga bangsa kehilangan
segala-galanya (Michael P Todaro-1997). Jangankan memberantas KKN,
Macan-Macan tetangga pun akan keheranan, kenapa manusia Indonesia tega
memakan anak cucu kandungnya sendiri yang diperkirakan berjumlah 400
juta lebih pada tahun 2020.
Feisal Tamin Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara