oleh : Maman S Mahayana
Adakah hubungannya koruptor dan komikus? Tentu saja, bisa ada, bisa juga tidak. Yang jelas, keduanya profesional. Koruptor, profesional menilep kekayaan yang bukan haknya, komikus juga profesional dalam bidang membuat cerita-cerita bergambar. Yang mempersamakan keduanya adalah kecerdasan. Maka, koruptor kelas kakap, dengan kecerdasannya, akan nyaman berkeliaran dan bebas dari jeratan hukum. Bagi komikus, kecerdasan itu perlu dikembangkan kreativitas. Dengan kecerdasan dan kreativitasnya, komik-komiknya akan tetap dikenang dan jadi bahan bacaan yang menyenangkan.
Kini, di beberapa daerah, di tengah belantara baliho, spanduk, poster para caleg, dan iklan-iklan komersial, menyempil satu dua spanduk atas nama pengadilan, kejaksaan, bahkan juga kepolisian, berisi hujatan pada koruptor. Ini fenomena baru. Kesan memusuhi korupsi yang ditampilkan lembaga-lembaga itu, seperti hendak menegaskan dukungannya pada gerakan masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Tentu saja dampaknya sangat positif. Selain sebagai bentuk dukungan langsung pada usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga terselip peringatan untuk tidak melakukan tindak kejahatan nista itu.
***
Membasmi korupsi sejak dini harus ada semacam gerakan teror pada koruptor. Penanganannya mesti dilakukan dengan cara-cara yang tidak konvensional. Bukankah korupsi dianggap sebagai penyakit bangsa yang perbuatannya termasuk tindak pidana kejahatan luar biasa yang dapat berdampak pada kebangkrutan sebuah pemerintahan? Oleh karena itu, sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), penanganan segala macam bentuk korupsi harus dilakukan juga secara luar biasa. “Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang pemberantasannya, juga harus dilakukan secara luar biasa,” begitulah rumusan konvensi PBB tentang kejahatan korupsi.
Komikus adalah profesi yang berkaitan dengan gambar-menggambar. Dan masyarakat menganggap, profesi itu tidak (: belum) memberi sumbangan berarti dalam pembangunan bangsa ini. Sesungguhnya peranan komikus itu penting artinya jika profesinya itu diberdayakan untuk kepentingan bangsa ini. Komikusdapat membangun citra dan menciptakan stigma. Jika pencitraan dan stigma itu sudah terbentuk, maka akan terbentuk pula tata nilai yang tumbuh dan mengakar dalam pola berpikir masyarakat. Dalam kaitan itu, komikus perlu dimanfaatkan untuk membuat sejumlah komik dengan tema-tema korupsi. Lalu apakah itu penting?
Ingat, pemberantasan korupsi sampai ke akarnya tidaklah cukup mengandalkan KPK. Apalagi jika hendak membangun generasi tanpa korupsi. Penanaman nilai-nilai yang memusuhi kejahatan ini, harus dimulai sejak dini. Pembangunan citra buruk para koruptor, mesti terus-menerus dilakukan hingga tercipta stigma, bahwa koruptor itu lebih jahat dari lintah darat, tikus comberan, kadal kurap, lebih buruk dari kutu busuk, anjing buduk, iblis pengisap darah rakyat, pengkhianat bangsa, atau apa saja yang mencitrakan koruptor identik dengan segala kebusukan—kebrengsekan.
Camkanlah, bahwa pencitraan dan stigmatisasi itu efektif menanamkan tata nilai. Ia tidak hanya akan menjadi perilaku, budi pekerti, atau norma etik, tetapi juga sikap budaya dan opini sosial. Lihat saja slogan-slogan yang lahir pada zaman perang kemerdekaan, seperti Merdeka atau Mati, Maju terus pantang mundur, Berjuang sampai titik darah penghabisan, tanpa sadar telah meresap menjadi sikap berbangsa, menumbuhkan semangat nasionalisme. Maka, ketika ada pertandingan apa pun yang lawannya pihak asing, pernyataan-pernyataan hiperbolis itu seketika akan muncul begitu saja. Bukankah sampai sekarang slogan itu masih efektif untuk mengobarkan semangat kebangsaan, meskipun tidak dalam kancah perang fisik.
***
Komikus sesungguhnya juga punya peran penting dalam membangun citra dan menciptakan stigma. Bagi para penggemar komik, boleh jadi masih belum lupa komik sederhana yang menampilkan tokoh Saleh dan Karma. Komik dengan gambar yang tidak begitu cantik dan dicetak dengan kertas murah itu, sampai kini masih dijual di pinggir-pinggir jalan atau di halaman sekolah dan dibaca para siswa yang baru bisa membaca. Ceritanya pun sederhana dengan tokoh hitam—putih: Si Saleh yang baik hati akhirnya mati dan hidup bahagia di surga. Sebaliknya, si Karma yang jahat, hidup sengsara di neraka dengan segala siksaannya yang mahadahsyat.
Aneh, cerita dan gambaran dalam komik sederhana itu, sampai kini masih melekat dalam ingatan. Maka, saya belum lupa gambaran tentang para penghuni neraka yang lidahnya dijepit tang, diguyur timah panas, atau dihajar godam besi. Apa artinya itu? Itulah nilai-nilai yang melekat dalam benak. Dan gambaran itu akan terus hidup bergentayangan dalam pikiran.
Bagaimana pula Ganesh Th menciptakan heroisme tokoh Badra Mandrawata, Si Buta dari Gua Hantu? Tokoh fiktif itu seolah-olah hidup dan menjadi ikon kependekaran. Maka, ketika saya melihat sebuah gua di lereng gunung yang terjal, saya membayangkan, mungkin di situlah si Badra melatih ilmu silatnya sampai ia harus membutakan mata. Bahkan, kisah Si Pitung yang berasal dari cerita rakyat yang juga fiktif itu, diyakini sebagai tokoh sejarah. Si Buta dan Si Pitung, telah menjadi mitos! Itulah keajaiban komik yang berhasil menempelkan gambar-gambar dalam ingatan dan tanpa sadar menanamkan tata nilai.
Ingat pula komik Mahabharata karya RA Kosasih. Kegagahan Gatotkaca, kegarangan Bima, keperkasaan Srikandi atau kecerdikan Durna, entah mengapa, tanpa sadar sering memberi inspirasi. Tentu saja masih banyak komik lain yang juga menyelusupkan nilai-nilai. Sebutlah, misalnya, Si Hamid Pahlawan Bandung Selatan, Pangeran Sulong, Si Godam, dan sederet komik lain, masih saja sulit dilenyapkan dalam pikiran. Itulah kekuatan komik. Ketika komik itu dibaca pada masa anak-anak, ia laksana mengeram-mendekam, dan terus menempelkan nilai-nilai yang ditawarkannya dalam benak ingatan kita.
Kiranya benar pandangan Sigmund Freud tentang pembentukan karakter pada masa anak-anak. Pada periode inilah, nilai-nilai sosial yang ditanamkan orang tua atau masyarakat, terbentuk dan mengeram menjadi sikap perilaku, harapan, bahkan juga kecemasan. Dalam perkara ini, Carl Gustav Jung, Sang murid, juga menyatakan hal senada bahwa perilaku pada masa kanak-kanak, akan terulang kembali dalam bentuknya yang lain, pada usia dewasa. Jadi, jika sudah sejak dini anak-anak Indonesia dijejali hal-hal positif atau negatif mengenai sesuatu, pada masa dewasa hal positif atau negatif itu akan menjadi tata nilai, perilaku, sikap hidup. Nah, dalam konteks itulah, komik yang dibaca anak-anak usia dini, akan melekatkan tata nilai positif—negatif dalam memori mereka. Ia akan dibawa terus sampai usia dewasa. Terlepas dari apakah hal positif—negatif itu kelak akan disetujui atau diberontakinya, ia sudah terlanjur menempel lekat dalam memori.
***
Sasaran pembaca komik umumnya anak-anak prasekolah yang baru bisa membaca sampai ke anak usia remaja. Pada masa inilah, tata nilai positif—negatif sedang dalam proses pembentukan dalam jiwa dan isi kepalanya. Maka, ketika pada masa pembentukan ini, si anak mengalami trauma psikologis yang mahadahsyat, seumur hidup trauma itu akan terus menempel dalam jiwa dan benak kepalanya. Sebutlah, misalnya, anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan. Sampai ajal menjemputnya, trauma itu akan terus mengganggu jiwanya. Trauma itu bagai hantu teror yang tidak kelihatan, yang sewaktu-waktu bisa datang mengancam pikirannya.
Komik, dalam hal tertentu, bisa juga berfungsi demikian. Lantaran di sana, pembaca disodori sebuah cerita, maka dari cerita itu pula semacam acuan tata nilai akan terbentuk dan menempel hingga dewasa. Oleh karena itu, jika komik-komik yang dibaca anak-anak itu menggambarkan citra dan stigma sedemikian nista pada para koruptor, maka sangat mungkin kebencian terhadap tindak korupsi akan menjadi sikap hidup. Kinilah saatnya KPK menghancurkan korupsi dengan cara-cara luar biasa dan langkah yang lebih kreatif! Tidak percaya?
Bolehlah dicoba!
(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)