Oleh: Aris Arif Mundayat
Tanggal 17 Agustus 2011 beberapa waktu yang lalu tampak terasa sepi dan tidak menunjukkan kemeriahan dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Jika kita tengok ke belakang puluhan tahun silam, kita sering melihat kemeriahan itu seringkali masih terasa hingga 1 minggu setelah hari kemerdekaan itu. Sekarang, hari yang bersejarah itu berlalu begitu saja tanpa makna ditelan Sang Kala. Bahkan sejumlah status Facebook pada tanggal 17 Agustus menunjukkan sikap kritis dan sinis terhadap bangsa Indonesia yang sepertinya gagal memaknai kemerdekaan republik kita ini. Dalam hati mungkin kita bertanya mengapa semua itu terjadi? Kaum nasionalis mungkin akan menjawab bahwa nasionalisme rakyat telah luntur.
Sementara itu kaum, post-nasionalis akan menjawab secara lebih kontekstual dengan jaman yang semakin tanpa batas sehingga rakyat memiliki pilihan di luar negaranya ketika negara tidak memiliki kemampuan mengurusi rakyatnya. Jika kita telusuri dengan menggabungkan pemikiran kaum nasionalis dan post-nasionalis, mungkin jawabannya adalah bahwa masalah tersebut di atas terkait dengan kekecewaan rakyat terhadap pengelola negara. Negara dianggap tidak mampu membuat rakyatnya bangga terhadap negerinya sendiri karena rakyat tidak mampu mencapai kesejahteraannya karena korupsi telah membuat negeri ini rusak.
Peristiwa saudara-saudara kita di perbatasan yang kecewa dengan pemerintah dan menginginkan untuk bergabung dengan negara tetangga bukanlah masalah bahwa mereka tidak memiliki rasa nasionalisme. Akan tetapi hal itu lebih mengindikasikan adanya ketimpangan pembangunan di daerah perbatasan. Pemerintah pusat maupun daerah tidak mempedulikan kesejahteraan masyarakat di perbatasan yang secara nyata menyaksikan saudaranya di belahan negara tetangga lebih sejahtera. Gagasan untuk bergabung dengan negara tetangga bukanlah dosa besar bagi mereka ketika negeri yang mereka tempati tidak memberi kemakmuran bagi masyarakatnya. Itu adalah pilihan untuk menjadi sejahtera dan merdeka di negara tetangga atau miskin di negeri sendiri yang merdeka namun tidak memiliki kemerdekaan untuk menjadi makmur. Pepatah “hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri tetangga” tidak lagi menjadi prinsip yang penting bagi rakyat yang telah berada di jaman yang semakin terbuka ini.
Selain masalah di atas, kita sebagai rakyat Indonesia juga dihadapkan pada peristiwa-peristiwa perampokan berjemaah oleh kader partai, anggota DPR/DPRD, hakim, bupati/walikota/gubernur, dan pejabat public yang melakukan korupsi seperti silih berganti dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Angka kemiskinan tidak beranjak menurun padahal biaya yang telah dikeluarkan untuk mengurangi angka kemiskinan telah mencapai trilyunan rupiah. Diperkirakan 30% APBN dikorupsi oleh pengelola negara dari berbagai tingkatan dan sektor. Jika angka 30% tersebut kita gunakan untuk membangun wilayah perbatasan dan mensejahterakan rakyat Indonesia maka makna kemerdekaan akan lebih berarti bagi kita semua.
Rakyat kecewa terhadap semua itu, dan rakyat kecewa terhadap pengelola negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara demokratis dan menelan biaya yang sangat tinggi. Namun pengelola negara tidak menjalankan amanah untuk mensejahterakan rakyatnya dengan baik. Kemerdekaan rakyat untuk memperoleh kesejahteraan justru terampas oleh para koruptor yang merampok uang dari rakyatnya sendiri. Koruptor telah mengkhianati bangsanya sendiri namun mereka tidak memperoleh hukuman yang setimpal. Semua ini telah membuat rakyat hanya diam dalam memaknai kemerdekaan.
Apabila rakyat mulai diam dan membiarkan apa yang terjadi di negeri kita ini maka sangat berbahaya bagi kelangsungan negeri. Mengapa demikian? Rakyat enggan untuk memaknai kemerdekaan dalam bentuk yang sederhana maupun yang sangat konstruktif bagi negara karena mereka merasa pengelola negara lebih memperhatikan kepentingannya sendiri, partai dan kelompoknya. Jika pengelola negara seperti itu, rakyat berfikir mengapa rakyat juga tidak demikian. Ini artinya pengelola pemerintahan tidak memberi pelajaran yang baik bagi rakyatnya dalam memelihara dan memaknai kemerdekaan.
Para pendiri Republik Indonesia pasti kecewa ketika penerus bangsa ini tidak lagi mewarnai kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan, namun yang terjadi justru penjajahan terhadap bangsa sendiri melalui korupsi. Jika hukum ditegakkan uang, jika parlemen menjadi sarang korupsi, jika polisi menjadi pagar makan tanaman, dan jika pengelola negara menjajah rakyatnya sendiri maka warisan para pendiri negara ini hanya akan rusak dan punah. Kegagalan para pengelola negara dalam memegang mandat rakyat telah mengurangi nilai kemerdekaan republik kita ini.