Oleh: Aris Arif Mundayat
Jika kita lihat dari pemberitaan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) mengenai angka kemiskinan maka kita akan memperoleh informasi bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 berjumlah 31,02 juta orang (13,33 persen). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen. Sementara itu pada 8 Maret 2010 PERC (Political & Economic Risk Consultancy) menempatkan Indonesia pada ranking pertama dari 16 negara terkorup di Asia Pasifik. Pada periode tahun 2001-2009, jumlah uang yang dikorupsi mencapai Rp 73,07 triliun. Namun total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Sisanya entah kemana?
Sebagai rakyat kita hanya membayangkan jika uang yang dikorupsi tersebut digunakan untuk investasi maka paling tidak hasilnya akan memberi peluang kerja bagi orang miskin tersebut di atas dan hasil produksinya dapat mendorong angka pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menstimulasi sector lainnya untuk bekerja.
Sebagian para koruptor tersebut adalah politisi di legislative atau di partai dan para birokrat di lembaga eksekutif dan legislative. Mereka telah digaji oleh uang rakyat (termasuk orang miskin) yang telah membayar pajak melalui pemerintah agar mereka melayani rakyat. Ternyata mereka yang telah dibayar tersebut tidak pernah merasa bahwa mereka dibayar dengan uang rakyat mereka justru merasa dibayar oleh pengelola negara, sehingga mereka lebih melayani atasannya bukan rakyatnya. Dalam bahasa lain mereka tidak memiliki rasa terima kasih kepada rakyat, bahkan justru menjadi silent killer bagi rakyat. Ini jelas sekali bukan buah dari sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam Pancasila.
Mengapa para koruptor tidak memiliki rasa “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sehingga menjadi silent killer? Banyak hal yang mengkondisikan masalah ini, misalnya banyak partai politik yang mendayagunakan tubuh politiknya setelah mengintegrasikan diri dengan negara berkecenderungan untuk menjadi parasit sehingga tubuh politik tersebut dapat hidup. Karakter ini secara jelas tampak dari kasus yang akhir-akhir ini mencuat dalam media, bagaimana para actor partai besar bermain proyek bernilai trilyunan rupiah melalui kasus penyuapan yang tampaknya berfungsi bagi dana partai itu sendiri maupun perorangan. Untuk melindungi praktek korupsi ini maka kepolisianpun terlibat untuk ikut menikmati uang rakyat yang disalurkan ke mega proyek. Jika hal ini kemudian telah menjadi skandal yang diketahui secara public, maka giliran institusi peradilan dan perpajakan yang kemudian memainkan peran kemafiaan untuk ikut menikmati hasil kejahatan.
Ini artinya korupsi menjadi berkarakter structural dan membelit trias politika negara modern. Kenyataan seperti ini bukan sekedar bersifat politis, namun gaya hidup kaya dan hasrat untuk menjadi kaya secara instan menjadi dasar dari hasrat untuk korupsi. Jadi dalam hal ini dorongan politis dan dorongan hasrat konsumeristik membingkai perilaku korupsi para actor di trias politika tersebut.
Argumen-argumen hukum seringkali hanya berbasis pada bukti otentik kejahatan korupsi, namun tidak pernah menyinggung bahwa kemiskinan di Indonesia yang proses penurunannya lamban adalah konsekuensi logis dari praktek korupsi. Bagi hukum hal yang seperti ini tidak dapat dijadikan tuduhan, oleh karena itu dapat dimengerti bahwa hukuman untuk para koruptor tidak memberi efek jera karena mengabaikan konsekuensi logis dari humanism social yang diakibatkannya. Indonesia dengan demikian mengalami krisis kemanusiaan, karena berbagai institusi yang kita memiliki justru memproduksi koruptor.
Institusi pendidikan misalnya telah dipenuhi dengan kecurangan untuk menjawab soal ujian nasional, dan ini adalah benih korupsi. Institusi keagamaan yang semakin murah nilainya untuk dapat dibeli oleh kekuatan politik untuk memberikan suara dukungan pada aktor politik. Dua institusi tersebut telah dicederai oleh para koruptor dan jika tidak ada hukuman yang keras yaitu pemiskinan pelaku korupsi dan kerja sosial masyarakat maka praktek korupsi sulit untuk dibrantas, dan ini artinya ranking korupsi di Indonesia akan selalu ada pada posisi puncak. Apa arti dari semua ini? Kita memelihara dan mereproduksi silent killer yang siap menghancurkan Indonesia secara pelan tapi pasti.