Oleh Satjipto Rahardjo
KEPALANG ingin memberantas korupsi melalui jalan hukum, kita tidak dapat berpuas diri karena sudah memiliki Undang-Undang Anti Korupsi (1971, 1999, 2001) dan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Di atas itu sebaiknya kita membangun suatu konstitusi total yang ingin disebut "Orde Hukum Anti Korupsi".
Dengan konstitusi antikorupsi diharapkan tak hanya korupsi konvensional, tetapi semua bentuk korupsi dengan percabangannya dapat dibabat bersih.
Korupsi versi Undang-Undang Anti Korupsi "hanya" merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. Tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional.
KORUPSI di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) itu, menurut prognosis Syed Hussein Alatas, akhirnya hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self-destruction). Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa diisap.
Proses dan prognosis yang mengerikan itu niscaya tak cukup diatasi hanya dengan menghukum "perbuatan yang merugikan keuangan negara". Jalan menuju keambrukan masyarakat tidak dilakukan oleh korupsi konvensional sendiri, tetapi bergandengan dengan "korupsi-korupsi" lain, yang sementara ini masih ada di luar sasaran tembak dan perhatian.
Salah satu "musuh terselubung" adalah perbuatan-perbuatan yang ingin dimasukkan ke dalam kategori korupsi kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar, bekerja asal-asalan, tidak peduli perasaan rakyat, dan sebagainya.
Korupsi kekuasaan itu amat diduga terjadi setiap hari berdampingan dengan korupsi konvensional, tetapi tanpa terdeteksi, apalagi mengangkatnya ke dalam undang-undang. Lebih menakutkan lagi apabila kita berpikir betapa korupsi kekuasaan itu dapat menjadi voorklas (taman kanak-kanak) dari korupsi konvensional.
Pembiaran dan ketidakpedulian terhadap korupsi kekuasaan pelan-pelan akan mengantar masyarakat menjadi toleran terhadap korupsi yang kini ingin diberantas itu. Rakyat dibiasakan untuk menerima saja pelayanan publik dan hasil pekerjaan dinas-dinas publik yang tidak bermutu. Dengan demikian, korupsi kekuasaan telah membantu menciptakan iklim korup dalam masyarakat yang menjadi tempat pesemaian korupsi konvensional. Korupsi konvensional dapat dilawan melalui penghancuran atmosfer lingkungan yang menyuapi/menghidupinya, dalam hal ini perlawanan terhadap korupsi kekuasaan.
Korupsi kekuasaan, yang tidak hanya berkonotasi keuangan, terjadi dalam berbagai bentuk dan tingkat perusakan. Pada tingkat paling sederhana, orang bahkan tidak menyadari sama sekali, bahwa itu adalah bentuk korupsi dan memiliki daya perusak terhadap integritas kekuasaan publik.
Sebagai contoh, seorang pejabat publik sengaja membiarkan seseorang yang ingin menemuinya menunggu berlama-lama. Pejabat seperti ini sungguh tidak menyadari bahwa kekuasaan yang diembannya adalah amanah untuk mengabdi rakyat. Ia tidak memiliki kepedulian, tidak memiliki empati untuk rakyat, apalagi jika sikap itu sekadar ingin menunjukkan bahwa ia berkuasa dan bisa membuat "seseorang menderita". Yang ini sudah patologis!
MESKI kolonialisme itu buruk, kita masih dapat menemukan contoh-contoh yang baik pada administrasi kolonial tempo dulu. Di zaman Hindia-Belanda, ada sebuah ketentuan yang mengharuskan seorang pejabat untuk segera melayani rakyat yang datang kepadanya, dengan ancaman hukuman apabila tidak menjalankannya.
Apabila sekarang ada bupati dan gubernur dihukum karena korupsi, dulu pada tahun 1936, seorang bupati telah dipecat tanpa melalui proses hukum berbelit-belit. Ini adalah kasus pertama seorang pejabat tinggi dipecat. Bahkan seorang asisten-residen pernah melakukan pemecatan terhadap 120 persen kepala desa di wilayahnya. Itu berarti seluruh kepala desa dipecat ditambah 20 persen dari kepala desa yang baru.
Kala itu, seorang gubernur di Jawa Timur berani mengancam untuk memecat pejabat yang menyelewengkan proyek memerangi kelaparan rakyat di Bojonegoro.
Masalah memerangi korupsi kekuasaan diangkat karena ia akan memberi perkuatan (boost) terhadap usaha memberantas korupsi sekarang ini. Perlawanan terhadap korupsi kekuasaan akan menonjolkan generik dari perbuatan korupsi, yaitu kejahatan dan kesewenang-wenangan terhadap publik yang justru seharusnya dilayani. Perbuatan-perbuatan kekuasaan publik seperti itu kini masih dirasa sebagai sesuatu yang menjengkelkan, tetapi belum dilihat sebagai kejahatan terhadap rakyat.
Kualitas pelayanan menjadi parameter untuk menentukan korupsi kekuasaan. Seorang pejabat publik yang membiarkan rakyat menunggu adalah contoh tingkah laku pelayanan yang buruk, demikian pula dengan pengerjaan proyek-proyek fisik.
Parameter korupsi kekuasaan adalah "menjalankan tugas/pekerjaan secara tidak memadai/patut". Ukuran ini bisa dikenakan pada sekalian jabatan di ranah publik, mulai pimpinan proyek, akuntan, guru, dosen, rektor, kepala rumah sakit, kepala desa, bupati, jaksa, hakim, legislatif, menteri, dan seterusnya.
MEMERANGI korupsi kekuasaan diharapkan memberi sumbangan terhadap pemberantasan korupsi karena ia menyentuh titik strategis, yaitu meniadakan atmosfer korup. Jika "hukum" antikorupsi ingin diperluas menjadi "orde" hukum antikorupsi, kita bisa memikirkan pembuatan undang-undang "Kejahatan Terhadap Rakyat" (misdrijven tegen de bevolking, Bouman, 1978).
Dalam undang-undang itu dapat dimasukkan perbuatan "mengancam dan mencederai kesejahteraan rakyat" (bedreiging en aantasting van het welzijn van de bevolking). Penyiangan dan pembabatan parasit-parasit rakyat itu diharapkan memulihkan nilai-nilai mulia masyarakat, seperti kepercayaan dan kejujuran.
Sangat menyedihkan dan memalukan jika suatu negara yang mengklaim memikirkan rakyatnya, memajukan kesejahteraan umum, melupakan dan mengabaikan hal-hal itu.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang