Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*
KORUPSI bukan hal baru di Indonesia. Korupsi telah mendarah daging, sehingga terus melekat dalam tiap jejak yang terpampang dalam bumi Indonesia.
Belum lengkap popularitas kaum elite kalau belum terlibat dalam skandal korupsi. Makin tinggi tingkat korupsi, popularitasnya akan makin tinggi. Bahkan selebritas pun tergeser oleh koruptor.
Gayus dan Bahaasyim sekarang ini menjadi ‘artis’ laris manis yang terus diberitakan media massa. Bahkan ‘Mr X’ yang diungkap Susno Duadji menjadi pemberitaan paling sensasional dalam pekan ini. Itulah paradoks manusia Indonesia. Hidup tanpa korupsi seolah tak sempurna. Suatu kebanggaan bisa menjadi koruptor, karena akan dikenang dan dikenal oleh seluruh elemen bangsa.
Benar, korupsi di Republik ini sudah begitu parah, bahkan sampai mendarah daging. Tidak hanya berkutat pada kaum elite birokrat, tetapi juga merasuk sendi-sendi masyarakat tingkat lokal. Korupsi menjelma sebagai virus akal budi yang kekar, tangguh, dan visioner dalam menggerogoti bangsa. Yang terjadi kemudian adalah proses pelapukan dan pembusukan yang terus menjerumuskan bangsa pada titik nadir yang mengerikan.
Dari sekian diskursus yang berkembang dewasa ini, korupsi selalu dilekatkan dengan kekuasaan. Padahal, virus bernama korupsi tidak lagi endemik (bertempat pada titik tertentu), tetapi sudah sublim, mendarah daging, dan bagian dari kepribadian manusia.
Nalar koruptif yang menghinggapi manusia menjadikannya sebagai aktor pembusukan yang ampuh dan lihai, sehingga aturan yuridis pemberantasan korupsi yang selalu diperbaharui pemerintah tidak mampu menjangkau kecepatan nalar koruptif manusia. Nalar koruptif selalu menemukan ide dan gagasan baru yang mendukung terselenggaranya proses pembusukan bangsa. Dari situ jelas, korupsi tidak lagi virus yang berkembang dalam birokrasi, namun juga dalam personalitas diri subjek (manusia).
Menarik analisis Ignas Kleden (2006) yang melihat korupsi dalam kacamata filsafat komunikasinya Habermas. Kerangka Habermas itu bertolak dari empat dimensi pilar bahasa komunikasi, yakni dimensi komprehensibilitas (sejauhmana bisa dipahami), objektivitas, subjektifitas, dan moralitas.
Dimensi komprehensibilitas berkaitan dengan pertanyaan gramatikal tentang sense dan nonsense. Dimensi objektivitas (epistemologis) adalah pertanyaan tentang benar atau salah. Sementara dimensi subjektivitas (psikologis) adalah pertanyaan tentang representasi subjek pembicara dalam ucapannya. Apakah suatu ucapan mencerminkan pikiran, perasaan, keyakinan atau keraguan pembicara atau justru menyembunyikannya.
Dan terakhir, dimensi moralitas berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana bahasa itu sesuai dengan norma moral masyarakat setempat. Hubungan epistemologis, psikologis, moralitas, dan linguistik yang dijelaskan Ignas mengindikasikan bahwa nalar koruptif lahir dalam ruang sistemik, sistematis, dan kritis. Manusia korupsi setelah mempertimbangkan berbagai hal, seperti kondisi birokrasi, psikologi dan mentalitas birokrat lain, serta menggunakan bahasa yang tersembunyi.
Dari kerangka itu, sangat mungkin segala tingkah laku manusia akan terjerembab dalam lubang hitam bernama korupsi. Terlebih pada sektor media massa sebagai alat komunikasi publik yang sangat efektif. Nalar koruptif yang merasuk media massa semakin massif-eskalatif ketika didukung oleh kapitalisme transnasional. Dengan modal besar, manusia seenaknya menjejali hidupnya dengan membunuh dimensi kemanusiaan hakikinya. Dari sinilah, jelas bahwa korupsi terjadi dalam level individual dan level kemasyarakatan.
Manusia satu dengan yang lain tidak lagi dikendalikan oleh kejernihan nurani, namun nafsu kekuasaan dan kapitalisme global. Inilah yang mengakibatkan korupsi menjelma sebagai pembusukan kemanusiaan yang sebentar lagi akan menggelincirkan bangsa pada jurang hitam.
Untuk membunuh nalar koruptif tersebut, perbaikan individu harus lebih diutamakan.
Karena berbagai kerusakan dan pembusukan kemanusiaan dewasa bukan lahir dari otentisitas diri manusia, namun dari inautentisitas dan irasionalitas karena menyesuaikan dari tuntutan gemuruh modernitas dan kapitalisme transnasional. Di sinilah moralitas menjadi sangat penting. Moralitas tidak hanya berdasarkan dimensi rasio, namun juga dimensi rasa.
Untuk mewujudkannya, perlu gerakan feminisme dan gerakan ekologis sebagai contoh. Keduanya menghargai emosi, sehingga moralitas berdasarkan pada ketuhanan lebih mudah tercapai. Selain moralitas praktis, perlu eksemplar gerakan untuk menempatkan korupsi sebagai kemungkaran sosial, sehingga bisa menggalang kekuatan massa dalam melakukan konsolidasi dalam menolak praktik koruptif di negeri ini.
Eksemplar gerakan antikorupsi bisa dijalankan di lembaga pendidikan, sehingga memberikan dorongan kuat antikorupsi kepada peserta didik. Dari lembaga pendidikan inilah, lahir gerakan kaum terdidik yang tercerahkan, sehingga bisa menggalang kekuatan untuk menentang korupsi yang sudah endemik ini.
Berbagai perguruan tinggi di Indonesia bisa menjadi percontohan dalam menggalang kekuatan pendidikan antikorupsi, sehingga bersifat masal kolosal. Dari lembaga pendidikan yang bersih dan jernih itulah lahir generasi anak bangsa yang teguh dengan prinsip untuk Indonesia masa depan.
*Peneliti CDIE UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.