Oleh: Idral
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selalu menjadi sorotan berbagai pihak. Ini suatu hal yang wajar, karena anggaran tersebut merupakan milik rakyat yang seyogyanya juga kembali kepada rakyat.
Di Riau kita seringkali mendengar dan membaca berita bahwa Riau harus mampu membawa dana APBN untuk dialokasikan lebih banyak di Riau.
Sementara kita lihat APBD provinsi yang ada lebih dari Rp4 triliun serta ditambah dengan APBD kabupaten/kota yang juga rata-rata di atas 1 triliun, ternyata masih belum sanggup untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat Riau.
Jika kita melihat kondisi masyarakat yang di pinggiran atau di pedesaan, masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Begitu juga di perkotaan, kita masih melihat para pengemis dan orang-orang tua yang meminta-minta, padahal mereka seharusnya berada dalam tanggung jawab negara untuk memeliharanya.
Dari data BPS, jumlah dan persentase penduduk miskin Riau pada Maret 2011 adalah 482.050 atau 8,47 persen dari total penduduk, kalau dilihat dari tahun sebelumnya memang menurun, namun dari angka data seringkali sangat berbeda dengan realitas kehidupan masyarakat sesungguhnya.
Saat ini dana APBN dan APBD sangat banyak terserap untuk belanja pegawai dan pembangunan fisik.
Pembangunan fisik memang juga akan memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, namun efektifitas dan prioritas pembangunannya yang membuat banyak dana negara atau daerah yang terbuang percuma.
Banyak contoh bangunan yang kita lihat terbengkalai setelah dibangun, dengan dana yag besar, tapi kualitas bangunannya sangat buruk. Sinyalemen Menteri Keuangan, Agus Martowardojo tentang beban pegawai yang harus dipikul anggaran negara layak mendapatkan tanggapan serius.
Tidak sekadar dilevel pusat semata tapi juga daerah. Sebab, ini berkaitan dengan proporsi alokasi untuk pembangunan dan gaji pegawai pemerintah.
Data menunjukkan jatah belanja pegawai lebih besar ketimbang belanja untuk rakyat. Anny Ratnawati (Wakil Menteri Keuangan) pernah menyampaikan bahwa dana dari APBN yang dikirim ke daerah berjumlah 393 triliun.
Laporan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan sejak 2007 jatah uang untuk gaji pegawai daerah mencapai 44 persen dari APBD dan 2010 meningkat menjadi 55 persen.
Sementara belanja modal turun drastis dari 24 persen pada 2007 menjadi 15 persen pada 2010. Sedangkan di tahun ini, 2011 terdapat 124 daerah yang anggaran belanja pegawainya mencapai kisaran 70 persen dari APBD.
Lebih mencengangkan lagi di Kabupaten Lumajang yang memiliki belanja pegawai hingga 83 persen.
Data dari Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan memaparkan terhitung sejak 2005 hingga 2011 belanja pegawai yang diambil dari APBN mengalami tren kenaikan. Tahun 2005 anggaran belanja pegawai hanya 54,3 triliun.
Setiap tahun rata-rata lonjakannya 15 triliun, hingga mencapai 180,8 triliun pada 2011 ini. Jika perkara ini terus terjadi dalam rentang waktu 2-3 tahun ke depan, duit APBN dan ABBD bisa keropos dan orientasi keberpihakan anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat luas ternafikan.
Tingginya anggaran untuk pegawai sering tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Banyak keluhan di tengah masyarakat ketika berurusan dengan proses pengurusan segala macam izin atau dalam pembuatan KTP dan lainnya.
Sehingga telah muncul kesan di tengah masyarakat bahwa pelayanan publik di pemerintahan kita masih sangat rendah.
Jika ditelisik ada beberapa sebab yang menghajatkan pemerintah mengeluarkan anggaran sedemikian besar. Setidaknya anggaran tersebut terserap di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang notabene memperoleh jatah lebih besar dibanding Kementerian lainnya.
Pertama, untuk prosesi dan gaji tambahan bagi pendidik yang lolos sertifikasi guru. Langkah ini diambil untuk meningkatkan keprofesionalan pendidik dalam mengajar dengan konsekuensi mendapatkan gaji dua kali lipat selama sebulan.
Bayangkan jika ada 10 juta guru bersertifikasi dan berupah dua kali, dengan rasionalisasi 4 juta per bulan. Berapa duit yang dikeluarkan kementerian yang mengurus hajat hidup khalayak ramai ini.
Kedua, iming-iming gaji berlipat membuat banyak orang khususnya sarjana nonkependidikan berlomba-lomba untuk mengikuti proses sertifikasi guru. Inilah kenapa pemerintah menghapus Akta IV dan mengharuskan mengikuti pendidikan profesi guru selama dua tahun.
Ditambah lagi lahan pekerjaan yang tak menentu, membuat sarjana-sarjana muda berebut menjadi PNS karena menggaransi gaji tetap selama sebulan.
Malangnya hal ini disambut pemerintah daerah yang membuka rekrutmen PNS massal tanpa mempertimbangkan kebutuhan daerah seperti jumlah penduduk yang dilayani dan jumlah APBD yang dimiliki.
Ketiga, dana kesejahteraan rakyat tak melulu untuk pembangunan fisik gedung. Meskipun hal itu juga dapat membuka lapangan kerja.
Sisi lainnya ialah menganggarkan pijaman lunak tanpa bunga untuk memberikan modal bagi unit Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UKMM) untuk meretas roda ekonomi masyarakat dan dapat membuka lapangan kerja umat.
Produk usahanya seperti kerajinan olah tangan seperti mebel, makanan, pakaian, tas, dan seni keramik dan kayu dapat dipasarkan ke level nasional bahkan luar negeri.
Hal ini malah akan berpotensi memasok tambahan penghasilan pemerintah daerah melalui retribusi dan pajak penjualan serta menarik wisatawan karena keunikan produk kerajinan dan keterampilan lokal daerah.
Daerah seyogyanya dapat menginspirasi pemerintah kabupaten lainnya untuk mencari keunikan dan potensi masing-masing sehingga menjadi daya jual guna menambah APBD yang muaranya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.***
Idral, Ketua KAMMI Wilayah Sumbar-Riau-Kepri.