Oleh Syaf Anton Wr
Suatu hal yang kerap menjadi problem di suatu lembaga/instansi, ketika melihat sang atasan melakukan tindak pelanggaran yang berindikasi perbuatan korupsi. Bagi aanak buah tentu mempunyai problem tersendiri, karena apa yang ia rasakan dan ia lihat sangat bertentangan dengan nurani yang ia tanamkan sejak awal ketika ia disumpah memasuki jadi pegawai.
Apalagi “hidup” diwilayah Penawai Negeri Sipil (PNS), yang cenderung menjadi sorotan publik, sehingga posisi dia baik dalam lingkungan kantor maupun di lingkungan masyarakat sangat dilematis, dan akan selalu dalam poisis terjepit. Karena nurani cenderung berbicara lebih kuat, yang pada akhirnya dia meletakkan diri pada poisis masa bodoh. Masa bodoh? Itulah sikap yang pada gilirannya persoalan-persoalan korupsi di instansi terus berkembang dan membiak bahkan menjadi virus pada pegawai lainnya.
Ada pemeo yang berkembangan di lingkungan instansi, khususnya instansi pemerintah, “kalau memang mau hitam, hitamkan sekalian, kalau mau putih, putihkan sekalian. Dan kalau tanggung (abu-abu) justru akan jadi bumerang bagi dirinya”. Pemeo ini tampaknya telah “menjadi syarat”, dan sebagai aturan yang tidak tertulis, sehingga akibatnya dalam kondisi seperti ini sangat mengganggu kinerja para pegawai.
Pasalnya. Sejak awal PNS telah didogma dengan pemahaman “loyalitas pada pimpinan”, yang cenderung bawahan harus taat segala kebijakan pimpinan. Dalam kondisi seperti ini peraturan dan hukum yang menjadi kunci keterbukaan dalam system birokrasi, hampir-hampir tidak digunakan lagi. Apa boleh buat, daripada mendapat kondite minor di mata pimpinan, akhirnya kalangan bawahan kerap melakukan tindak pelanggaran, yaitu melakukan pembiaran perilaku korupsi berlangsung begitu saja.
Korupsi dan Sisten Administrasi Amburadul.
Salah satu penyebab terjadinya korupsi di birokrasi, karena sistem kepegawaian yang tidak sehat, yang menyangkut fungsi para pegawai sebagai “the man behind the gun” yang kurang wajar. Akibat dari pola kolusi dan nepotisme, terjadilah penyimpangan-penyimpangan dan kepincangan sistem rekruetmen pegawai, baik dalam pengangkatan maupun promosi jabatan, sehingga terjadilah ketidak adilan dalam memanfaatkan kemampuan SDM pegawai.
Birokrasi pemerintah pada umumnya juga merupakan pusat kekuatan politik yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan dan pamrih peribadi atau pamrih golongan. Birorasi sedemikian ini menjadi tidak rasional, karena dijabat oleh orang-orang yang seharusnya memangku jabatan. Apalagi dalam posisi jabatan strategis, yang kerap juga disebut sebagai “jabatan basah”, sehingga tujuan yang seharusnya menjadi pangkal pengembangan di lingkungannya, pada kahirnya semua diatur dan didekte oleh pimpinan utamanya; sehingga munculllah kebijakan keuangan melalui satu pintu.
Ketika dalam posisi ini, maka sumpah sejak awal ketika dalam proses pembaitan sebagai PNS dan untuk memangku jabatan, tidak lagi mempunyai arti, bahkan bukan lagi menjadi peristiwa saskral, justru tak lebih dari peristiwa seremonial.
Dan semua PNS, akan melalui pintu kata-kata sumpah/janji seperti dibawah :
Demi Allah, saya bersumpah /berjanji
Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta. akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan:
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
Tapi kenyataannya, syaf dan pejabat PNS justru menghianati hakikat yang diembannya, dan tidak berfungsi sebagai abdi masyarakat (public servant), dan tidak tanggang terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga tanpa dirasakan sebenarnya dalam lingkungan birokrasi seperti itu telah terjadi perang yang dahsyat antara sumpah dan realitasnya.
Hal-hal kecil biasanya yang membiaskan tindak korupsi, yang sebenarnya menjadi “pelajaran utama” bagi oknum yang sengaja memanfaatkan tugasnya. Tindak grafitikasi berupa hadiah, uang semir, ganti biaya foto copy, sekedar syukuran, dan sejenis, hingga uang fee proyek, pengkodisian pengadaan dan sampai tindakan pemotongan bahkan pada penggelapan. Hal ini terus berlangsung sampai urutan kepemimpinan dibawahnya.
Bagaimana posisi staf bawahan?. Pola memanfaatkan peluang bergantung sejauh mana dia “cerdas”, ( intilah ini dimunculkan, bagaimana “ketrampilan” bawahan memanfaatkan peluang melalui pendekatan kepada sang pemimpin ), sehingga mereka diposisikan sebagai “orang kepercayaan” yang dapat dijadikan mediator dengan pihak-pihak lainnya. Hal semacam bukan rahasia lagi, karena posisi bawahan semacam ini sangat dipentingkan, apabila suatu saat tidak kedok pelanggarannya terbuka ia akan cuci tangan dan bawahannya yang akan “dujual” kepada hukum.
Dilematika Bawahan
Banyak bawahan yang akhirnya jadi “korban” keganasan sang pemimpin. Ia mengalami stres berat dan bahkan harus sakit lantaran tidak tahan karena telah menjadi tumbal. Apalagi bagi pegawai yang memiliki idealisme tinggi, sehingga dia harus mundur dan bahkan berhenti jadi PNS. Apalacur, pekerjaan yang seharusnya membawa angin segar terhadap fenomena pribadi dan masa depannya, ternyata dinilai sebagai tempat yang hanya dihuni kaum munafik, dengan menghalalkan segala yang haram.
Lalu bagaimana sikap bawahan mengetahui kasus semacam itu?
Syaf Anton Wr, adalah pengelola blog ini.