Mohamad Sobary
Pada suatu malam di suatu daerah di dalam Kota Makassar ada pencurian. Sejenak suasana menjadi heboh. Kehebohan memuncak semakin jelas dan agak melegakan ketika ketahuan kemana di pencuri melarikan diri.
Massa pun mengejar si pencuri, dan entah bagaimana permulaannya, polisi ikut pula mengejar dengan gigih. Abdi hukum ini tangkas dan pencuri ibaratnya hanya tinggal dijambak dari jarak kurang sedepa di belakangnya.
Tiba-tiba di pencuri terantuk dan terjatuh. Otomatis dia mengaduh. Dan dimana-mana, tiap orang mengaduh dalam bahasa ibunya, yang dikenal akrab sejak kecil, seolah cara mengaduh sudah menjadi bagian dari hidupnya. Begitu juga si pencuri. Ia berteriak spontan :
“Aduh biyung…” (aduh mak…).
“Husy, kowe Jowo yo?” (kau Jawa ya?) jawab abdi hukum itu spontan pula. Pak Polisi mengerti keluhan si pencuri karena ia juga orang Jawa.
“Nggih pak pulisi” (ya pak polisi) jawab si pencuri.
“Kono, mlayu…, mlayu…” (sana, lari…, lari…), perintah pak polisi. Tanpa menunggu perintah itu diulang, si pencuri kabur dalam kegelapan malam, dalam kegelapan hukum, dalam kegelapan sejarah Kota Makassar.
Ini, tentu saja, kalau cerita ini benar. Kalau tidak, artinya hanya humor yang dibuat entah oleh siapa, tentu saja kita menerimanya dengan enak, tanpa beban-beban, tanpa prasangka. Bapak polisi pun akan menerimanya dengan ringan pula karena kalau hal ini tidak pernah terjadi, maka dengan sendirinyalah tak ada pihak yang bermaksud menyindir, atau menyudutkan pak polisi dan lembaga kepolisian.
Humor memang tak pernah berhenti pada humor itu sendiri. Tapi ia bukan fakta hukum, bukan fakta politik. Karena itu, ia tak harus dianggap mencemarkan siapa pun.
Apa gunanya kita menyudutkan orang lain, apalagi lembaga penting, yang notabene sangat kita butuhkan setiap hari, demi keamanan dan ketertiban kita? Apa enaknya kita menuduh? Bukankah tuduhan sangat mudah berbalik dan dengan mudah pula mencekik leher si penuduh sendiri?
Di mana-mana di luar kota Makassar, sejak dulu hingga kini, ada pencurian. Zaman sekarang jika pencuri tertangkap, massa mengamuk di luar batas kemanusiaan. Pencuri, yang mencuri hanya barang sepele, bisa di hakimi massa, dan tak jarang di bakar hidup-hidup. Kita ngeri melihat potret diri kita menjadi sebengis ini.
Tapi ada keanehan yang sulit dijelaskan : kenapa pencuri tidak pernah jera, meskipun resikonya luar biasa besar dan taruhannya, sekali lagi, dibakar?
Ini pencuri tingkat kampung, pencuri kecil-kecilan buat menyambung hidup, sekedar agar tak mati kelaparan.
Mencuri buat menyambung hidup bukan tanda kebobrokan moral, melainkan tanda kepepet secara ekonomi. Boleh jadi si pencuri melakukan tindakan pencurian itu dengan hati tersayat-sayat. Ia tidak ingin melumuri jiwanya dengan kezaliman.
Boleh jadi tiap habis mencuri ia berdoa kepada tuhan agar perekonomian keluarganya membaik, dan berjanji tak akan mencuri lagi. Ia berniat mengubah total cara hidupnya. Dengan begini, jelas pada dirinya ada pertobatan dan niat untuk hijrah dari kegelapan ke cahaya terang.
Bagaimana para pencuri besar, yang mencuri buat kekayaan, atau buat menghimpun pengaruh politik sehingga ia bisa menduduki suatu jabatan tinggi, dan disana ia mencuri lagi buat warisan anak cucu selain buat meraih jabatan lebih tinggi? Bagaimana pencuri yang mencuri, dan merampok uang negara, dan mengeringkan kas kantor karena aliran uang dibelokkan ke rumahnya?
Pada tingkatan ini, pencuri berhitung menggunakan rumus eksakta dan juga rumus-rumus agama. Semua segi dikalkulasikan, bahkan di uji coba secara sangat cermat dengan hitungan jeli dan “njelimet” dan atas dasar hitungan itu pencuri akan selalu selamat.
Uang hasil curian itu dibagi kesana kemari dan semua pihak kebagian. Ada pihak-pihak yang dibikin sangat kaya mendadak, dan terpesona, dan tak akan berani berkutik sehingga orang itu akan melindunginya.
Si pencuri dengan begitu bukan hanya mencuri uang tapi juga mencuri jiwa orang lain agar mereka ikut bergabung melindungi kebejatan jiwanya. Sebuah kebejatan akan selalu melahirkan dan beranak-pinak dengan corak kebejatan lain. Masyarakat kita pun penuh kebejatan.
“Ia tidak takut dengan Tuhan?”
“Takut. Tapi Tuhan pun – setidaknya menurut perasaannya – sudah pula disogoknya”
“Tuhan? Disogok? Dengan cara apa Tuhan disogok?”
“Sekali lagi, menurut perasaannya yang sudah gelap dan membatu, dia mengira Tuhan bisa disogok”
“Apa yang dilakukannya?”
“Ia menjadi dermawan, yang dengan murah membiayai pembangunan demi pembangunan rumah Tuhan. Dan rumah Tuhan yang reyot pun dibangun dengan uang curian itu.”
Ketika rumah Tuhan jadi, ia duduk di pojok yang nyaman, dan berdoa disana tiap habis shalat jamaah, tiap habis pertemuan, tiap habis ceramah agama, dan orang lain berkesimpulan dia orang saleh dan dermawan.
Orang-orang menjadikannya idola. Diam-diam mereka berharap bisa mengikuti jejaknya.
Hal ini membuatnya mabuk. Dia lalu percaya kepada kebohongannya sendiri, dan lama-lama ia terpesona menyadari betapa ia bisa menipu secanggih itu hingga dirinya sendiri pun tak sadar telah tertipu oleh tipuannya sendiri. Masya Allah.
Orang lain belum tentu sepuluh tahun sekali ke tanah suci, tapi dia bisa tiap saat ke sana. Pusing sedikit ke tanah suci. Dan ia berkata dengan anggun dan saleh bahwa kita akan semakin dekat kepada Tuhan dan kedekatan kita itu akan penuh berkah bila kita rajin “sowan” ke tanah suci.
Orang-orang pun makin takjub mendengar kata-katanya. Luar biasa. Jarang orang bisa mencapai tahap kesalehan setingkat ini. Dalam seribu barangkali hanya ada satu.
Pada suatu pagi orang saleh ini diringkus polisi. Kedoknya terbuka. Kita tahu, kesalehan tak bisa jadi satu dengan kezaliman. Sepandai-pandai orang membungkus, yang busuk berbau juga. Kebenaran tak bisa disatukan dengan kebatilan. Kesalehan itu satu hal. Pencuri itu hal lain. Dan polisi lain lagi.
Kompas Minggu, 20 Maret 2005,