Setelah kasus pidana yang menyeret
mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya, publik sangat berharap
jajaran pimpinan di KPK pada masa mendatang diisi oleh sosok yang memiliki
integritas moral tinggi.
Sejak resmi dibentuk pada 2003, KPK
telah memberi harapan yang cukup tinggi pada perbaikan hukum dan penanganan
korupsi di Indonesia. Lewat upayanya mengungkapkan sejumlah tindak pidana
korupsi yang melibatkan anggota lembaga legislatif, aparat birokrasi, dan
penegak hukum, KPK menjadi lembaga yang menuai sanjungan lebih daripada lembaga
hukum permanen, seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung
(MA).
Kepercayaan yang semakin terpupuk
kepada lembaga ini menjadikan jumlah pengaduan masyarakat pun meningkat. Kalau
pada 2004 jumlah laporan dari masyarakat yang disampaikan kepada KPK hanya 2.281
buah, pada tahun berikutnya meningkat tiga kali lipat. Kepercayaan itu terus
naik setelah periode kedua kepemimpinan KPK dipegang oleh Antasari Azhar. Pada
2008, jumlah pengaduan masyarakat bahkan mencapai 8.699 laporan.
Jajak pendapat Litbang Kompas pun
merekam kenaikan apresiasi yang serupa. Sejak 2008, citra KPK meningkat
signifikan. Kepuasan terhadap kinerjanya pun beranjak naik.
Batu sandungan
Namun, KPK mulai menemukan batu
sandungan yang paling keras justru dalam dirinya sendiri ketika Ketua KPK
Antasari Azhar diduga terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali
Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Sejak tersiarnya indikasi keterlibatan Antasari
pada Mei 2009, publik yang sebelumnya memiliki keyakinan penuh bahwa KPK
merupakan lembaga penegak hukum yang bersih dan jauh dari skandal, mulai
terbelah opininya. Citra positif KPK di mata publik pun merosot dari 77,5 persen
menjadi 53,3 persen.
KPK, lembaga yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk memerangi
korupsi di Tanah Air, memang berulang kali mendapat tentangan yang berpotensi
menjegal kerjanya. Dari awal, ketika KPK diketuai Taufiequrachman Ruki,
pertentangan sudah terlihat. Pencabutan wewenang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) pada 2006 adalah ganjalan yang paling substansial bagi
perjalanan KPK.
Namun, di tengah upaya mengurangi
kewenangan yang dimiliki, KPK berhasil membongkar kasus korupsi yang melibatkan
sejumlah pimpinan Komisi Pemilihan Umum waktu itu, menahan pejabat, mulai dari
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Gubernur Kalimantan Timur
Suwarna AF dan Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham, hingga Bupati
Kendal Hendy Boedoro dan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR yang terindikasi
korupsi.
Ketika jabatan ketua KPK beralih ke
Antasari Azhar, keberanian lembaga ini juga semakin menuai apresiasi. Di bawah
kepemimpinan KPK periode kedua ini, mereka menangkap tangan anggota DPR, Al Amin
Nur Nasution; menetapkan sebagai tersangka mantan Gubernur Jawa Barat Danny
Setiawan dan mantan Gubernur Riau Saleh Djasit; menangkap tangan jaksa Urip Tri
Gunawan; menahan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah;
bahkan berani menahan mantan Kepala Polri Rusdihardjo dan mantan Deputi Gubernur
BI Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Akan tetapi, setelah itu KPK justru
mendapat cobaan terberat. Pada Mei 2009, polisi menahan Antasari Azhar. Ia
menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin
Zulkarnaen. Kasus itu cukup menyudutkan keberadaan lembaga hukum ini.
Tak cukup hanya itu, pada tahun
yang sama, dua unsur pimpinan KPK lainnya, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad
Rianto, tersangkut kasus dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencekalan
terhadap Direktur Utama PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo.
Satu tahun terakhir memang menjadi
momen yang kritis bagi lembaga pemberantas korupsi ini. Di samping sejumlah
unsur pimpinannya terbelit kasus yang menyita perhatian, ada kecenderungan
hubungan kerja sama dengan sesama penegak hukum lainnya juga berkurang,
menyebabkan tumpukan perkara yang harus diselesaikan oleh KPK meningkat. Kalau
pada 2008 jumlah kasus yang diteruskan ke kepolisian, kejaksaan, BPKP, Itjen dan
LPND, BPK, MA, dan Bawasda mencapai 527 laporan, pada 2009 tinggal 95 laporan.
Sebaliknya, yang diteruskan ke internal KPK meningkat dari 527 menjadi 812
laporan kasus.
Di mata publik, kinerja KPK kini
tidak lagi memuaskan. Ketidakpuasan juga tergambar terhadap kinerja yang
mencakup tugas-tugas pokok KPK, yakni koordinasi, supervisi, penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan, pencegahan, serta pemantauan.
Sebanyak enam dari sepuluh
responden menyatakan ketidakpuasannya terhadap kerja KPK dalam berkoordinasi
dengan aparat hukum. Masyarakat tentu bisa membaca adanya jurang pemisah yang
dalam antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, terutama setelah kasus
Bibit-Chandra menampakkan pertentangan antara lembaga KPK dan Polri.
Ketidakpuasan publik yang lebih
kurang sama terekam pada penilaian terhadap kinerja KPK dalam penyelidikan dan
penyidikan serta penuntutan kasus korupsi. Kini KPK mulai dinilai kurang
memuaskan dalam menangani kasus korupsi tertentu. Sebut saja kasus dana talangan
kepada Bank Century yang ditangani KPK pada Desember 2009. Setelah hampir enam
bulan, kasus ini tetap bertahan pada tahap penyelidikan, belum naik ke tingkat
penyidikan. “Masih dibutuhkan pendalaman. Namun, bukan berarti KPK sudah
menyerah,” ujar Juru Bicara KPK Johan Budi beberapa waktu lalu. Banyak pihak
merasa penyelidikan kasus Bank Century itu seperti jalan di tempat.
Oleh karena beberapa kasus korupsi
kelas kakap yang ditangani KPK tidak kunjung membuahkan vonis, masyarakat hanya
bisa menelan kekecewaan. Ungkapan kekecewaan tersebut tecermin dalam tingkat
kepuasan publik terhadap kinerja KPK secara umum. Hasilnya, mayoritas responden
(55 persen) menyatakan tidak puas.
Penilaian publik terhadap citra KPK
pun menurun. Kini hanya sebagian responden (54,5 persen) yang menganggap citra
lembaga KPK saat ini baik. Jumlah sentimen positif tersebut menurun dibandingkan
November 2009 setelah terjadi penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bibit Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah yang serentak mendapat reaksi keras dari
masyarakat.
Aspek moral
Mengisi kekosongan unsur pimpinan
yang ditinggalkan Antasari Azhar, pemerintah membentuk panitia seleksi (pansel)
untuk memilih pengganti. Publik pun berharap, pansel mampu memilih sosok
pimpinan yang tepat. Sifat utama yang diharapkan dimiliki oleh pemimpin terpilih
nanti adalah sosok dengan integritas moral tinggi, sebagaimana dinyatakan oleh
80 persen responden. Hanya sebagian kecil (9 persen) responden yang lebih
mementingkan aspek pendidikan, terutama di bidang hukum.
Kriteria yang dikemukakan mayoritas
responden tersebut mengisyaratkan publik telah lelah dengan perilaku negatif
yang kerap dilakukan para petinggi negara yang mengaku berpendidikan. Aspek
pendidikan hanya menjadi syarat kedua setelah aspek integritas dan
moral.
Hingga saat ini, pelamar yang
mendaftar sebagai calon pimpinan di KPK kebanyakan berlatar belakang pengacara.
Salah satu butir persyaratan calon pimpinan KPK memang mensyaratkan pelamar
adalah mereka yang berijazah sarjana hukum atau memiliki keahlian di bidang
hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan minimal 15 tahun. Pada poin ini, hampir
setengah (48,6 persen) dari responden menyetujui jika calon pimpinan KPK
sebaiknya mereka yang memiliki keahlian di bidang hukum. Latar belakang lain
yang oleh sebagian responden dianggap mampu duduk di kursi pimpinan KPK adalah
rohaniwan (18 persen) dan akademisi (11 persen).
Mengenai sosok yang paling tepat
untuk menjadi pemimpin KPK, tidak banyak nama yang tersebut dari mulut
responden. Tampaknya publik memberikan kepercayaan cukup tinggi kepada panitia
seleksi yang saat ini sedang bekerja. Pansel sebaiknya harus dapat membuktikan
kerja yang independen dan demokratis, lepas dari suap dan kepentingan partai.
Terhadap hal ini, mayoritas (52 persen) responden meyakini integritas pansel
dalam proses seleksi yang sedang berjalan.
Ke depan, publik mengharapkan
kembalinya taring KPK dalam pemberantasan korupsi. Meski kini terpuruk,
mayoritas (65 persen) responden tetap lebih bertumpu kepada lembaga ini dalam
memberantas korupsi dibandingkan lembaga-lembaga hukum lainnya. (Oleh Palupi P
Astuti, Litbang Kompas)