SEMARANG, KOMPAS.com - Maraknya korupsi di pemerintah daerah merupakan kesalahan sistem demokrasi yang berkembang terlalu jauh. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang menelan biaya tinggi bagi calon menjadi akar terjadinya tindak pidana korupsi di pemerintahan.
"Menjadi kepala daerah itu tidak gratis. Biaya bisa tinggi. Di tingkat bupati dan wali kota supaya bisa maju mencalonkan diri menelan biaya ratusan juta, mencalonkan gubernur lebih mahal lagi," kata Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, Jumat (6/5/2011) pada acara Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pemerintah Provinsi Jateng, serta pemerintah kabupaten/kota se Jateng di Semarang.
Penandatanganan MoU antara BPK dan pemerintah daerah di Jateng disaksikan Ketua BPK Hadi Poernomo, Kepala Perwakilan BPK Jateng Ign Bambang Adi Putranta, Wakil Gubernur Rustriningsih serta bupati/wali kota di Jateng.
Bibit menyatakan, pemahaman keliru atas otonomi daerah ini sedikit banyak menjadi kendala pemerintah dalam penggunaan keuangan negara yang efektif dan berbasis kesejahteraan rakyat. Kepala daerah yang terpilih, akan mencari celah mengembalikan modal kampanye pencalonan.
Proses ini tentunya akan berpengaruh pula pada perilaku pejabat birokrasi dalam penggunaan anggaran keuangan. Bila tidak segera diperbaiki sistem pemilihan kepala daerah, tindak korupsi makin membudaya.
Oleh karena itu Bibit berharap kerja sama BPK dan pemda akan menjadi panduan bagi pelaksana pemda supaya menggunakan uang negara secara efektif. Uang negara harus untuk kesejahteraan masyarakat.
Sedang Hadi Poernomo menegaskan, kerja sama ini mengatur hubungan kerja sama pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data lembaga negara, kementerian, atau badan oleh BPK. "Pola ini memberi keuntungan BPK lebih cepat dan hemat dalam penyelesaian audit keuangan negara," kata Hadi.