Mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung, Ismail Saleh, meninggal dunia pada usia 82 tahun Selasa 21 Oktober 2008 pukul 22.30, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tokoh yang akrab dipanggil Mas Is, kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926, itu dirawat di rumah sakit itu sejak Juni 2008 karena menderita tumor otak.
Tria Sasangka Putra (Dudit), putera kandungnya mengatakan, penyakit tumor otak yang diderita Ismail Saleh sebenarnya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter pada tahun 2004. Namun, penyakit itu kembali kambuh pada Juni 2008.
Ismail Saleh meninggalkan istri, Elly Djoharia, dan tiga anak, yaitu Ekanti Sulistiowati, Dwirina Astuti Setianingsih, dan Tria Sasangka Putra. Ia meninggalkan tujuh cucu. Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jalan Musholla 1, Kemang Selatan, Jakarta.
Ismail Saleh dimakamkan di pemakaman keluarga di Kompleks Astana Girijati, Gunung Jati, Cirebon, dengan upacara kemiliteran. Inspektur upacara pemakaman adalah Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin dan komandan upacara Mayor (Inf) Dudung Sukaetji.
Pernah menjabat Wakil Sekretaris Kabinet, Pemimpin Lembaga Kantor Berita Nasional Antara merangkap sebagai Wakil Sekretaris Kabinet dan juga Presiden Organisasi Kantor Berita Asia, Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal merangkap Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, anggota MPR, Menteri Kehakiman, dan anggota Tim Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P7).
Atas berbagai pengabdiannya, Ismail Saleh menerima tanda jasa, antara lain Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adi Pradana, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jasa Pratama, Bintang Commandeur in de Kroon Orde dari Belgia, Bintang The Grand Cordon of The Order of The Sacred Treasure dari Kekaisaran Jepang, dan Bintang Raja Abdul Aziz tingkat III dari Arab Saudi.
***
Semasa menjabat Jaksa Agung (1981-1984), Ismail Saleh, yang akrab dipanggil Mas Is, pernah dijuluki ''Trio Punakawan/Pendekar Hukum'' bersama Ketua MA Mudjono, SH dan Menteri Kehakiman Ali Said, SH. Mantan Menteri Kehakiman (1984-1993), ini tergolong akrab dengan wartawan. Maklum, sebelumnya dia memang menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979), maka dia sangat paham bahwa dunia ini sepi tanpa wartawan (pers).
Setelah Pak Harto lengser, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926, ini tetap menunjukkan diri sebagai seorang mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Baru. Dia tidak bersembunyi atau malah ikut-ikutan menghujat mantan penguasa Orde baru itu, seperti dilakoni beberapa pejabat Orde Baru lainnya.
Bahkan Islamil Saleh tampil reaktif pada setiap pernyataan yang menghujat Pak Harto, dengan cara menulis di beberapa koran dan majalah. Salah satu tulisannya di Harian Kompas 14/6/2003, bertajuk: Penegakan Hukum atau Komoditas Politik?
Dalam artikel itu, Ismail Saleh mengutarakan dalam perkara HM Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia yang sudah berjalan lima tahun lamanya, ternyata bukan kebenaran obyektif yang ditegakkan, melainkan berubah menjadi pembenaran subyektif untuk membenarkan tindakan hukum yang diambil. Tindakan hukum yang mestinya ditopang dengan pertimbangan yang masuk akal terkesan menjadi tindakan yang akal-akalan saja. Kalau akal sudah mulai ditinggalkan, apalagi nuraninya.
Perkara HM Soeharto sempat dihentikan penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor Prin 081/JA/10/1999 tanggal 11 Oktober 1999. Alasan penghentian penyidikan adalah karena unsur "melawan hukum, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan", memang tidak terdapat cukup bukti dan tidak dapat dibuktikan. Penyidikan terhadap HM Soeharto adalah dalam kedudukannya sebagai ketua yayasan.
Namun, dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 6 Desember 1999, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan dan Surat Perintah Penyidikan lagi yang isinya antara lain sebagai berikut: "SP3 11 Oktober 1999 adalah semata-mata hanya penyidikan terhadap Yayasan (Dharmais, Supersemar, dan Dakab).
Ditemukan hal-hal baru untuk membuka kembali penyidikan karena HM Soeharto selaku Presiden yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan berupa PP dan Keppres, diduga telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan tersebut sebagai sarana untuk menghimpun dana bagi yayasan-yayasan yang diketuainya dan atau untuk kepentingan/keuntungan keluarga dan kroni-kroninya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara".
Jadi, di sini sudah berubah posisi hukum HM Soeharto, yaitu tidak lagi sebagai ketua yayasan, tetapi berganti selaku Presiden. Kalau sebagai ketua yayasan tidak terdapat cukup bukti, ya... dicari saja kesalahannya selaku Presiden. Ini akal- akalan. KITA ikuti saja mengenai posisi hukum HM Soeharto dalam kasus tersebut, apakah masuk akal atau tidak. Bertambah kusut atau tidak.
Ternyata rumusan hukumnya macam-macam, yaitu "selama menjabat Presiden" (Surat Perintah Penyidikan tanggal 28/3/2000, 5/5/2000, 23/5/2000, dan 6/6/2000), "sewaktu menjabat Presiden" (Surat Perintah Penahanan Kota 13/4/2000), tetapi dalam Surat Perintah Pengalihan Penahanan Kota menjadi Penahanan Rumah 29 Mei 2000 adalah "baik selaku Presiden maupun selaku Ketua Yayasan". Kok, bisa begitu?
Rumusan itu lebih tidak masuk akal lagi dalam Surat Perintah Penahanan di tingkat Penuntutan tanggal 3 Agustus 2000 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, yaitu "selaku Ketua Yayasan diduga telah melakukan tindak pidana korupsi/menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan antara lain mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden." Konstruksi hukum macam apa yang mau dipakai penuntut umum untuk menduga ketua yayasan, HM Soeharto, kok dikatakan telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan mengeluarkan PP dan keppres? Mana ada seorang ketua yayasan mempunyai kekuasaan mengeluarkan PP dan keppres?
Ini sudah kalut cara berpikirnya, tidak bisa membedakan antara HM Soeharto sebagai presiden dan ketua yayasan, apalagi main serampangan saja memosisikan HM Soeharto dengan rumusan "baik selaku Presiden maupun selaku ketua yayasan." Kalau sudah demikian keadaannya, itu bukan murni penegakan hukum lagi, tetapi sudah ada tendensi ke arah "politisasi hukum." Paradigmanya berubah dari paradigma hukum ke paradigma politik. Dimensi politiknya lebih kental ketimbang dimensi hukumnya. Mengapa demikian?
Dari awal saja sudah tampak warna politiknya dengan adanya TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang pemberantasan KKN terhadap siapa pun juga, termasuk mantan HM Soeharto. Bergulirlah tema KKN yang dipakai sebagai political issue untuk menghabisi Soeharto yang dianggap sebagai representasi Orde Baru.
Siapa Ismail Saleh
Dia yang mengaku secara pribadi tidak dekat dengan Pak Harto, itu mulai bertugas di Sekretariat Negara sebagai Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968). Kemudian menjabat Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi Pemerintahan (1972) dan Sekretaris Kabinet (1978).
Kemudian, dia dipercaya menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979). Setelah itu, sempat ditugaskan sebagai Pj. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981), sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung (1981-1984) dan Menteri Kehakiman (1984-1988.
Sebelumnya, dia mengawali karir sebagai anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta. Kemudian bertugas sebagai anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949) sebelum bekerja di Direktorat Kehakiman AD (1952). Setelah itu dia bertugas sebagai Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958) dan Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960). Kemudian menjabat Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur, Manado (1960-1962) dan Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962). Sebelum bertugas di Setneg, dia menjabat Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).
Namanya semakin populer saat menjabat Jaksa Agung. Pasalnya, dia sering mengadakan kunjungan mendadak ke kantor-kantor kejaksaan. Dia berprinsip, bila mengharapkan ketertiban masyarakat, maka instansi penegak hukum harus tertib lebih dulu. Kebiasaan sidak itu, dilanjutkannya saat menjabat Menteri Kehakiman.
Berbagai penyimpangan pernah dibongkarnya. Seperti, kasus manipulasi pajak oleh sejumlah perusahaan asing, kasus Tampomas, dan penggelapan uang reboasasi di Sulawesi Tengah.
Dia seorang pejabat yang sejak kecil sudah sangat mencintai alam dan hutan. Maklum, ayahnya, seorang kepala kehutanan di daerah Jawa Tengah, sering mengajaknya berkeliling melihat-lihat tanaman di hutan.
Selain itu, setelah lulus HIS, 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Dia sekelas dengan Kapolri Anton Soedjarwo. Walaupun kemudian dia melanjut ke SMA, tamat 1950. Setelah itu melanjut ke Akademi Hukum Militer, dan Perguruan Tinggi Hukum Militer.e-ti/crs, dari berbagai sumber, di antaranya pdat
Sumber : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)