Oleh: Zulkarnain
Kehidupan kita sebagai warga negara sepertinya benar-benar sedang diuji. Begitu banyak persoalan besar melanda negeri ini yang tidak bisa diurai dengan akal sehat.
Dari waktu ke waktu kita dipertontonkan keburukan para penguasa negara yang tidak berkesudahan. Kemunafikan dan kekerdilan jiwa mereka ditampakkan secara vulgar kepada rakyatnya.
Belum hilang satu kasus muncul kasus-kasus baru yang tidak kalah menghebohkan. Adakah semua ini segera akan berakhir?
Menyaksikan perkembangan terakhir dinamika sosial politik dan hukum di Tanah Air pantas membuat rakyat skeptis terhadap penguasa negara. Rakyat dibuat bingung atas tingkah polah para pemimpin.
Mereka yang dipercaya rakyat menduduki jabatan publik malah seringkali terlihat berkhianat. Praktik korupsi dan tindak manipulatif sangat kentara diumbar untuk memenuhi syahwat kekuasaan.
Pembelaan terhadap kelompok dan partai lebih mengedepan dibandingkan memenuhi tanggung jawab kepada rakyat.
Moral Penguasa Negara
Kita lihatlah bagaimana praktik korupsi semakin menggurita. Tidak saja menyeret ranah eksekutif, tapi juga menyerempet ke lembaga legislatif dan yudikatif. Bukan saja terjadi pada lembaga birokrasi, tapi juga menerjang partai politik dan aparat penegak hukum.
Kasus yang menimpa Nazaruddin seperti membenarkan tesis ini. Hampir semua lembaga tinggi dan tertinggi negara ditengarai ikut terlibat di dalamnya. Dari elite partai berkuasa, anggota parlemen hingga pejabat yang membawahi departemen.
Kasus pemalsuan surat keputusan MK mengindikasikan buruknya moral aparat penyelenggara negara. Begitu mudah mereka bersekongkol untuk memuluskan niat jahat.
Peraturan dimanipulasi demi kepentingan orang dan kelompok tertentu secara terencana. Semakin terangnya dugaan keterlibatan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi, keduanya adalah eks anggota KPU dan hakim MK, membenarkan asumsi ini.
Kemuliaan KPU sebagai lembaga otoritas penyelenggara Pemilu dan MK sebagai lembaga tertinggi penegak konstitusi negara kini hancur lebur akibat rendahnya integritas mereka.
Dua kasus ini saja sebenarnya telah membuka mata rakyat betapa moral pemimpinnya sudah tidak dapat lagi dipercaya. Apalagi yang dapat diharapkan rakyat bila pemimpin sesuka hatinya menghabiskan uang negara.
Apalagi yang dapat diharapkan rakyat bila uang negara hanya masuk ke dalam kantong segelintir penguasa. Dimana lagi harapan rakyat dapat ditautkan bila para pemimpin tidak jujur dalam melaksanakan tugasnya.
Dan dimana lagi harapan itu akan ada bila para penguasa saling memanipulasi antar lembaga negara.
Menuju Negara Gagal?
Jika moral dan etika sudah tidak berlaku lagi pada pemimpin, maka pantas rakyat mempertanyakan apakah mereka masih memiliki negara. Melihat fenomena demikian tidak salah ada yang menyebut negara kita sedang bergerak menuju negara gagal (failed state).
Logikanya sungguh sederhana: bagaimana sebuah negara mampu bertahan bila pemimpinnya saling mendahulukan kepentingan kelompoknya sendiri. Bagaimana rakyat akan peduli pada negara bila kepentingannya dikalahkan oleh kepentingan pencitraan para penguasa.
Karakteristik buruk para pemimpin ini jelas akan memicu peningkatan serangan terhadap legitimasi negara. Karena negara bekerja secara eksklusif hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa, tentunya akan menyebabkan loyalitas rakyat kepada negara menjadi rendah.
Akibatnya, rakyat terpecah belah dalam kepentingannya masing-masing, sehingga mengalihkan kesetiaannya dari semangat kebersamaan sebagai asas bernegara.
Seandainya ini yang akan terus berlangsung, kita khawatir akan tesis Benedict Anderson (2001), bahwa negara hanyalah sebuah komunitas imajiner.
Kekhawatiran sebagai negara gagal sebenarnya tidak hanya tampak pada tataran praktis, tapi sudah dibuktikan dalam kajian empiris. Majalah Foreign Policy (2010) telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-61 dari 170 negara paling gagal di dunia.
Memang, kegagalan negara kita tidak separah Somalia, Chad, Sudan, Zimbabwe, dan Kongo yang menempati peringkat lima besar. Indonesia memang masih lebih berhasil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Myanmar, Timor Leste, Laos, Kamboja, Filipina, dan Papua Nugini.
Tapi kita jauh tertinggal dengan negara tetangga yang praktis lebih muda dari kita seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand bahkan Vietnam.
Selain meningkatnya indeks korupsi, satu hal yang terpenting dari tanda-tanda negara gagal adalah ketidakpedulian rakyat pada pemimpinnya.
Karena merasa sering dilupakan oleh pemimpinnya, rakyat pun menjadi tidak mau tahu tentang negaranya. Bahkan ketika kebutuhannya tidak terpenuhi, rakyat pun berbuat sekehendak hatinya.
Padahal partisipasi rakyat amatlah dibutuhkan dalam kehidupan bernegara. Tanpa partisipasi dari rakyat, pembangunan menjadi tidak bermakna. Apa jadinya pemilihan umum, baik di tingkat pusat maupun daerah, tanpa diikuti partisipasi rakyat?
Modal Kebersamaan
Proses demokrasi tidak hanya mendatangkan kepatuhan melainkan juga pembangkangan rakyat. Kegagalan pemimpin dalam mengelola kehidupan rakyat jelas semakin melemahkan otoritas negara.
Karena kegagalan tersebut akan memicu ketidakpuasan demi ketidakpuasan sejumlah kelompok rakyat terhadap pemimpinnya.
Situasi semacam itu membuka peluang bagi berbagai macam kelompok kepentingan untuk memperjuangkan hasratnya dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak tertutup pula tangan-tangan asing ikut bermain di dalamnya. Maka semakin kacaulah negara ini.
Kebersamaan dan keserasian antara pemimpin dan rakyat adalah fundamen utama dalam bernegara. Revolusi yang terjadi dan masih berlangsung di Timur Tengah saat ini semestinya menjadi cermin bagi pemimpin yang berkuasa agar tidak lupa pada rakyatnya.
Tatkala pemimpin menelantarkan rakyatnya, dimana ia memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya, maka tidak ada kata lain bagi rakyat untuk tidak melawan. Sebab rakyat juga punya kuasa atas segala sesuatu di Tanah Airnya.***
Zulkarnain Staf Pengajar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Riau