Oleh Eko Prasojo
Penegak hukum, media, dan masyarakat Indonesia menyorot kembali banyaknya kasus korupsi yang diduga melibatkan sejumlah menteri.
Bahkan, Presiden menyatakan akan melakukan evaluasi dan koreksi terhadap para menterinya atas permasalahan tersebut. Ini sebenarnya bukan persoalan baru dalam kasus korupsi di Indonesia. Sejumlah menteri dalam kabinet sebelumnya ada yang masih berstatus tersangka dan ada pula yang jadi terpidana dalam kasus korupsi di kementeriannya.
Penyakit sistemis
Korupsi yang terkait dengan para menteri dapat diklasifikasikan sebagai korupsi dalam ranah politik atau korupsi politik. Sekalipun korupsi ini dilakukan para politisi, hal itu tidaklah dilakukan sendirian karena melibatkan juga persekongkolan dengan para pengusaha dan birokrasi. Tak semua politisi memiliki karakter korup, demikian pula tak semua pengusaha dan birokrat terlibat persekongkolan jahat korupsi politik. Namun, sistem politik dan pemerintahan yang ada saat ini sering kali memaksa atau bahkan menjerat politisi yang baik juga terlibat dalam kasus korupsi. Selain persoalan sistem, tentu saja hal ini juga disebabkan oleh karakter individual politisi bersangkutan.
Kasus korupsi yang sebagian terbukti dan sebagian diindikasikan melibatkan para menteri tidaklah boleh dilihat secara sederhana. Ini melibatkan sistem yang lebih besar, yaitu sistem politik, secara khusus yaitu sistem pembiayaan parpol dan koalisi multipartai dalam pemerintahan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan parpol untuk memenangi pemilu dan menempatkan kader parpol dalam pemerintahan multipartai menyebabkan tekanan parpol kepada kadernya yang duduk dalam pemerintahan untuk menghasilkan sumber penerimaan.
Ada dua persoalan sistem pembiayaan parpol yang mendorong terjadinya ini. Pertama, pembiayaan untuk parpol dari negara yang sangat terbatas sehingga parpol berlomba mendapatkan sumber penerimaan dari pengusaha ataupun dari birokrasi. Dalam kasus ini, seharusnya parpol yang mendapatkan kursi di DPR dan melewati parliamentary threshold mendapatkan dukungan pembiayaan yang mencukupi dari APBN karena mengemban fungsi-fungsi pembangunan politik.
Kedua, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pembiayaan parpol sehingga tak memungkinkan kontrol masyarakat atas dana yang berasal dari pihak ketiga. Faktor kedua ini mengakibatkan persekongkolan antara pemberi dana dan para politisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk balas budi yang sering kali menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.
Dalam praktik pemerintahan kita, persoalan pembiayaan parpol yang menjurus pada korupsi oleh menteri sangat mungkin terjadi karena lemahnya sistem birokrasi pemerintahan, mulai sistem perencanaan pembangunan, penetapan program, proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa publik, hingga perizinan. Dalam praktik pemerintahan kekinian, hadirnya pejabat politik di birokrasi pemerintahan (political appointee), seperti staf khusus, menambah potensi gangguan penyelenggaraan pemerintahan.
Ide dasar keberadaan staf khusus sebenarnya dibolehkan dalam rangka membantu menerjemahkan visi dan misi menteri dalam birokrasi. Akan tetapi, ide ini mengalami distorsi karena ternyata keberadaannya lebih banyak untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan politik menteri dalam birokrasi pemerintahan. Bukan hanya itu, demikian kuatnya peran staf khusus dalam kementerian bahkan sering kali juga mendominasi tugas dan fungsi pejabat birokrasi pemerintahan. Mekanisme dan prosedur formal tak jarang diabaikan atas nama kepentingan politik. Penulis tidak bermaksud mengatakan semua staf khusus melakukan hal ini, tetapi pada umumnya hal ini terjadi dalam praktik pemerintahan kekinian.
Penyebab lain maraknya korupsi yang terkait dengan sejumlah menteri adalah kewenangan diskresi yang sangat besar. Sampai saat ini, penggunaan kewenangan diskresi di Indonesia masih dilakukan secara bebas, sesuai terminologi yang dipergunakan, yaitu Freis Ermessen. Dalam konsep tata pemerintahan yang baik, penggunaan diskresi tak boleh dilakukan secara bebas karena ini justru akan menyebabkan praktik penyalahgunaan wewenang oleh pejabat politik ataupun pejabat birokrasi. Banyak kasus korupsi di Indonesia disebabkan terlalu luas dan bebasnya penggunaan diskresi oleh menteri. Untuk itu, perlu diatur soal diskresi yang bertanggung jawab dan memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain faktor sistem, kasus korupsi yang melibatkan atau diduga melibatkan menteri juga disebabkan karakter individu yang bersangkutan. Proses pendidikan politik dan ideologisasi kader parpol yang tak selesai atau tak matang menghasilkan kader yang mudah terjebak pada gemerlap jabatan dan kekuasaan. Lemahnya kontrol masyarakat, gaya hidup yang telanjur sangat tinggi, tuntutan tinggi kontribusi bagi parpol, dan budaya patronase dalam birokrasi turut membentuk karakter seorang menteri yang dapat terjebak dalam penyalahgunaan wewenang.
Tersandera birokrasi
Dalam kasus lain, korupsi yang melibatkan atau diduga melibatkan menteri juga dapat disebabkan buruknya kualitas birokrasi. Hubungan antara politisi dan birokrasi dalam kementerian bisa bersifat mutualisme, bisa pula parasitisme. Dalam hubungan mutualisme, hubungan antara politisi dan birokrasi bersifat saling menguntungkan. Seorang menteri membutuhkan pengalaman, keahlian, dan dukungan para birokratnya tidak saja untuk mengimplementasikan visi dan misi formal yang dia janjikan kepada presiden, tetapi juga dalam rangka mengamankan kepentingan-kepentingan lain yang dibebankan parpol kepada dirinya.
Dalam kasus ini, loyalitas birokrat sangat dibutuhkan oleh seorang menteri. Pada sisi lain, dalam hubungan simbiosis mutualisme, seorang birokrat membutuhkan dukungan menteri untuk mengamankan posisi jabatan yang dia duduki. Hubungan simbiosis mutualisme yang terjadi telah mendorong birokrasi berbasiskan loyalitas, bukan kinerja, mendorong penyalahgunaan wewenang dalam berbagai aktivitas pemerintahan. Tak heran, selain kasus korupsi tetap tinggi, simbiosis mutualisme juga jadi biang keladi kian buruknya kondisi birokrasi.
Dalam simbiosis parasitisme, korupsi dapat terjadi dan menimpa seorang menteri karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan mengenai seluk-beluk birokrasi. Menteri dapat terjebak dalam birokrasi karena terlalu percaya pada birokratnya. Kasus ini kebalikan dari simbiosis mutualisme. Kedua simbiosis punya efek sama, mendorong menteri terjerat kasus korupsi di kementeriannya. Karena itu, seorang menteri tidak saja harus punya moralitas baik, tetapi juga pengalaman dan pengetahuan memadai supaya terhindar dari penyalahgunaan wewenang akibat ketidaktahuannya.
Berbagai persoalan korupsi yang melibatkan menteri bukanlah hal baru. Bahkan, banyak kalangan yang sudah mengetahui persis persoalan dan solusinya. Negeri ini tak lagi membutuhkan wacana pemberantasan korupsi, tetapi komitmen kuat dari semua pihak untuk memberantas korupsi yang telah mendarah daging sebelum kepercayaan rakyat runtuh. Perbaikan sistem politik secara menyeluruh dan reformasi birokrasi akan menjadi salah satu pilar penting dalam pemberantasan korupsi. Semoga.
Eko Prasojo Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi dan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP UI