Versi Tokoh Lintas Agama dan Pemuda
JAKARTA—Tokoh-tokoh lintas agama dan pemuda, Senin (10/1), menyampaikan pernyataan terbuka tentang perlawanan terhadap kebohongan pemerintah. Dalam pernyataan yang disampaikan di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta tersebut, para pemuda menyampaikan sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.
Menurut mereka, pemerintah telah berbohong dalam hal penyampaian angka kemiskinan, kebutuhan rakyat, ketahanan pangan dan energi, pemberantasan teroris, penegakan hak asasi manusia, anggaran pendidikan, kasus Lapindo, kasus Newmont, serta kasus Freeport.
Salah satu perwakilan golongan pemuda, Ray Rangkuti, menyampaikan, kebohongan pertama pemerintah adalah mengatakan bahwa penduduk miskin 2010 mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, kata Ray, apabila digunakan data penduduk yang layak menerima beras miskin, jumlahnya mencapai 70 juta. "Jika digunakan data penduduk yang berhak dapat Jamkesmas, jumlahnya 76,4 juta," katanya saat membacakan pernyataan.
Kedua, menyangkut kebutuhan rakyat. Dikatakan Ray, pemerintah berjanji akan mengamankan sektor pangan, tetapi kenyataannya pemerintah malah menyerahkan harga kebutuhan rakyat tersebut pada mekanisme pasar. "Kesulitan hidup masif dirasakan rakyat," ujarnya.
Kebohongan ketiga, terkait dengan ketahanan pangan dan energi. Disampaikan Halid Muhammad, pemerintah pernah mempromosikan terobosan dalam ketahanan pangan dan energi berupa padi Supertoy dan program Blue Energy yang sampai saat ini tidak jelas hasilnya.
Keempat, dalam pemberantasan teroris. Presiden SBY menyampaikan bahwa dirinya merupakan sasaran terorisme pada 2009. Cerita itu, kata Halid, hanyalah cerita lama. "Foto yang ditunjukkan Presiden (teroris latihan membidik wajah SBY) adalah foto lama yang disampaikan di DPR 2004," katanya.
Kelima, dalam penegakan HAM, terkait dengan kasus Munir. SBY berjanji menuntaskan kasus Munir, tetapi hingga kini tidak ada perkembangan signifikan. "Korban pelanggaran HAM lainnya juga melakukan aksi setiap Kamis di depan Istana tanpa tanggapan," ujar Yudi Latief melanjutkan Halid.
Yang keenam, pemerintah, lanjut Yudi, berbohong dalam melaksanakan Undang-Undang Sisdiknas yang mengatakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN di luar gaji guru dan dosen. Kenyataannya, hingga kini anggaran 20 persen APBN itu masih termasuk gaji guru, dosen, dan pendidikan kedinasan.
Ketujuh, kata Maemunah, terkait dengan kasus Lapindo. Presiden SBY meminta adanya solusi permanen kasus Lapindo. Namun, hingga kini para korban Lapindo masih menuntut haknya dengan menggelar aksi di sejumlah daerah. Selain itu, pada 7 Agustus 2009 malah diterbitkan SP3 kasus tersebut. "Pemerintah atau Lapindo tidak lagi berupaya menutup semburan lumpur," katanya.
Kedelapan, terkait dengan kasus Newmont. Pada pidatonya di Manado pada 2009, Presiden meminta semua negara di dunia melindungi dan menyelamatkan laut. "SBY bohong sebab tiap hari Newmont membuang limbah ke Teluk Senunu, NTB, sebanyak 120.000 ton," katanya.
Dan terakhir, terkait dengan kasus Freeport yang hingga awal 2011 ini tidak terlihat upaya berarti untuk renegosiasi kontrak, padahal pada 2006 pemerintah telah membentuk tim audit PT Freeport.
Sementara sembilan kebohongan baru pemerintah yang terjadi sepanjang 2010 berkenaan dengan kebebasan beragama; kebebasan pers; perlindungan terhadap TKI-pekerja migran; transparansi pemerintahan, pemberantasan korupsi; pengusutan rekening mencurigakan (gendut) perwira polisi; politik yang bersih, santun, beretika; kasus mafia hukum yang salah satunya adalah kasus Gayus H Tambunan; dan terkait kedaulatan NKRI.
Salah seorang pemuda, Riza Damanik, menyampaikan, kebohongan pertama pemerintah adalah saat presiden berpidato pada 17 Agustus 2010 yang isinya menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, dan kebebasan beragama. Padahal kenyataannya, janji tersebut tidak terpenuhi.
Sepanjang 2010 terjadi 33 penyerangan fisik atas nama agama. "Mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengatakan, 2009 terjadi 40 kasus kekerasan ormas, 2010 menjadi 49 kasus," katanya.
Kebohongan kedua, terkait kebebasan pers. Presiden menjanjikan jaminan terhadap kebebasan pers dan kepolisian berjanji akan menindak tegas setiap kasus kekerasan terhadap insan pers. "Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat selama 2010 kasus kekerasan pers sebanyak 66 kasus meningkat dari 2009 yang 56 kasus," kata Riza.
Ketiga, kebohongan terkait perlindungan terhadap TKI atau pekerja migran. Presiden berjanji akan melengkapi TKI dengan telepon genggam agar tidak terjadi ketertutupan informasi, tetapi nyatanya, telpon genggam tidak juga diberikan dan memorandum untuk melindungi para TKI tidak juga dilakukan.
Keempat, terkait transparansi pemerintahan. Aktivis pemuda, Stefanus Gusma, membacakan, Presiden SBY menyatakan bahwa kepindahan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Bank Dunia adalah atas dasar permintaan Bank Dunia. Namun, di sebuah media nasional diungkapkan bahwa kepindahan Sri Mulyani sesungguhnya merupakan paksaan dari Presiden. Seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan, Sri Mulyani tidak pernah berniat mengundurkan diri.
Kelima, lanjut Gusma, terkait pemberantasan korupsi. Presiden berkali-kali berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. "Namun, riset ICW, dari pernyataan SBY yang mendukung korupsi, hanya 24 persen yang terlaksana," katanya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, melanjutkan, kebohongan keenam pemerintah adalah pengusutan rekening gendut para pewira Polri. Presiden menginstruksikan jika ada pelanggaran hukum, yang terkait harus diberikan sanksi. Jika tidak, Kapolri harus menjelaskan kepada masyarakat.
Namun kenyataannya, kata Haris, sampai saat ini baik masalah rekening gendut maupun pelaku penganiayaan aktivis ICW Tama S Langkan masih misterius. "Bahkan 7 Agustus 2010 dan 29 Desember 2010 dua Kapolri mengatakan, kasus ini ditutup," katanya.
Kebohongan ketujuh, Presiden menjanjikan politik yang bersih, santun, dan beretika. Padahal kenyataannya, lanjut Haris, hingga kini, Andi Nurpati masih menjadi pengurus Partai Demokrat meskipun sudah diberhentikan tidak hormat oleh Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Andi Nurpati melanggar peraturan KPU," imbuhnya.
Kedelapan, lanjut aktivis ICW, Tama S Langkun, terkait kasus mafia hukum. Kapolri Jenderal Timur Pradopo berjanji menyelesaikan kasus pelesiran terdakwa mafia pajak Gayus H Tambunan dalam 10 hari. Tapi kenyataannya tidak ada keterangan pers tentang hal tersebut.
"Kapan Gayus keluar, pergi naik apa, dengan siapa, aktivitasnya, sekarang malah mencuat kasus baru, Gayus pelesir ke luar negeri," kata Tama.
Dan kesembilan, kebohongan pemerintah menyangkut kedaulatan NKRI. Pada 1 September di Mabes TNI Cilangkap Presiden menyampaikan bahwa perlakuan tidak patut terhadap tiga petugas KKP sedang diusut. Pemerintah Malaysia sedang menginvestigasi masalah tersebut. "Tapi sampai saat ini tidak pernah diumumkan penjelasan atau hasil investigas apa pun," pungkas Tama.
Minta Umat Melawan
Para tokoh lintas agama yang hadir dalam acara itu mengaku merasa gerah terhadap kebohongan pemerintah. Mereka berjanji mengajak umat untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden SBY.
Sembilan pemuka agama yang hadir dalam acara adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, tokoh NU Salahuddin Wahid, Ketua Umum PGI Pdt Andreas A Yewangoe, Ketua KWI Mgr Martinus Dogma Situmorang, tokoh agama Buddha Bikkhu Pannyavaro, tokoh agama Hinddu I Nyoman Udayana Sangging, tokoh agama Katolok Franz Magnis Suzeno dan Romo Benny Susetyo.
Syafii Maarif mengungkapkan dirinya merasa miris dengan kondisi negeri ini. Pemerintah tidak dapat mengaplikasikan konstitusi negara untuk berpihak kepada masyarakat miskin. "Dalam pembangunan pemerintah tidak memanfaatkan konstitusi untuk membantu masyarakat miskin. Politik ekonomi tidak berpihak kepada rakyat miskin. Akibatnya negeri ini rapuh secara politik, ekonomi, maupun hukum. Pemimpinnya dikelilingi oleh masyarakat miskin," tegasnya.
Dikatakan, selama ini pemerintah hanya melakukan pengelolaan kebijakan yang berpihak pada kepentingannya. Pengelolaan kebijakan inilah yang dimaksud sebagai kebohongan oleh Syafii Maarif.
Pernyataan ini diamini oleh delapan pemuka agama lainnya. Martinus Situmorang mengungkapkan ia akan mengajak umatnya untuk memerangi kebohongan ini. Ajakan ini merupakan peran yang sesuai selaku pemuka agama.
"Kami setuju dengan misi ini. Makanya kami akan berikan kontribusi sesuai dengan peran kami. Kami adalah pemuka umat, makanya kami ajak umat," jelasnya.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno mengingatkan setiap pemuka agama memiliki cara perlawanan yang berbeda. Ia sepakat untuk bersikap kritis terhadap pemerintahan Presiden SBY.
Pernyataan sikap ini merupakan rangkaian kegiatan pemuka agama dalam menyikapi kondisi bangsa. Sebelumnya, pertemuan seperti ini digelar di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Rencananya, acara serupa akan digelar secara terus-menerus. (hk/kc/mi)
Sumber: http://haluankepri.com/