Sangat tidak
mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah
milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit
sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu
masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan
merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat
mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi
adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang,
ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara
lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging
itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah
merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil
hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa
menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang,
cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak
pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu
peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?
Kalau sudah
sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum
Koruptor…” tidak
otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam
beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih
seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang
bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita
yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan
diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah
kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar
eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah
kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.
Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin
menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat
yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut
“Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk
“mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa
berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis
yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum
atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah
sepanjang Nusantara.
Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan
apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan
peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”:
meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal
segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah
gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan
yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang
‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi
eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat
menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara
“Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas
emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia
mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di
dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan,
melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan makanan apa
saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam
budaya Jawa ada kata “mupus”:
menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan.
Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab
dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta
keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan
keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur,
kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah,
Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi
sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah
bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah
kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang
memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat
Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset
Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian
mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak
tidur”, dan kembali “ubet”
lagi, “iguh”
lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa
ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa
yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto
Kempung dan Bethoro Kolo.
Sesekali
berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah
putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan
kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak
apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di
muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?
Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu
keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia
dan masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak
dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata,
setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi,
selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi,
pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya—di
belakangnya.
Kalau ia
berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”,
pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang
tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan
hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa
menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat
kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena
tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan
pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau
yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa
bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan
sosial”, denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah
“jihad Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase
untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi
“pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan
mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan
manusia.
Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya
kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur,
perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu
“iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi
sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya,
kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan
kakinya. Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan
dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar
kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia
malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa
penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat,
mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita
‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal.
Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang
harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”,
“Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan
“Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan
waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda
dengan kurun “Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau
ratusan tahun riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan
sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai
“iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung
substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang
“salah”) misalnya:
Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja
keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah
“kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan
penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang
melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok,
Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah
fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan
Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang
merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah
primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad
hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku
Gus Dur, dan suku Muhaimin. Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana
konotasi?
Yang
menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar
(:Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini
sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk
dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum
konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim.
Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat
Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw
tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya. Kalau
omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi
kita biasanya konotatif.
Adapun
“Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim
atau bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini
lebih muda dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang
Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa? Apakah tersedia energi mental dan
intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina
dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa
depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang
pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti
harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa
Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan,
diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah
belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari
ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan
Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua
pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau
umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka
mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita
pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi
jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari
makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan
Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa
Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup
menghancurkan dirinya sendiri.
Kok Iblis
segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara
denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau
kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat
dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa
Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa
manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan
rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah
Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang
mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit
kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya
kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu
denotatif atau konotatif?
Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah.
Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri
sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai
manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian,
punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada
dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa
Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar
dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya
filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia
secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah
Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan
ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi
“Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah
klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi
budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal”
sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan
kehebatan.
Kalau flash-back
di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir
keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang
sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan
menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi
tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan
(klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada
pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan
kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah
revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya
lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan
yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta
kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka
bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu
jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun
juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis
dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban
khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki
tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan
paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.
Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja,
bangsa dengan bakal internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa
sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya
motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari
arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat
internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke
wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil
korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja
sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren
dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat
melihat bahwa kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan
mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada
sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat
ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati
dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita
perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya
sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia
bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah
juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi
sedikit tenang.
Faktornya di
sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom
dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak
orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain
mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut
mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma.
Sementara hukum itu “ilmu”,
moral itu “ruh”.
Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan
arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang
nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh
orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda
pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga
membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata
Dunia, hare gene…”
Multikorupsi
Dulu Suharto
bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi
sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya
sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi)
mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama
“MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah
merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan
Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat
tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga
mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini
kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena
diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih
menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak
semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau
Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media
massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka
kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa
kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari
budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen
sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan
harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir,
sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai
yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya
tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan
kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya
kehancuran kita
bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa
“sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu.
Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun
memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita
sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan
yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz,
menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun. Kunci
kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh.
Catatan: Term
“teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini
berasal dari diskusi dengannya.
Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di
Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.