Oleh: Aris Arif Mundayat
Korupsi yang tak kunjung padam di negeri ini secara jelas
merupakan tindakan yang merugikan masyarakat terutama sekali kelompok yang
paling rentan. Masyarakat miskin di Indonesia berdasarkan data BPS (Biro Pusat
Statistik) tahun 2002-2010 hanya menunjukkan penurunan sebesar 1,18%, yaitu dari
14,15% di tahun 1990 menjadi 13.33 di tahun 2010 padahal telah menghabiskan dana
trilyunan rupiah untuk menurunkan angka kemiskinan. Kira-kira terdapat 32.5%
dari 230 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan nasional, yaitu
dengan kemampuan daya beli sebesar US$1.55 per hari Kondisi ini lebih parah pada
daerah-daerah yang tertinggal dari segipembangunan dan rawan bencana. Angka
kemiskinan di Indonesia pun mencapai 40% dari jumlah penduduk, dan ini luar
biasa besar untuk negara yang kekayaan alamnya melimpah.
Kekayaan alam yang melimpah itu mengapa tidak memberi
efek mensejahterakan rakyat? Jika kita telusuri, maka kita akan menemukan
berbagai bentuk kolusi antara penguasaha dan pejabat Negara (eksekutif,
yudikatif,legislative) yang terlibat dalam melindungi pembalakan liar terhadap
hutan-hutan, terlibat dalam kasus pengalihan fungsi tanah, terlibat dalam
penambangan liar dan lain sebagainya. Kekayaan alam dalam konstitusi diamanahkan
oleh pengelola Negara untuk sepenuhnya memberi kesejahteraan rakyat, namun
buktinya kita masih memiliki angka kemiskinan yang sedemikian tinggi. Kelompok
miskin tersebut merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan dalam menjalani
kehidupan mereka. Negara dalam hal ini tidak memiliki kemampuan untuk
melindungnya karena pejabat negara justru menjadi kelas predator yang memangsa
rejeki yang seharusnya mengalir ke masyarakat yang rentan, yaitu kelompok
miskin.
Di dalam kelompok yang paling rentan tersebut, perempuan
merupakan yang paling rentan, dan hal itu dapat dilihat dari angka kematian ibu
(AKI) melahirkan yang masih tinggi yaitu 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran.
Ini artinya akses terhadap faslitas kesehatan reproduksi perempuan jauh dari
harapan masyarakat miskin yang sebagian besar tinggal di daerah-daerah terpencil
yang relative tidak tersentuh pembangunan. Perempuan menjadi kelompok yang tak
terlindungi oleh Negara karena pembangunan dan kekayaan alam yang kita punyai
telah dikuasai oleh kelas predator yang yang terdiri dari elemen Negara dan
pengusaha. Ini adalah pembunuhan terhadap kaum ibu melalui korupsi. Jika Negara
telah menjadi ruang bagi kelas predator yang memakan rejeki rakyat melalui
kolusi dan korupsi bagaimana mungkin rakyat miskin dapat mengakses fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan prasarana kesejahteraan lainnya?
Minimnya fasilitas tersebut mengindikasikan adanya
ketidakseimbangan pembangunan yang sebagian besar terfokus di wilayah perkotaan
daripada di wilayah pedesaan. Kota telah meninggalkan desa karena pembangunan
yang selama ini berjalan telah menjadikan desa hanya sebagai sumber ketersediaan
tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Sumber daya alam dari
desa pun juga terekstraksi ke perkotaan, dan desa tetap miskin. Kelas masyarakat
kota dengan demikian juga telah menjadi predator terhadap masyarakat desa yang
paling banyak memiliki kelompok miskin. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan
orang miskin tak dapat beranjak dari kemiskinannya.
Ketika negara kurang bertanggungjawab terhadap rakyat
miskin karena pengelola negara telah menjadi kelas predator, masyarakat
seringkali memiliki mekanisme dalam bentuk solidaritas social yang kemudian
menjadi penyangga kesejahteraan secara terbatas. Hal ini tentunya tidak dapat
dibiarkan karena Negara lah yang seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan.
Masyarakat berpartisipasi di dalamnya, dan partisipasi yang sempurna itu
mengandaikan relasi yang setara, transparan dan tanpa korupsi, karena korupsi
itu artinya membiarkan kelas predator untuk memangsa rejeki rakyat
miskin.
http://infokorupsi.com/