By : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Dalam tulisan sebelumnya saya melihat masalah KKN sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis, dan lebih mandiri.
Dalam tulisan ini saya ingin memusatkan perhatian pada penaggulangan masalah KKN dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing tindakan dalam KKN dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas, dan lebih pokok, yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah KKN akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penaganan seterusnya sampai tuntas
Membuat Batasan Arti KKN
Saya mengamati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur. Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak sama bagi orang yang berbeda, apalagi kalau sudah digabungkan menjadi satu.
Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas sedikit lebih mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang bisa besar antara satu dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana masalah yang dibahas menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.
Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian yang akurat suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah yang berkaitan dengan istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas atau tidak akurat bagaimana dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah yang berkitan dengan istilah tersebut ?
Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu, ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah penyelesaian dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu realistis? Saya takut bahwa menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih banyak menimbulkan perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan mungkin malahan menghambat.
Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu pernyataan politis memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. Semua setuju, semua mendukung. Akan tetapi kalau ingin disusun suatu strategi penanganan masalah ini, langsung ditemukan halangan untuk dapat ditemukan jalan keluarnya secara tuntas. Untuk membuat suatu program yang bisa dilaksanakan perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar masalah, mana yang menjadi akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana ukuran besar kecilnya masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.
Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas; apa yang dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang akhirmya merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. Ingat skandal Gedung Putih bagaimana mendefinisikan hubungan sex menurut ketentuan hukum yang memang menuntut definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan suatu istilah. Akan tetapi saya yakin bahwa untuk masalah KKN definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya menjadi rancu dan jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing unsur dari ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, semua setuju, semua mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah KKN sampai sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa Pemerintah menangani masalahnya secara sungguh-sungguh. Itupun tidak selalu meyakinkan, seperti mengirim dua pejabat tinggi negara untuk mengusut sinyalemen majalah Time guna memperoleh jawaban dari pemerintah Austria yang sebenarnya telah diketahui tanpa mengirimkan misi tersebut. Dilain pihak penanganan juga nampak terlalu yuridis menghadapi masalah yang bernuansa politis.
Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai kasus mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan, dan mengapa demikian.
Arti KKN
Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela yang ingin kita berantas.
Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, padahal tidak, ini dapat menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan tidak adanya program atau tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.
Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya jawaban terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga mungkin jelas, tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. Akan tetapi bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang termasuk kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan, kalau kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini tidak gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.
Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas. Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang terkesan demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, bagaimana program penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan yang akan diikuti dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua perlu kejelasan, sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya yakin masyarakat menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan adil. Karena masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan strategi penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian. Keterbukaan ini juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas tuntuan keadilan ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto dengan keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh siapapun harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan perincian kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.
Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan langkah yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang menuntut dan politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai sekarang nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan penguasa. Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan menyeret seseorang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang tidak jelas dan menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan ini dapat menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya bersalah atau menindak yang sebenarnya tidak bersalah.
Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam keadaan normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - kejaksaan, kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga yang bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.
Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau batasan-batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan pentahapannya, Semua menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, karena itu tidak akan selesai secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka kejelasan semua ini dengan pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal tadi harus dilakukan.
8 Seperti diketahui, yang sering dilakukan pengusaha di Indonesia hanya menjual barang atau jasa yang dihasilkannya dengan harga yang dikaitkan dengan dollar, meskipun mereka mengetahui bahwa pembelinya adalah pembeli domestik dengan pendapatan yang berbasis rupiah. Di Jakarta dan kota besar lainbanyak transaksi yang menggunakan basis dollar; tidak hanya tarip hotel, tetapi sewa bangunana atau apartement atau berbagai jasa lain. Argumentasinya, kan sistim devisa Indonesia bebas, jadi sama saja apakah transaksi itu dalam mata uang asing atau rupiah. Sebenarnya ini selain menyalahi ketentuan penggunaan rupiah sebagai mata uang pembayaran nasiaoanl, juga menunjukkan 'moral hazard' dari pihak yang bertransaksi bahwa sistim nilai tukar kita itu, menurut persepsi mereka ini, pada dasarnya tetap. Sinisme kita akan mengatakan bahwa ini lindung nilai (hedging) a la pengusaha kita
Memusatkan Penanganan Masalah Kkn Pada Korupsi
Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi. Ketiganya memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang malakukannya dan apa sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut.
Kalau masalah korupsi ini dipisahkan dulu dari yang lain, maka kita mungkin terhindar dari sloganisasi. Tuntutan akan lebih jelas dan penyidikan masalahnya akan lebih fokus, karena itu Pemerintah lebih sukar untuk mengobral janji saja. Dalam Undang-undang tentang tindak pidana ekonomi, tindakan korupsi telah didefinisikan secara cukup eksplisit. Pada dasarnya unsur-unsurnya adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, yang merugikan negara. Ini mungkin bisa dibuat lebih eksplisit, tetapi minimal telah ada basisnya.
Saya kira kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata. Apakah hal ini bergandengan dengan kolusi dan nepotisme, bisa diteliti lebih lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu kolusi dan nepotisme, maka pembuktiaan siapa yang teribat dalam korupsi akan menyangkut jaringan kolusi dan nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring mereka ini semua. Tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan melanggar hukum yang merugikan negara menurut suatu definisi yang pasti.
Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain atau antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya kolusi atau nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. Nepotisme dan kolusi ini tidak hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan yang tidak dikehendaki hal tersebut harus juga diukur dengan kriteria adanya pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan negara atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi.
Dalam kebanyakan masyarakat pemberian suatu surat referensi sebagai suatu 'jaminan' mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah diterima secara umum. Yang diharapkan tidak terjadi adalah penyalah gunaan surat referensi tersebut. Jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini yang tidak boleh disalah gunakan. Istilah 'katabelece' adalah untuk penyalah gunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas, mana yang boleh mana yang tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan oleh seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Dalam hal adanya tidakan korupsi ketentuannya telah jelas. Bagaimana dengan kolusi dan nepotisme?
Sekuat keinginan kita menghilangkan kolusi dan nepotisme, kita perlu secara realistis melihat, apakah ketentuan-ketentuan mengenai hal ini telah jelas? Saya takut belum. Dan ini salah satu sebab mengapa penghapusan masalah ini nampak begitu susahnya di masyarakat kita.
Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan untuk melarang adanya kolusi dan nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut ketentuan untuk masa depan yang harus diperhatikan. Sedangkan kita juga melihat bahwa praktek kolusi dan nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk menghabiskan praktek-praktek ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang, kecuali mereka yang mempraktekkan.
Untuk masa depan nampaknya tidak sulit memikirkan, ketentuan-ketentuan kepegawaian yang masih dirasa ganjil harus benar-benar ditelusuri, demikian pula mengenai tender,kontrak, dsb. Untuk menghindarkan diri dari meluasnya nepotisme dan kolusi ini. Dulu pernah ada ketentuan tentang larangan berusaha bagi pejabat atau isteri pejabat. Tapi pelaksanaannya tidak pernah dicek. Ketentuannya hanya bersifat politis, untuk sekedar menunjukkan bahwa ada kepedulian tentang masalah ini dan enforcementnya tidak ada. Sama dengan gerakan hidup sederhana, membuat ketentuan yang membatasi jumlah tamu pesta pejabat, dst. Semuanya hanya dalam slogan tetapi tidak ada enforcement. Kerapkalai peraturan ini hanya diperuntukkan bagi orang lain diluar pembuat ketentuan dan kelompoknya, karena itu menimbulkan ketidak adilan dan semakin banyak terjadi pelanggaran tanpa ada sanksinya. Karena itu berbagai ketentuan kepegawaian harus ditinjau kembali untuk mengatasi masalah nepotisme dan kolusi ini. Misalnya dalam perbankan ada ketentuan bahwa suami isteri tidak boleh bekerja dalam instansi yang sama. Akan tetapi bagimana dengan bapak dan anak, bagaimana dengan ibu dan anak dan keluarga lain. Ini juga harus jelas. Kalau antara suami dan isteri tidak boleh bekerja dalam satu instansi karena hubungan keluarga ( ada nepotisme), sebenarnya tidak masuk akal bahwa antara bapak dan anak tidak ada larangannya. Ini harus ditentukan definisinya secara rinci, apa yang dimaksud dengan kolusi, apa yang dimaksud dengan nepotisme, dan mana yang dianggap melanggar ketentukan dan apa sanksi terhadap pelanggarannya. Yang ingin dihindarkan adalah kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan. Ini yang harus menjadi pegangan.
Coba kita amati betapa banyaknya praktek ini di masyarakat kita, hubungan keluarga atau kroni yang bekerja dalam satu instansi. Bagaimana masalah hubungan pejabat dari suatu instansi dengan swasta? Coba kita lihat begaimana praktek pejabat tinggi di Indonesia; hubungan suami (pejabat) dan isteri (pengusaha rekanan) dan bapak (pejabat) dengan anak (pengusaha dan rekanan). Mungkin perlu terlebih dahulu disusun daftar kekayaan dan hubungan kekeluargaan atau kroni dari pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi, seperti 'self assessment' dalam perpajakan. Sebenarnya dari dulu ada laporan daftar kekayaan pejabat tinggi, ini tentunya dapat digunakan sebagai permulaan. Daftar ini nantinya harus dicocokan dengan daftar yang disusun oleh instansi atau suatu komisi yang independent. Kalau hal ini dilakukan kita akan mempunyai daftar yang menarik. Siapa pejabat yang isteri, anak dan keluarga dekatnya bekerja dalam instansi yang sama, siapa keluarga dekat yang menjadi pengusaha rekanan dari instansi yang bersangkutan, dst. Daftar ini akan mempermudah bagaimana menelusuri masalah kolusi dan nepotisme. Instansi yang menangani penyidikan harus menggunakan daftar ini secara profesional, untuk maksud penyidikan, bukan untuk maksud lain yang juga merupakan tindakan pelanggaran hukum. Azas praduga tidak bersalah harus dihormati, bukan asal main tuduh kemudian dilakukan ancaman pembekuan rekening bank atau penyitaan aset tanpa diketahui ujung pangkalnya, selain akhirnya hilang.
Tambahan lagi orang kemudian tidak dapat seenaknya menuduh seorang pejabat atau mantan pejabat melakukan tindakan kolusi atau nepotisme. Sebanyak apapun hal ini telah terbukti, akan tetapi tidak boleh ada sikap apriori bahwa seseorang itu dianggap pelaku korupsi atau kolusi atau nepotisme hanya karena dia pejabat. Dalam ketidak jelasan sekarang, sering sebagai suatu sarana politik untuk mencemarkan nama seseorang dilontarkan saja tuduhan si A itu KKN. Permainanya hanya siapa yang lebih berani teriak dan dapat mempengaruhi media akan dianggap benar, sedangkan yang tidak cukup keras teriaknya atau bersikap diam langsung dianggap melakukan tindakan tidak terpuji ini. Jadi cara ini akan membantu penelusuran masalah KKN dan sekaligus melindungi orang yang memang tidak bersalah, dengan demikian membantu menegakkan keadilan yang sebenarnya..
Memang memprihatinkan bahwa kalau mereka ini diingatkan, apalagi kalau dituduh salah, maka jawabannya sudah tersedia, " kan bukan hanya saya yang melakukan" atau " ah, si A atau si B lebih dari saya (korupnya atau nepotismenya)" Padahal, bahkan seandainya orang lain melakukan, emangnya seseorang terus berhak untuk juga melakukannya? Orang yang percaya terhadap 'jangka Djajabaja' hanya jawab, ' kan ini memang jaman edan, kalau enggak ikut kan berabe'. Jelas percayanya pada ramalan ini hanya untuk enaknya sendiri. Kenapa menginterpretasikan Jangka Djajabaja tidak secara utuh?. (hanya 'sing ora edan ora komanan' dan 'mboya keduman milik, kaliren wekasanipun' artinya yang tidak gila tidak memperoleh bagian dan kalau tidak ikut akan kelaparan) Harusnya ambil seluruh ajaran ini yang akhirnya mengatakan " bekja bejaning sing lali, isih beja kang eling lawan waspada" artinya, seberuntung orang yang lupa diri masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Tetapi kita memang biasa ambil yang enak saja dari suatu ajaran, apapun bentuknya. Juga dalam hal 'panutan'. Ditengah benarnya kritik terhadap pemimpin yang tidak bener, tidak bisa jadi panutan, saya melihat bahwa panutan itu lebih gampang untuk hal yang gampang dan enak, kalau untuk yang sukar dan tidak enak, susah terlaksana. Artinya kalau 'bossnya nggak bener' maka sangat gampang para anak buah mengatakan 'habis boss nggak bener masa saya harus bener' sebagai alasan untuk ikut nggak bener. Tetapi kalau boss bener, jujur, emangnya anak buah otomatis akan ikut? Nampaknya tidak otomatis. Saya akan kembali mengenai hal ini di lain kesempatan
1 Hal-hal ini harus dirinci lebih lanjut. Di sini dikemukakan hanya sebagai suatu gambaran
Catatan Sementara
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu, maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya. Akan tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender, kontrak, serta ketentuan mengenai 'governance' pada umumnya. Mengenai langkah ke depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain
Cambridge, MA June 1999
Sumber : http://www.pacific.net.id/