Oleh Muhammad Qodari
Membaca judul tulisan ini, mungkin akan muncul tudingan, penulis pendukung Orde Baru.
Saya lahir, besar, sekolah di sekolah negeri, dibiayai pemerintah Orde Baru (Orba). Namun, bukan berarti saya pendukung Orba.
Saya tahu, pemerintahan Orba otoriter. Partai politik dikebiri. Berbagai organisasi profesi seperti wartawan dan buruh diwadahtunggalkan agar mudah dikontrol. Kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat dibatasi.
Orba juga korup. Korupsi merajalela. Swasta pun ikut korup karena jika tidak korup tidak kebagian proyek pembangunan.
Masalahnya, mengapa setelah delapan tahun Orba runtuh, kondisi tidak menjadi lebih baik? Pemberantasan korupsi dianggap lebih maju meski indeks persepsi korupsi Transparansi Internasional masih menempatkan Indonesia di lapis bawah. Aceh mulai menemukan jalan terang meski Papua tambah runyam. Soal kondisi ekonomi, berbagai indikator makroekonomi katanya membaik, tetapi masyarakat merasa kondisi ekonomi kian buruk.
Salah siapakah ini? Jawaban umum, salah Orba, atau Soeharto, atau hal-hal yang terkait Soeharto dan Orba. Ketika runtuh, Orba mewariskan kondisi dan sistem ekonomi yang buruk.
Di bidang politik, partai tidak terbiasa menjalankan fungsi secara lengkap. Yang berjalan hanya fungsi rekrutmen dan kontestasi jabatan politik. Fungsi pendidikan politik, agregasi kepentingan politik dan artikulasi kepentingan masyarakat tidak berjalan baik.
Begitu dalam warisan Orba sehingga Orba melahirkan manusia Indonesia dengan karakter khas, yang secara seloroh disebut Homo Orbaicus.
Julukan Homo Orbaicus diadaptasi Jalaluddin Rakhmat dari Homo Sovieticus yang dilahirkan rezim komunis Uni Soviet. Ciri Homo Sovieticus antara lain munafik (beda kata dengan tindakan), manja (mengandalkan fasilitas, tidak mau bertanggung jawab), iri kepada yang berprestasi, suka bohong secara kolektif. Karena karakter manusia Indonesia seperti Homo Sovieticus, wajar bangsa ini sulit maju.
Sewindu reformasi
Pantaskah terus menyalahkan Orba atas aneka kondisi buruk yang kita rasakan? Bukankah rezim Orba telah runtuh delapan tahun lalu?
Sewindu usia Reformasi, kiranya cukup untuk menilai rezim Orba dan warisannya bagi semua hal buruk yang hingga kini belum bisa dibereskan. Dua tim dokter independen yang memeriksa Soeharto tahun 2000 dan 2002 tidak mengatakan hal yang sebenarnya tentang kesehatan Soeharto. Kroni-kroninya, kalau masih terus bergerak, semestinya bisa dikontrol oleh para pemimpin baru pasca-Orba.
Berhenti menyalahkan Orba mengajak kita melupakan kesalahan Orba. Berhenti menyalahkan Orba adalah ajakan untuk melihat sumber ketidakmampuan menyelesaikan hal-hal yang buruk pada diri sendiri.
Orba adalah masa lalu. Hal-hal buruk yang kita hadapi ada di masa kini. Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan aneka masalah dengan menyalahkan masa lampau. Seburuk apa pun masa lampau bangsa ini, masalah yang dihadapi hanya bisa selesai apabila kita menghadapinya di masa kini, bukan di masa lalu.
Sekadar ilustrasi, partai politik misalnya. Apakah kita masih bisa menyalahkan Orba ketika kini partai-partai tidak lagi dihegemoni kekuatan tunggal?
Lantas mengapa partai-partai belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal, khususnya fungsi seperti pendidikan dan agregasi kepentingan politik? Mengapa partai masih dianggap mengusung kepentingan sendiri ketimbang kepentingan masyarakat, padahal sebagian partai baru didirikan pada era Reformasi? Semua itu karena ketidakmampuan politisi kita kini ketimbang kesalahan Orba.
Kini saatnya kita berani menyalahkan diri sendiri untuk semua hal yang kita hadapi. Para pemimpin hendaknya berhenti mengeluarkan retorika seperti "Ini semua akibat warisan masa Orba".
Retorika semacam itu bukan hanya justifikasi untuk pemimpin yang inkompeten. Retorika ini berbahaya karena akan melenakan masyarakat untuk tidak dewasa karena terus menyalahkan faktor eksternal ketimbang menengok faktor dalam diri untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi.
Muhammad Qodari
Wakil Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Jakarta
Sumber : www.kompas.com