Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah strateginya ini, nampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan metodenya, bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi. Setelah Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index (CPI), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan hasil Survei Integritas 2010, Transparency International-Indonesia (TI-Indonesia) menyampaikan pada publik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia).
IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. IPK Indonesia dibuat berdasarkan survei yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237 responden pelaku bisnis, antara bulan Mei sampai dengan Oktober 2010. IPK Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota propinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara ekonomi. Rentang indeks antara 0 sampai 10. 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih. TII menyasar responden pelaku bisnis. Para pelaku bisnis dibagi menjadi 3 kategori yakni perusahaan besar (22 persen), menengah (40 persen), kecil (38 persen).
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Kota Jakarta hanya 4,43. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia (TII) dari skala 0-10 nilai Jakarta masih di bawah standar. Jakarta belum bebas dari korupsi, malah jauh dari angka sempurna. Kota Denpasar mendapat skor tertinggi (6,71) disusul Tegal (6,26), Solo, (6,00), Yogyakarta dan Manokwari (5,81). Sedang dua kota yang mendapat poin terendah yakni Cirebon (3,61) dan Pekanbaru (3,61). Kota Jakarta berada di peringkat 38 dari 50 kota yang dinilai.
Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik, sementara pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi, menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah
Untuk Kota Denpasar, skor IPK Indonesia 2010 sejalan dengan hasil Survei Integritas Pelayanan Publik 2009 yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menempatkan Denpasar sebagai salah satu kota dengan skor terbaik. Kota Solo dan Jogjakarta memang saat ini sedang menunjukkan prestasi di bidang reformasi birokrasi yang terefleksi dari skor IPK Indonesia yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan prestasi kedua kota yang baru-baru ini juga mendapatkan Bung Hatta Anti Corruption Award. Sementara di kota dengan skor terendah, Pekanbaru dan Cirebon, pemberitaan media lokal maupun nasional memang dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana (infokorupsi.com). Hal ini tentunya sangat mempengaruhi persepsi para pelaku bisnis di sana.
IPK Indonesia nampaknya juga sangat berpengaruh sebagai efek “cambuk” bagi pemerintah daerah kota yang mendapatkan skor rendah. Sebagai contoh Kota Tegal dan Kupang, yang pada tahun 2008 mendapatkan skor rendah, selama satu tahun ini menunjukkan inisiatif-inisiatif reformasi birokrasi yang berdampak pada meningkatnya skor kedua kota ini secara signifikan. Kota lain yang menunjukkan peningkatan skor yang signifikan dari 2008 ke 2010 adalah Manokwari, Kendari, dan Manado.
Dengan dikeluarkannya hasil survei ini, Pihak pemerintah DKI Jakarta agar menggunakan IPK Indonesia sebagai indikator kepercayaan para pelaku bisnis terhadap penerapan transparansi dan akuntabilitas di Jakarta, dan menjadi “cambuk” untuk melakukan reformasi birokrasi dalam pelayanan publik, terutama yang berkaitan dengan usaha, dan bekerja lebih serius dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan korupsi.
Sumber : djakartanews.blogspot.com