|
RAJESH KUMAR SINGH |
AKTIVIS antikorupsi India Anna Hazare, 74, mengakhiri aksi mogok makan yang telah dia jalani selama hampir dua minggu di pusat Kota New Delhi, kemarin. Dia menghentikan aksinya setelah muncul keputusan dari parlemen dan pemerintah untuk menyetujui tuntutannya.
Setelah berdebat dalam pertemuan selama 9 jam, parlemen India akhirnya menyepakati resolusi bagi perundang-undangan yang lebih keras dalam memberantas korupsi di negeri berpenduduk 1,2 miliar jiwa itu.
Tidak ada pemungutan suara yang terjadi saat memutuskan resolusi. Resolusi tersebut mendorong perumusan UU untuk membuat lembaga independen dengan daya selidik yang luas hingga ke anggota parlemen, peradilan, dan birokrat. Tindak lanjut dari resolusi itu akan segera diproses di parlemen lewat sebuah komite. Komite itu akan terdiri atas 25 anggota parlemen.
Tuntutan Anna sendiri antara lain menempatkan semua lembaga pemerintah di bawah pengawasan sebuah badan antikorupsi dan membentuk lembaga ombudsman yang independen di 29 negara bagian India.
"Parlemen rakyat lebih besar daripada parlemen Delhi," cetus Anna kepada ribuan pendukungnya yang berkumpul di Ramlila Maidan, New Delhi. "Ini momen yang membanggakan bagi negara kita saat gerakan massa dalam waktu 13 hari ini berakhir dengan damai dan tanpa kekerasan," ujar pria yang bobot tubuhnya turun hingga 7,5 kilogram itu.
Sejak melakukan aksi mogok makan pada 16 Agustus lalu, aktivis yang identik dengan gerakan Mahatma Gandhi itu berkeras tidak akan makan sampai ada persetujuan pembentukan RUU antikorupsi yang kuat. Namun, Anna justru ditahan aparat pemerintah. Penahanan Anna dan .1000 pendukungnya itu dengan cepat menumbuhkan simpati dan menimbulkan gelombang protes terhadap pemerintah.
Saat ini India berada di posisi ke-87 dalam daftar negara terkorup di dunia versi lembaga Transparency International. Sejumlah skandal yang melibatkan pemerintah menguatkan survei lembaga tersebut. Di antaranya adalah skandal suap terkait dengan izin telekomunikasi yang merugikan negara hingga mencapai US$39 miliar (sekitar Rp333 triliun). (*/Reuters/I-5)