Oleh Atip Latifulhayat
KORUPSI dengan berbagai definisi dan manifestasinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah negeri yang bernama Indonesia. Rakyat Indonesia sudah pasti sangat lelah mendengar dan membicarakannya. Bahkan mungkin melafalkannya pun sudah sangat "sebal" dan "muak". Tiada hari tanpa berita korupsi. Tiada instansi (pemerintah) yang bebas korupsi. Saking lekatnya Indonesia dengan praktik korupsi, dengan nada bercanda kawan-kawan penulis dari negara-negara yang cukup maju dan bersih sering kali menertawakan sambil mengatakan, "Ini bukan Indonesia kawan!". Saya ikut juga tertawa, tapi dengan perasaan yang teramat getir.
Budaya korupsi penetrasinya sudah menyentuh nyaris semua segmen masyarakat. Yang mencengangkan, kaum intelektual yang diidealisasikan sebagai makhluk antiwabah korupsi, ternyata ambrol juga pertahanannya. Keadaan ini tanpa kita sadari telah menyebabkan negara Indonesia hampir sempurna menjadi negara yang gagal (failed state). Para pendiri republik ini sejak awal bercita-cita agar Indonesia kelak menjadi negara yang adil, makmur, dan sejahtera. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dengan kata lain, Indonesia saat ini telah gagal sebagai negara sebagaimana dicita-citakan para pendirinya.
Istilah "negara gagal" dipopulerkan antara lain oleh Helman dan Ratner dalam artikelnya, "Saving Failed States" (Foreign Policy:1992). Failed states merujuk kepada negara-negara yang pemerintahnya tidak memiliki kemampuan memadai untuk menyediakan fasilitas publik, infrastruktur ekonomi, keamanan, dan gagal dalam mengamankan integritas teritorialnya. Suatu negara dikualifikasikan sebagai "gagal" disebabkan ketidakmampuannya menyediakan apa yang oleh Rotberg disebut sebagai positive political goods bagi warga negaranya yang mencakup keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, peluang ekonomi, pemeliharaan lingkungan, sistem peradilan yang baik, dan penyediaan infrastuktur ekonomi yang fundamental (Robert I. Rotberg, The New Nature of Nation-State Failure: 2002).
Selain itu, negara gagal pun selalu ditandai dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang rendah, nilai mata uang yang rendah bahkan kalah pamor dengan mata uang asing, harapan hidup penduduknya pendek, kemiskinan meluas, kriminalitas tinggi, tidak mampu mengatur dan menjaga batas-batas wilayah teritorial negaranya, dan praktik korupsi yang meluas (Stephen D. Krasner:2004).
Beberapa negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin masuk ke dalam kategori ini. Untuk menyebut beberapa contoh, Ruanda, Kongo, Sierra Leone, Zimbabwe, Burundi, Columbia, Pakistan, dan Afganistan (Robert Cooper, The Breaking of Nations: Order and Chaos in The 21st Century: 2004). Sementara itu, negara yang mampu melaksanakan kedaulatannya baik ke dalam maupun ke luar dalam arti mampu menyejahterakan rakyatnya dan menjaga wibawa politik dan integritas teritorialnya dalam pergaulan internasional, itulah negara yang sukses/successful states (Rosa Brooks, Failed States, or the State as Failure: 2004).
Tanpa harus membantu untuk menyimpulkan, Indonesia telah memastikan dirinya masuk dalam parade negara-negara gagal. Bahkan untuk Indonesia ini tampaknya juga termasuk kategori "negara semu" (quasi-state), karena ketergantungannya yang cukup tinggi terhadap bantuan luar negeri (baca: pinjaman) dan ketidakberdayaannya terhadap "intervensi" institusi-institusi internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
Dengan merujuk kepada pengertian negara yang sukses sebagaimana dikemukakan oleh Brooks di atas, jelas Indonesia layak untuk mendapat julukan negara gagal, paling tidak "negara semu". Kesejahteraan sebagai parameter umum bagi keberhasilan suatu negara yang gampang diingat dan langsung terasa oleh rakyat gagal diwujudkan oleh pemerintah. Dari hari ke hari kehidupan rakyat semakin susah. Hak-hak dasar yang seharusnya diterima seperti kesempatan memperoleh pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang memadai, dan perasaan aman berubah menjadi barang mewah yang sulit terjangkau oleh rakyat. Pada titik ini negara telah gagal melaksanakan kedaulatan internalnya.
Sementara itu, pada level internasional wibawa Indonesia semakin merosot. Indonesia juga kerepotan menjaga integritas teritorialnya termasuk persoalan perbatasan. Kasus sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia merupakan bukti gagalnya Indonesia melaksanakan kedaulatan eksternalnya. Dari perspektif hukum internasional faktor utama yang menjerumuskan suatu negara menjadi failed state sebagaimana dikemukakan oleh Shaw adalah "...the central government is unable to uphold what is sometimes defined as the 'essence of a state', the control of territory (M.N.Shaw, Territory in International Law: 1982).
Negara gagal adalah negara yang berdaulat hanya di atas kertas, secara faktual sama sekali tidak berdaulat. Secara yuridis berdaulat, tapi tidak secara empiris. Tanpa harus berdebat panjang, kasus Ambalat adalah bagian dari potret Indonesia sebagai failed state. Pemerintah Indonesia gagal untuk mengamankan doktrin sakral dalam ajaran kedaulatan negara yaitu apa yang oleh para pakar hukum internasional disebut sebagai the impermeability of national borders (ketidakbolehan terlanggarnya batas-batas wilayah negara).
Pertanyaannya adalah apa penyebab utama Indonesia menjadi negara yang gagal? Jawabannya adalah korupsi. Ini bukan penyederhanaan masalah, tapi karena memang masalah utamanya itu dan di situ. Korupsi memang bukan satu-satunya faktor yang menjerumuskan suatu negara ke dalam kategori failed state. Namun, korupsi merupakan pintu gerbang utama (main gate) bagi kehancuran suatu negara. Korupsi sebenarnya bukan persoalan yang berkaitan dengan uang. Kerugian (negara) berupa uang adalah akibat dari suatu perbuatan (infi'al kata orang pesantren). Korupsi hakikatnya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, selingkuh kekuasaan (abuse of power) dan penyalahgunaan kepercayaan dari rakyat (abuse of trust). Kasus korupsi yang sedang hangat seperti KPU dan Bank Mandiri adalah contoh yang teramat terang telah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang telah berlangsung lama dan meluas hampir di semua instansi pemerintah menyebabkan Indonesia gagal untuk mengantarkan rakyatnya meraih kemakmuran, mencicipi keadilan, dan menikmati ketenteraman. Yang lebih mengerikan, korupsi bukan saja telah merugikan rakyat dan menguras aset negara tapi juga telah menjadi sumber penyakit moral yang endemik. Budaya suap yang sebetulnya merupakan budaya rendah berubah menjadi "hukum kebiasaan birokrasi dan pebisnis". Suap atau bribery (Inggris) berasal dari bahasa latin "briba" (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Sekarang "sepotong roti itu" menjadi rukun kelancaran bagi urusan bisnis dan birokrasi. Dalam ajaran Islam, mengemis adalah perbuatan yang harus dihindari (tidak terpuji). Korupsi lewat suap adalah pengemis yang bersandar pada tongkat yang tegak di atas penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan seberapa besar dosanya.
Budaya suap mengakibatkan rakyat kehilangan gairah untuk berkompetisi secara sehat. Kreativitas dan inovasi tidak lagi menjadi jembatan meraih prestasi dan harga diri. Mencari celah untuk kolusi jauh lebih diminati karena hasilnya lebih pasti. Namun, negara harus menderita kerugian luar biasa karena penghuninya hanya birokrasi yang doyan korupsi dan rakyat yang tidak lagi menghargai arti sebuah prestasi dan kompetisi. Ujungnya, Indonesia pas untuk ditahbiskan sebagai negara yang gagal.
Penyalahgunaan kekuasaan juga telah menyebabkan aparat pertahanan kita yang oleh konstitusi antara lain diberi tugas untuk menjaga keutuhan wilayah nasional menjadi lengah dan lembek. Alih-alih memperkuat diri dengan disiplin yang tinggi dan melengkapi diri dengan persenjataan modern demi kehormatan dan keutuhan ibu pertiwi yang terjadi malah sibuk mengutak-atik jabatan politik yang sebetulnya di luar tugas dan wewenangnya. Berbagai previlese politik yang dinikmati selama hampir 32 tahun yang sebetulnya bisa dijadikan kesempatan untuk memperkuat sistem pertahanan bahkan harus berujung dengan keprihatinan.
Rakyat menatap dengan perasaan pilu menyaksikan persenjataan TNI kita compang-camping dan sangat tidak representatif untuk mengamankan wilayah seluas Indonesia ini. Lagi-lagi penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi penyebabnya. Akibatnya, Indonesia harus dipermalukan dengan lepasnya Sipadan dan Ligitan dan direpotkan dengan klaim Malaysia atas Blok Ambalat. Sebagai negara besar, jelas Indonesia gagal mempertahankan integritas teritorialnya. Kesimpulan berikutnya, lagi-lagi Indonesia telah gagal sebagai negara.
Kita semua tentu tidak ingin menjadi rakyat dari sebuah negara yang gagal. Kalau begitu, mari kita perangi korupsi. Korupsi meminjam istilah Prof. Muladi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan. Perlu "keluarbiasaan" untuk setiap langkah memerangi korupsi. Pemerintah sudah memperlihatkan komitmen awal yang cukup bagus dan perlu didukung lewat pengusutan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara. Namun yang belum terjamah adalah pemberantasan terhadap budaya korupsi. Apa yang terjadi di KPU adalah budaya korupsi yang juga dipraktikkan di tempat-tempat lain. Kasus KPU dan Bank Mandiri sebenarnya perilaku korupsi sehari-hari yang dilakukan oleh birokrat dan pebisnis. Sudah biasa.
Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bebas dari perilaku korup. Yang membedakan Indonesia dari negara lain adalah tingkatannya sudah sangat masif. Sudah membudaya.
Negara-negara yang keluar sebagai negara sukses adalah mereka yang berhasil menekan budaya korupsinya. Indonesia masih bertahan sebagai negara gagal, karena budaya korupsi masih bertahan.
Tulisan ini ingin saya tutup dengan sebuah anekdot tentang Indonesia yang saya dengar dari wartawan senior Radio ABC Australia, Nuim Khaiyyat. Ketika Tuhan menciptakan dunia, para Malaikat protes karena didapatinya Benua Eropa hanya berupa hamparan es. Ini tidak adil, kata para Malaikat. Tuhan menjawab, "Anda benar tapi lihat nanti kualitas penduduknya." Malaikat pun diam.
Ketika menyaksikan kawasan Timur Tengah yang hanya berisi hamparan pasir nan gersang kembali Malaikat protes, "Ini juga tidak adil." Tuhan menjawab, "Tenang wahai para Malaikat, lihatlah nanti apa yang terkandung di dalam perut bumi Timur Tengah ini."
Selanjutnya para Malaikat menyaksikan ketidakadilan yang luar biasa setelah menyaksikan bumi Indonesia yang sangat subur, hampir semua yang dibutuhkan manusia tersedia. Tanpa harus bekerja pun penduduknya bisa hidup. "Ini tidak adil Tuhan," kata Malaikat. "Anda benar, tapi lihat nanti bagaimana tingkah dan laku para pemimpinnya." Ini hanyalah sebuah anekdot.***
Penulis pengajar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, kandidat doktor di David Derham School of Law Monash University, Australia.