Korupsi
Sebagai Strategi Bisnis Korporasi Besar Di Indonesia
Oleh
George Junus
Aditjondro
(konsultan
Yayasan
Tanah Merdeka, Palu;
Anggota
Dewan
Penasehat CeDSoS, Jakarta)
Behind every big fortune,
is hidden a big crime.
PENGANTAR
ADAKAH
kaitan antara bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti
sebuah
lelucon saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara dokter dan
stetoskop? Atau: adakah kaitan antara dokter dan penyakit? Praktek
bisnis,
terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan siasat-siasat
bisnis yang
dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam makalah ini, terlebih dahulu
penulis
akan menyajikan pengertian korupsi menurut Syed Hussein Alatas dan
William J.
Chambliss, sebagai kerangka teoretis untuk menyoroti praktek-praktek
korupsi
korporasi besar di Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam
bidang
kegiatan korporasi-korporasi besar yang bergelimang dengan praktek
korupsi.
APA ITU KORUPSI?
SYED
HUSSEIN ALATAS (1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang
sosiolog
yang mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang berbeda.
Alatas
mempelajari korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa 1950-an, 1960-an
dan
1970-an, di mana kolonialisme mengukuhkan praktek-praktek korupsi yang
sudah
mengakar sejak zaman feodal. Sedangkan Chambliss mempelajari korupsi di
Amerika
Serikat, khususnya di Seattle, ibukota negara bagian Washington, dari
tahun
1962 s/d 1969. Temuannya tentang ‘cabal
‘ (jejaring korupsi) yang menjelujuri kota-kota besar di sana
meruntuhkan
pandangan umum bahwa korupsi lebih merupakan gejala negara-negara
berkembang,
yang belum mengenal sistem politik demokratis yang sarat dengan checks and balances yang dianggap
dapat meniadakan
peluang-peluang korupsi.
Secara
ringkas, tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok
sebagai
berikut: (a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau
keuntungan
pribadi; (b). unsur kerahasiaan; dan (c). pelanggaran terhadap
norma-norma
umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi menurut Alatas, terdiri dari suap (bribery ), pemerasan (extortion ), dan
nepotisme (lihat
Aditjondro 2004: 7). Dalam wacana korupsi di Indonesia dan di luar
negeri,
istilah nepotisme hanya digunakan apabila dalam tindakan korupsi itu
hanya
sanak saudara atau kerabat yang dilibatkan. Sementara kalau yang
dilibatkan itu
adalah kawan atau orang dekat yang tidak punya hubungan darah dengan
sang
pejabat, istilah “kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.
Chambliss,
sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan
terorganisir (organized crime ), bukanlah dua bagian
yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan dari suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan
sekurang-kurangnya empat unusr, yakni birokrat (yang mengeluarkan izin),
pengusaha,
politisi (yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam dan di luar
parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan perbuatan
pengusaha
merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti yang telah penulis
rangkum di
tempat lain:
“Kepentingan ekonomi
para anggota
cabal itu diproteksi lewat sogokan
maupun tekanan fisik, terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat
yang
dikuasai oleh cabal itu. Bentuk
tekanan fisik waktu itu adalah
pembunuhan dengan menenggelamkan orang-orang yang berani membangkang
terhadap
kemauan sindikat pemimpin cabal itu.
Pelanggaran HAM itu kemudian ditutup-tutupi dengan bantuan statistik
kematian
penduduk kota itu, di mana kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai
‘kecelakaan’, bukan ‘kejahatan’ (kriminalitas).
Sedangkan bentuk sogokan
untuk
membungkam pengusaha yang keberatan membayar upeti kepada sindikat cabal itu, ada yang berbentuk
menyodorkan pekerja seks komersial kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’
beberapa birokrat kelas teri untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara,
seperti
ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy berusaha membongkar belenggu cabal
itu. Ketika sejumlah birokrat ini dipenjara, kesejahteraan
keluarga
mereka tetap dijamin oleh pimpinan cabal
yang pada akhirnya tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah]
Federal.”
(lihat Aditjondro 2004: 8-9).
Dengan
demikian, tidak cukup buat kita untuk mermpelajari tindakan-tindakan
korupsi
seperti sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di
lingkungan pemerintahan, atau pemberian fasilitas bisnis kepada
perusahaan
milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu juga kita amati
keseluruhan
jejering korupsi (cabal ) di mana
terjadi interaksi yang mesra antara pejabat, pengusaha, dan aparat
penegak
hukum. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi
itulah yang
biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul singkatan “KKN”
(korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi korupsi,
sebenarnya
semuanya sudah tercakup dalam istilah korupsi. Makanya, dalam makalah
ini hanya
istilah “korupsi” yang digunakan, dalam pengertian yang sudah mencakup
“kolusi”
dan “nepotisme”.
ENAM BIDANG KEGIATAN KORPORASI YANG SARAT KORUPSI
SETIAP
jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties).
Misalnya, ketidakpastian
pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan tenaga kerja, serta
ketidakpastian permintaan akan produk yang dihasilkan (ketidakpastian
pasar).
Itu sebabnya, suatu strategi bisnis yang lazim di dunia bisnis adalah
mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu. Bahkan
kalau bisa, mengurangi semua faktor ketidakpastian itu.
Manajer atau CEO (chief executive officer
) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor
ketidakpastian
itu.
Dari pengamatan terhadap
sejumlah
praktek bisnis di Indonesia, ada enam bidang kegiatan korporasi di mana
faktor-faktor ketidakpastian itu berusaha ditekan dengan cara-cara yang
sarat
korupsi. Keenam bidang itu adalah (a). pengadaan dan penguasaan tenaga
kerja,
baik tenaga kerja dari dalam maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan
penguasaan bahan baku, khususnya untuk industri ekstraktif yang
mengandalkan
sumber daya alam dari daerah tertentu (misalnya dalam industri
pertambangan,
kehutanan, dan perikanan) serta industri yang mengganti tanaman lokal
milik
rakyat setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan tanaman
industri
(HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber enerji setempat, misalnya
tenaga
air dan batubara; (d). penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak
monopolistik dan oligopolistik; (e). pengadaan sumber-sumber keuangan serta pengamanan keuntungan.
Keenam bidang usaha itu
didukung
oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima bidang tadi, yakni (f).
pelibatan
pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase
kegiatan,
mulai dari pengadaan izin untuk berusaha di sektor yang diminati
korporasi-korporasi besar tersebut. Marilah
kita
lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.
Ad a + f.:Korupsi
dalam
pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:
Mantan
Menteri Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT
Djajanti
Djaya, guna mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB untuk
menjalankan
kilang kayu lapis perusahaan itu di Pulau Seram.
Mantan
Dirjen Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti
Djaya,
untuk mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam
pengelolaan
anak-anak perusahaan Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik, Jawa Timur.
Perusahaan
pengelola asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob
Nuwa
Wea, dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur
Tengah,
untuk mempermulus urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Ad b +
f:Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:
Mantan
Gubernur Papua Barat, Izaac Hindom didudukkan, dalam Dewan Komisaris
PTArtika
Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki daerah
konsesi
hutan di Papua Barat, guna mengamankan bahan baku bagi kilang kayu lapis
PT Djayanti
Djaya di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Gubernur Sulawesi
Tengah,
Abdul Azis Lamadjido, dalam Dewan Komisaris PT Hardaya Inti Plantation,
guna
pengamanan pengadaan lahan bagi perkebunan kelapa sawit anak perusahaan
CCM
(Cipta Cakra Murdaya) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat
Aditjondro
2004a: 54).
Ronny
Narpatisuta Hendroprioyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara),
Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris
perusahaan di atas, untuk mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh
dan
oposisi petani desa-desa setempat (lihat Aditjondro 2004a: 53).
Pimpinan intelligence yang lain yang ada di
daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha nasional yang berkiprah
di
daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo, Brigjen (Pol)
Wenny
Warouw, sering mengaku-aku menjadi anak angkat Nyonya Melly Pirieh, yang
lebih
dikenal sebagai Ny. Melly Eka Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso
tahun
1931 itu memang salah seorang isteri tokoh pengusaha nasional, Eka
Tjipta
Widjaja (Oei Ek Tjong), pemimpin kelompok Sinar Mas. Bersama ketujuh
orang
anaknya, Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya sendiri, yakni
kelompok Duta
Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke Sulawesi
Utara,
tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal. A-1603 –
A-1607).
Selain
tokoh-tokoh nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri ekstraktif
seperti pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering
melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu, untuk
meredam kemungkinan oposisi dari rakyat setempat. Salah satu contohnya
adalah
kelompok industri perkayuan di Kalimantan Tengah (Kalteng) mendudukkan
Winfred
Tungken, seorang bankir asal Kalteng, dalam dewan komisarisnya.
Di
Kalimantan Barat (Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang
masih
keponakan mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, dalam industri
perkayuan
di daerah itu, bersama mantan Bupati Kapuas Hulu, Yakobus Frans Layang,
seorang
ningrat Dayak yang berdarah campuran suku Tamambaloh dan Iban.
Perusahaan
mereka berstatus PMDN lokal, berbentuk aliansi koperasi-koperasi
masyarakat
adat.
Memang dari sudut
membangun
potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali. Namun dari sudut
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ada persoalan, sebab Pasal
48
Undang-Undang itu melarang Kepala Daerah untuk terjun secara langsung
dalam
bidang bisnis (lihat Aditjondro 2004: xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga
berlaku bagi Wakil Bupati, yang dalam banyak hal harus siap menjalankan
tugas-tugas Bupati apabila atasan langsungnya itu berhalangan.
Secara
nasional, pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO)
yang
dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan bahan
baku
bagi kilang-kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat dan kroni
Soeharto
yang lain (lihat Ekloef 1999: 125, 145-6).
Ad c + f.Korupsi
dalam
pengadaan dan penguasaan sumber enerji setempat:
Pelibatan Ny. Siti
Hardiyanti
Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai langkah
pengamanan
sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel bermodal Kanada, yang
beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya, Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi
Selatan.
Di Sulawesi Tengah, di
masa
pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang anak sang gubernur
menjabat
sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi menjabat sebagai Kepala PLN
Sulawesi
Tengah, dan seorang lagi menjabat sebagai ketua GAPENSI Sulawesi Tengah.
Itu
sebabnya kegigihan sang Gubernur untuk mendukung rencana pembangunan
seubah
PLTA dengan membendung Danau Lindu di Kabupaten Donggala, dapat dilihat
sebagai
usaha melindungi kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan
tenaga
listrik bagi perusahaan-perusahaan yang dekat dengan sang Gubernur.
Baru-baru ini, sebelum
dilantik
menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu perusahaan miliknya, PT
Bukaka
Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan
Sidang
Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20
Oktober yang lalu. Mengingat bahwa keluarga Kalla jelas-jelas bukan
anggota
jemaat GKST, maka ‘sumbangan’ itu, dapat dilihat sebagai usaha mengambil
hati
warga jemaat GKST yang bermukim sepanjang Sungai Poso yang akan disadap
enerjinya untuk membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200 MW,
yang mau
tidak mau akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat
bahwa ada
perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat dalam
pembangunan
Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso, seperti PT Bumi
Karsa dan
PT Bumi Sarana Utama, ‘sumbangan’ kepada GKST itu dapat dilihat sebagai
langkah
pengamanan sumber enerji bagi kepentingan-kepentingan bisnis keluarga
Kalla di
Sulawesi Tengah.
Ad d + f.Korupsi
dalam
penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan
oligopolistik:
Pengendalian harga beras
dan
pengautran impor beras oleh badan yang sama, yakni BULOG, menguntungkan
PT
Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama dimiliki oleh keluarga
Soeharto dan
kelompok Salim, untuk menciptakan pergeseran menu rakyat Indonesia ke mi
instan
(lihat Aditjondro 2002: 11). Seperti ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro
Soewarno (2002: 18):
“Akibat penguasaa hulu
ke hilir
yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat Indonesia dirugikan aksesnya
terhadap
terigu dan seluruh produk turunannya. Kerugian ini muncul dalam bentuk
menurunnya kesejahteraan sosial yang diakibatkan pengenaan harga terigu
dan
produk turunannya yang semena-mena oleh perusahaan-perusahaan Grup
Salim”.
APKINDO yang telah
disinggung di
atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang oligopsonik bagi
kilang-kilang kayu
lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan serta sejumlah kerabat dan kroni
Soeharto
yang lain (lihat Aditjondro 2002: 23).
Untuk mempermulus
masuknya mobil
Kia ke pasaran, bersaing dengan mobil-mobil lain, kelompok Artha Graha
pimpinan
Tomy Winata mengangkat Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, sebagai presiden
komisaris PT Kia Mobil Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi untuk
mengimpor
dan menjual 12 jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea
Selatan.
Seorang anak Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi
komisaris
perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Sulawesi Tengah,
menjadi
salah seorang direktur perusahaan itu (lihat Aditjondro 2004a: 55).
Lewat
hubungan yang dekat antara Hendropriyono dan Kapolri Dai Bachtiar, juga
antara
Tomy Winata dan suami presiden lalu,
Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil impor PT KMI itu dihibahkan ke polisi di
banyak
tempat. Berkat patroli polisi ke pelosok-pelosok daerah di mana mereka
bertugas, mobil Kia dipromosikan atas biaya rakyat ke berbagai pelosok
tanah
air.
Perang, atau konflik
bersenjata,
juga merupakan siasat untuk melariskan produk pabrik senjata dan
amunisi. Hal
itu dapat dilihat dari populernya senjata dan peluru buatan PT Pindad,
pabrik
senjata milik TNI/AD, di tiga daerah konflik, yakni Aceh, Ambon dan
Poso.
Senapan api yang banyak dipakai oleh fihak-fihak yang bertempur adalah
SS
(Senapan Serbu) 1 buatan Pindad, sedangkan peluru yang tersebar paling
merata
di tiga daerah konflik itu adalah kaliber 5,56 mm. Selain itu masih ada
lagi
sejumlah senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad
(lihat
Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).
Dalam kasus konflik
Poso, selain
melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang pengusaha keturunan Arab
asal Poso,
Hasan Nazer (56), yang diduga ikut berperan melariskan produk-produk
Pindad di
kabupaten yang dulu dikenal sebagai penghasil kayu hitam itu. Setelah
hijrah ke
Jakarta, Hasan dan seorang abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis
pengiriman TKW ke Arab Saudi dengan nama Amri Brothers. Sesudah
bergelimang
uang dari bisnis TKWnya, Hasan membuka bisnis pengecoran besi dan baja,
PT
Metinca Prima Industrial Work, yang punya satu pabrik di Tambun (Bekasi)
dan
satu lagi di Cakung.
Entah bagaimana caranya,
satu
saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai jadi pemasok tiga komponen
penting
dari senjata SS-1, yakni pelatuk, hammer
dan vicier.
Menurut seorang narasumber, Hasan bisa mendapat order berkelanjutan
dari
Pindad itu karena hubungannya yang dekat dengan BJ Habibie, yang
diperkenalkan
kepadanya oleh Jendral Faizal Tanjung.
Dalam wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan menyangkal
bahwa
ia mengenal BJ Habibie secara pribadi. Order Pindad yang memerlukan
tingkat
presisi yang sangat tinggi itu baginya hanya pemancing order-order lain
dari
perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat Aditjondro 2004c: 140).
Namun jawaban itu sangat
meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi rekanan Pindad sejak
sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek BJ Habibie masih
menjabat
sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri Strategis), yang juga
membawahi
Pindad. Selain itu, dalam beberapa percakapannya kemudian dengan
penulis, Hasan
juga membangga-banggakan hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral,
yang
katanya didasari oleh pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate.
Berarti,
besar kemungkinan ia juga mengenal Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya,
sebagai
pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan tentunya tahu berapa ribu
pucuk
SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga dapat
memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu – Aceh, Ambon, dan di
tanah
kelahirannya sendiri, Poso – masih akan berkelanjutan, atau tidak.
Paling
tidak, ajang latihan karate dapat menjadi ajang pertukaran informasi
tentang
kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f.Korupsi
dalam
pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan keuntungan:
Winfrid Tungken, salah
seorang
direktur Bank Dagang Negara, bersedia ‘dibajak’ oleh pengusaha pemilik
HPH di
daerah asalnya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian pengusaha itu
mendapat
dukungan dari seorang putra daerah, sekaligus akses ke dana kredit dari
bank
pemerintah yang pernah dipimpin oleh Tungken. Alih profesi dari bankir
ke
komisaris perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan
banyak
juga dilakukan di era Orde Baru, demi mempermudah aliran dana publik ke
perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari pendapatannya sebagai
komisaris dan
pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun kekayaannya
sendiri
berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu, perkebunan, peternakan,
pupuk,
dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup besar itu tidak dapat mencegah
merosotnya kesehatannya, setelah menikah kembali setelah meninggalnya
isteri
pertamanya. Ia kini berbaring dalam keadaan comma di rumah sakit di Singapura.
Kasus paling menyolok di
bidang
ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI yang mermperoleh gelar
doktornya
di AS, dalam pengadaan sumber-sumber keuangan bagi kerabat dan kroni
Soeharto.
Selama menjabat sebagai Dirjen Pajak dan kemudian Menteri Keuangan dalam
kabinet Soeharto yang terakhir, sejumlah perusahaan milik keluarga
Soeharto
mendapat keringanan atau pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris
PT
Satelindo, perusahaan pengelola komunikasi satelit milik Bambang
Trihatmojo,
Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD. Selain ituk ia
juga
dipercaya menjadi wakil bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang
didirikan
oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang memungut pajak tambahan sebesar
2% dari
setiap pembayar pajak di Indonesia, dan dalam tahun anggaran 1996-97
berhasil
mengumpulkan $ 270 juta. Sebagian dana itu diduga digunakan untuk
membiayai
kampanye Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat Aditjondro 1998: 50; Ekloef
1999: 156;
O’Rourke 2002: 75).
Namun tindakan Fuad
Bawazier yang
paling menghebohkan, atas perintah Soeharto, adalah pembebasan bea masuk
bagi
1500 unit sedan Kia yang disulap namanya oleh Tommy Soeharto menjadi
“mobil
Timor”. Sebelumnya, PT Timor Putra
Nasional milik Tommy Soeharto telah mendapat pinjaman sebesar $ 690 juta
dari
empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untguk membangun pabrik
perakitan
mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di belakang Menteri Keuangan
Bambang
Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur, ketika Menteri ini
menghalang-halangi
usaha Menteri BUMN Laksamana Sukardi membongkar hutang PT Texmaco
sebesar Rp 17
trilyun kepada bank-bank pemerintah (lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke
2002: 46,
66, 77, 335, 361, 420).
Dari bagian keuntungan
yang telah
diperolehnya ia ditengarai ikut membiayai PAM Swakarsa yang diadu dengan
para
aktivis mahasiswa selama Sidang Umum MPR bulan November 1998, dan juga
ditengarai ikut membiayai Laskar Jihad yang dikirim ke Maluku dan Poso,
berkat
hubungan baiknya dengan Pangab Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002:
292.
420).
Yang jelas, sambil
menjabat
sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahaqn Gus Dur dan Megawati,
bekas
kroni Soeharto itu berhasil membangun perusahaan pialang saham (PT
Widuri
Securities), perusahaan perakitan motor Kanzen (PT PT Semesta Citra
Motorindo),
dan perusahaan portal internet detik.com
bersama Rini Suwandi. Di luar bisnisnya
bersama Menteri Pedagangannya Megawati itu ia memegang keagenan Kia
jenis sedan
mewah dan kendaraan militer, melalui Kia Commercial Vehicle Industry
(lihat
Aditjondro 2004: 51-53).
Semua kekayaan itu tidak
membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang portofolio Menteri
Keuangan
dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang diperjuangkannya dengan
melboi
sejumlah gereja Kristen di Indonesia. Apakah ia akan berhasil atau
tidak, kita
lihat saja tanggal 20 Oktober ini.
Akhirnya, bagaimana
kekayaan yang
terakumulasi di dalam negeri itu dapat diamankan di luar negeri?
Sejumlah kantor
pengacara dan akuntan internasional di AS, Hong Kong, dan Negeri
Belanda, serta
sejumlah bank Belanda telah membantu keluarga Soeharto mengamankan uang
haram
hasil korupsi mereka ke tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan
Antillen
Belanda. Di antara bank-bank internasional yang turut terlibat dalam
pencucian
uang keluarga Soeharto adalah Indover Bank NV, anak perusahaan Bank
Indonesia
di Belanda, tiga bank Belanda, yakni MeesPierson NV, ABN-AMRO dan ING
Bank NV,
sedangkan kantor-kantor akuntan internasional yang dimanfaatkan
oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk
memutuhkan hasil korupsi mereka adalah Ernst & Young serta
PriceWaterhouseCoopers (lihat Aditjondro 2002: 20-27).
Ad f.Pelibatan
pejabat
publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan:
Dari berbagai contoh di
atas
dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan pejabat publik – terutama
eksekutif – dalam berbagai bidang
kegiatan itu. Perlu diberi catatan khusus di sini bahwa tokoh-tokoh
legislatif
juga ikut berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka
mendapat
saham kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham
perkebunan
kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok Salim, di
Kalimantan Selatan (lihat Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan Theo
Sambuaga, yang
sempat dicalonkan oleh Koalisi Kebangsaan untuk menjadi Wakil Ketua
MPR-RI,
tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia tercatat sebagai direktur PT
Mongondow
Indah dengan HGU perkebunan coklat seluas 733 hektar di Kabupaten
Bolaang
Mongondow, Sulawesi Utara. Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah
seorang
komisaris PT Texmaco Jaya, holding
company kelompok Texmaco yang dari
bidang tekstil berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).
Kita tahu bahwa kelompok
Texmaco
pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang bermasalah dengan pemerintah,
khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), karena
masih
terbelit hutang sebesar Rp29 trilyun kepada sejumlah bank dalam dan luar
negeri
(Radar Sulteng, 18 Oktober 2004).
Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan MPR-RI,
apakah
itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying
ke pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?
Saat inipun, pimpinan
badan-badan
legislatif tertinggi di Indonesia ada bahaya “terbajak” oleh kepentingan
bisnis
salah satu keluarga terkaya di Indonesia dan satu keluarga terkaya di
Sulawesi
Selatan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir
dalam
arena politik Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang
keluarga besarnya di lingkungan pengamat ekonomi politik Indonesia
dianggap
keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di Indonesia, setelah
keluarga besar
Soeharto dan Habibie.
Ginanjar adalah abang
kandung
dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang komisaris dalam PT Bukaka
Teknik
Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla (lihat Aditjondro 2004a: 64-5).
Padahal M.
Jusuf Kalla kini adalah wakil presiden terrpilih, sementara saudara
iparnya,
Aksa Mahmud, terpilih sebagai wakil ketua MPR dari kubu Koalisi
Kerakyatan yang
pro-SBY-MJK. Nah, dengan munculnya
Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa Mahmud ke pentas
politik
nasional di pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif, maka besar
kemungkinan
bahwa puluhan perusahaan milik keluarga Kartasasmita, kelompok Haji
Kalla, dan
kelompok Bosowa akan mengalami masa keemasan, apabila
peraturan-peraturan untuk
mencegah konflik kepentingan tidak diterapkan di tahun-tahun mendatang.
Celakanya, budaya
politik untuk
menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar berikut
konglomeratnya
dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama berurat akar di bumi
Nusantara.
Budaya politik untuk menjadikan korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal ) sebagai strategi bisnis yang
dianggap halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama
juga
diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke
Indonesia.
Masuknya maskapai
tambang Texaco
di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan dua contoh masuknya
korporasi transnasional
melalui lingkaran kekuasaan politik ke Indonesia. Masuknya Texaco ke
Riau, di
mana perusahaan itu beroperasi di bawah nama Caltex, dibidani oleh
Julius
Tahiya, seorang pensiunan perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi
presiden direktur PT Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun
dekat
dengan tokoh-tokoh PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio
Sastrosutomo, Tahiya juga mampu memposisikan dirinya dekat dengan
Presiden
Soekarno. Berkat kedekatannya dengan Soekarno itu, ladang-ladang minyak
Caltex
di Riau tidak diambil alih oleh pemerintah. Setelah kudeta 1965, Tahiya
berganti loyalitas ke Jendral Soeharto (lihat Aditjondro 1999: 60; Leith
2003:
59).
Naiknya Soeharto ke
tampuk
pemerintahan segera disambut oleh pimpiunan maskapai tambang Freeport.
Kali
ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai penghubung ke rezim yang baru.
Ia
didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan Sekjen Departemen Pertahanan di
era
1950-an, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Freeport
Indonesia
yang pertama. Seluruh proses itu terjadi di bawah bayang-bayang Foreign
Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab langsung kepada
Presiden AS,
Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).
Selain oleh
korporasi-korporasi
transnasional, budaya politik yang menghalalkan munculnya praktek bisnis
yang
korup juga disuburkan oleh Bank Dunia, selama era Soeharto. Sesudah
jatuhnya
Soeharto, Bank Dunia mengakui bahwa mereka menyadari bahwa lebih dari 30
% dari
seluruh dana pembangunan yang mereka salurkan melalui pemerintah
Indonesia
dikorupsi oleh para pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor
perwakilan Bank Dunia di Jakarta menghalalkan tingkat korupsi yang lebih
dari
30% itu sebagai semacam “pajak” terhadap roda ekonomi Indonesia yang
berputar
cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang berkepanjangan, pada
tahun 1999
sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di Indonesia
menyalahkan staf
mereka yang terlalu memikirkan karier mereka sendiri, atau terlalu takut
menyinggung perasaan pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu
“klien”
Bank Dunia yang terbaik. Makanya kata “korupsi” pun baru digunakan dalam
laporan-laporan Bank Dunia tentang Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith
2003:
33-4).
KESIMPULAN
SEBAGAIMANA
halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized
crime ) adalah bagian yang tak terpisahkan dari
birokrasi, korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi
bisnis
korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi
merupakan strategi
bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya, korupsi sistemik
berwujud
jejaring (cabal ), di mana ketiga
jenis korupsi menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta
nepotisme/kroni-isme, hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.
Makalah untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society
Organizations to Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia”
yang
diselenggarakan oleh The Business Watch Indonesia dan NOVIB di Jakarta,
20-22
Oktober 2004.