Iqbal Kautsar
Indonesia memang dikenal sebagai juaranya korupsi di dunia. Sudah bertahun-tahun Indonesia berperingkat terbawah sebagai negara terkorup di dunia dan seakan tak ada prospek beranjak dari keburukan ini. Terakhir, Transparency International Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 berada pada posisi 111. Ini memang sangat memiriskan. Bangsa yang besar ini dipandang sangat ‘kotor’ akibat korupsinya yang merajalela. Ibu Pertiwi pasti menangis jika melihat anak bangsa saat ini sebagai juara korupsi.
Lantas, banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah sedemikian parah ini dihubungkan dengan masalah moral. Akar permasalahan utama korupsi di Indonesia adalah moralitas bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. Benarkah demikian? Pantaslah kita untuk mendiskusikannya agar kita tidak serta merta memercayai statement bahwa parahnya korupsi di Indonesia ini akibat moral bangsa yang buruk. Kita tidak boleh luruh hanya mengkambinghitamkan masalah moral sebagai penyebab suburnya korupsi di indonesia.
Sayangnya, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”.
Upaya tersebut tidaklah salah, tetapi sangat berpotensi keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah bisa saja upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup. Kita perlu memandang masalah moralitas ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam korupsi. Bisa saja isu moralitas ini hanya sebagai upaya lempar batu sembunyi tangan.
Memandang korupsi sebagai masalah moral ini juga bisa menciptakan ketidakmampuan menguraikan jenis-jenis korupsi secara detail dan kegagalan menciptakan solusinya. Ada resistensi yang timbul karena rasa pesimistis berlebihan sebagai akibat kegagalan menguraikan kerumitan benang-benang korupsi. Ini karena masalah moral begitu luas dan cara penanganannya juga sangat luas. Jadi, tidak sekedar menangani penyebab dari satu aspek saja, lalu lantas masalah moral selesai dan korupsi pun punah.
Lantas, orang berpikir karena masalah moral maka yang harus dibenahi moral bangsa adalah lewat pendidikan yang bermoral. Ini jelas terlalu luas dan tidak langsung mengenai sasaran karena pendidikan lebih condong pada pembentukan karakter dasar. Dan, seringkali karakter itu takluk pada determinan lingkungan yang lebih mencerminkan kondisi yang sesuai pada realitas kekinian. Lingkungan mampu menciptakan pengaruh yang menjadikan orang yang dibentuk pendidikan larut dalam hegemoni lingkungan.
Menangani korupsi lewat pendidikan memang perlu, tetapi ini hanya pada proses penciptaan fundamental saja. Pendidikan yang menciptakan moralitas utama lebih disepakati sebagai upaya penanaman pondasi moral bahwa korupsi itu adalah tindakan laknat yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sekaligus pendidikan moral ada untuk membangun benteng moral agar tidak terjebol oleh serangan biadab korupsi implisit maupun eksplisit. Namun demikian, moralitas yang dibentuk pendidikan tidak bisa digunakan sebagai tameng secara terus menerus untuk menghadang korupsi.
Masalah Sistem
Kita pasti hangat dengan ucapan Bang Napi dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi bahwa “Kejahatan tidak hanya terjadi karena dari niat pelakunya, tetapi karena adanya kesempatan”. Kalau diuraikan, dari pernyataan di atas asal korupsi adalah karena niat dan atau kesempatan. Secara sederhana, jika beracuan pada niat berarti yang menyebabkan korupsi adalah buruknya moralitas pelakunya. Sedangkan, jika merujuk pada kesempatan maka yang menciptakan korupsi adalah lingkungannya.
Untuk masalah moralitas sudah dijelaskan secara spesifik pada paragraf-paragraf sebelumnya. Adapun untuk keadaan lingkungan akan diterangkan saat ini dan seterusnya. Sejatinya, lingkungan memang sangat berkaitan dengan adanya sistem yang melingkupinya. Jikalau sistem yang ada itu buruk maka akan memungkinkan mencuat lingkungan yang buruk pula. Begitu pula, sebaliknya. Ada hubungan searah antara sistem dengan lingkungan.
Ketika kita mencermati kasus korupsi yang marak akhir-akhir ini, bisa dilihat bahwa sistem yang ada di birokrasi pemerintahan ‘kebobolan’ telak. Sistem mampu dikibuli oleh aparat-aparat yang ada di dalamnya maupun pihak-pihak luar yang ingin ‘mempermainkan’ sistem. Contoh yang paling kentara adalah kasus mafia pajak. Betapa sistem hukum perpajakan di Indonesia memberikan peluang bagi aparat pajak, kejaksaan, polisi untuk melakukan tindakan korup. Dari Gayus sendiri, jumlah dana yang terkorupsi adalah 28 miliar. Padahal, ‘Gayus-gayus” lain masih banyak yang berkeliaran dan menciptakan kerugian negara bertriliun-triliun rupiah. Entah dari jumlah yang dikorupsi ataupun dari nominal kasus yang dimenangkan pelanggar hukum.
Disadari atau tidak, Gayus-gayus ini bisa muncul bak jamur di musim hujan dikarenakan sistem memungkinkan untuk demikian. Banyak celah sistem yang mudah dimanfaatkan untuk bertindak korup. Sistem yang buruk ini lalu menciptakan lingkungan yang buruk. Jadinya, karena banyaknya pelaku-pelaku korup itu, lingkungan birokrasi pun ‘mendukung’ keburukan itu. Mungkin sampai ada anggapan bahwa “kalau tidak korupsi, maka susah untuk cepat kaya atau naik pangkat” di pemerintahan. Anggapan ini pun menjadi aksioma banyak orang untuk melakukan korupsi.
Kalau kita mendalami masalah sistem ini, praktik korupsi bukan sekedar pada tingkat pelaksanaan saja. Kita harus melihat dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sistem, sebagaimana kerangka sederhana dari sistem itu sendiri. Kalau dari perencanaan, kita bisa melihat salah satunya dari peraturan perundang-undangan. Undang-undang dan peraturan pemerintah apakah bisa menjadi alat untuk mengembangbiakkan korupsi. Jika iya, berarti dari tahap perencanaan terhadap sebuah sistem saja sudah menabur benih tumbuhnya pohon korupsi.
Kalau dalam tahap pelaksanaan sistem, jelas apa yang terjadi kebanyakan saat ini tentang kasus korupsi adalah karena pelaksanaan sistem yang kacau balau. Sistem sangat lemah sehingga memungkinkan koruptor bisa memanfaatkannya. Belum lagi, tumpang tindihnya sistem yang satu dengan yang lain. Tumpang tindih ini pun bisa sebagai ruang nyaman bagi koruptor untuk beraksi.
Dalam hal pengawasan sistem, ini juga merupakan bagian vital atas suburnya korupsi. Pengawasan yang lemah atas sistem jelas melonggarkan ruang bagi sosok seperti Gayus untuk mengotak-atik sistem sehingga bisa berkelindan dengan para pengemplang pajak. Para aparat hukum, karena tidak adanya pengawasan yang kuat, menjadikan mereka bisa mempermainkan aturan hukum yang seharusnya menjerat koruptor.
Indonesia bisa terus menjadi juara korupsi, karena sistem-sistem buruk dan lemah yang ada terus-menerus distatus quo-kan. Reformasi birokrasi memang sudah jalan, tetapi itu belum masuk ke tataran mindset birokrat. Apa gunanya sistem yang bagus, tetapi tidak diresapi oleh para obyeknya? Inilah mengapa sistem saat ini tidak berjalan dengan bagus, baik dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran korupsi yang mematikan, pembenahan sistem secara komprehensif perlu dilakukan. Dan, sistem itu pun kemudian harus dijunjung tinggi oleh semua obyeknya sampai ter-mindset-kan.