Oleh Dra. Zikri Neni Iska,M.Psi
Di bawah pohon Akasia di pinggir jalan seorang tukang cukur berdialog dengan pelanggannya. "Pak, dicukur model apa?" tanya tukang cukur.
"Model apa saja, yang penting trendy, model mutakhir." jawab pemuda itu santai.
"Bapak bolos, ya ?"
"Ah ngak, tadi saya sudah ke kantor dan kemudian minta izin cukur rambut ."
"Diperbolehkan ?!"
"Iya dong, habis nggak ada kerjaan, mumpung lagi sepi !"
"Itu namanya Bapak korupsi waktu. Negara rugikan ?!"
"Sudah biasa kok! Ada yang nge-objek di waktu jam kantor. Biasa, untuk taDrambahan biaya dapur!. Habis..., di bagian yang lain malah korupsi uang, korupsi proyek pengadaan dan macam-macam, saya nggak dibagi."
"Apakah mereka itu tidak malu dan takut?"
"Nah...., rasa malu itu yang nggak ada. Rasa takut sih ada, tapi semua orang melakukan masak kita ngak. Rugi dong !! Nanti kita dibenci dan dituduh sok alim, munafik dan kampungan !! Dasar tikus kantor !!"
Dari dialog diatas dapat kita petik perilaku individu yang melakukan tindakan korupsi mulai dari yang kecil sampai ke tingkat yang lebih besar. Korupsi merupakan penyakit mental manusia untuk memperkaya diri dengan jalan yang tidak wajar. Penyakit ini sebagai tindak kejahatan tradisional yang sudah ada semenjak zaman dahulu kala sebelum masehi. Di Indonesia korupsi sudah merupakan budaya yang melekat bagi individu yang dekat dengan kekuasaan, terutama yang berhubungan langsung dengan keuangan dan berbagai proyek. Ada pameo yang mengatakan: "Orang yang bersih di lingkungan korupsi, dikatakan orang aneh yang akan disiapkan menjadi tumbal korupsi untuk disingkirkan secara halus maupun kasar".
Korupsi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok dengan berlindung dibawah suatu aturan yang ada celah-celah kelemahan. Bahkan saat ini korupsi secara berjamaah sudah merupakan trendy seperti model rambut dengan harapan sulit untuk mengungkapkannya. Korupsi sebagai penyakit masyarakat sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup negara. Sendi-sendi pembangunan akan digerogoti oleh tikus-tikus individu yang memikirkan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Tikus-tikus korupsi ini harus dibasmi dengan supremasi hukum yang bersih. Sangat ironis membersihkan sampah dengan sapu yang kotor, tentu korupsinya akan semakin legal. Kita dapat mengutip ucapan dari sesorang di kolom pojok surat kabar yang mengatakan bahwa, " kalau ingin memberantas korupsi belajarlah ke negera Cina dan kalau ingin koruptor bebas dari jeratan hukum, belajarlah ke Indonesia"
Pernyataan ini cukup beralasan yang terjadi di Indonesia. Di lembaga Pemerintah dan non Pemerintah, semua orang melakukan tindakan korupsi dengan alasan "budaya mumpung". Dimana ada kesempatan disitu ada korupsi. Korupsi sudah merupakan lingkaran setan yang terjadi disekitar kita. Lingkaran tersebut kita coba untuk meng-urutnya dari aspek kecil mulai awal lahirnya manusia sampai ia meninggal.
Disebuah rumah sakit bersalin tampak seorang Bapak muda di kasir.
"Mahal amat ?"
"Ah ngak, standar kok."
"Ya deh, tolong kwitansinya dijadikan dua kali lipat dari tagihan. Biasa, kantor yang bayar."
"Baik, tapi jangan lupa komisinya ya pak?"
"Beres."
Baru lahir saja anak itu sudah mencicipi uang korupsi. Artinya dengan kelahirannya Bapaknya sudah untung. Begitu pula kalau dia sakit, Bapaknya akan melakukan mark up pembelian obat. Tatkala anak tersebut masuk bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMU sampai perguruan tinggi. Banyak tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh orangtuanya baik langsung maupun tak langsung.
Misalnya uang masuk sekolah, beli buku yang dilakukan di sekolah, terjadi kolusi dengan guru. Sang Bapak akan mengatakan, " Yah, kebetulan dapat proyek, ya impaslah." Artinya uang korupsi dibayar kepada tindakan korupsi atau menyogok.
Setelah anak tamat sekolah, mereka memasuki lapangan kerja. Ia dapat diterima bekerja karena menyogok dari uang korupsi Bapaknya. Setelah anak bekerja, maka terpikir oleh anak bahwa Bapaknya telah mengeluarkan uang puluhan juta. Ia harus mengembalikannya secepat mungkin. Kesempatan korupsi kecil-kecilan dilakukan sesuai dengan jabatannya yang masih rendah. Untuk kenaikan pangkat dan menduduki jabatan, ia melakukan penyuapan yang cukup besar dari hasil uang korupsi yang dikumpulkannya. Adakalanya untuk meraih tersebut memakai trik "politikus", artinya "poli"adalah banyak tikus yang menggrogoti kursi kekuasaan agar ambruk dan ia naik diatasnya. Untuk memperbodoh dan membuat orang patuh, ia memakai rekayasa "politik", artinya banyak itik yang digiring seperti itik sawah berjalan teertib dan antri. Trik politikus dan rekayasa politik mengantarkan sang koruptor memperoleh jabatan yang lebih tinggi dan basah.
Jabatan yang tinggi akan menghasilkan peluang cukup luas dan besar untuk melakukan korupsi sehingga korupsi menjadi virus bagi individu yang makin lama makin besar berjangkit di dalam tubuhnya. Virus korupsi ini akan selalu bersarang ditubuhnya sampai mati. Apabila dia ketahuan maka ia akan berusaha menyuap penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa dan hakim agar ia bebas atau ringan. Apabila ia masuk penjara, ia juga akan melakukan penyuapan kepada sipir penjara agar ia diperlakukan istimewa. Apabila tindakan korupsinya tidak pernah dilakukan sampai ia pensiun, maka hari tuanya akan cukup tenang.
Indikasi sosial yang terjadi, koruptor masa tuanya dihinggapi oleh penyakit yang aneh-aneh sampai kepada penyakit yang nyata seperti : kanker, jantung, diabetes dsb. Tidak jarang hasil uang korupsi itu habis untuk mengobati penyakitnya sampai ia meninggal. Akhir hayatnya ia dikuburkan di tempat pemakaman yang VIP. Untuk memperoleh pemakaman yang sangat baik itu pihak keluarga melakukan penyuapan kepada petugas pemakaman. Virus korupsi ini menyebar kepada manusia yang lain, karena begitu gampang memperoleh uang dan gampang pula mengeluarkannya tanpa pikir panjang akibat sampingan.
Kisah perjalanan koruptor, akan melahirkan tetesan darah anak yang mengandung korupsi. Secara tidak langsung anak yang lahir tanpa dosa diberi makan dengan hasil uang korupsi. Mata rantai ini harus diputus melalui kesehatan mental dari sang anak agar tidak meneruskan kebiasaan korupsi orang tuanya dengan pendekatan Iman dan Taqwa. Tindakan korupsi sangat mudah dilakukan dan sangat sulit untuk terungkap. Ukuran tindakan korupsi ada pada hati kecil manusia. Apakah uang yang saya peroleh ini wajar sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya? Jawabannya ada pada hati sanubari manusia yang paling dalam. Jika tidak, dengan tegas bersikap untuk tidak memakan dan mengembalikannya.
Kemajuan teknologi yang canggih akan semakin sulit mengungkapkan tindakan korupsi. Berdasarkan perkiraan, hanya 5 % tindakan korupsi yang dilakukan dapat dibuktikan. Lebih 95 persen tidak pernah terungkap dan hanya hati nurani manusia korupsi itu yang dapat menjawabnya. Sangat sulit kita menemukan manusia yang mau berdialog dengan hati nuraninya tentang kebersihan uang yang ia makan. Manusia cenderung untuk ingkar dengan suara hatinya dan lebih terpengaruh oleh suara-suara dari luar dirinya. Timbul pertanyaan, kenapa manusia melakukan korupsi ?
Korupsi dilakukan manusia disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (dalam diri) dan faktor eksternal (diluar diri). Faktor internal merupakan dorongan dari dalam yang maha hebat antara lain: pola hidup ingin senang tanpa perjuangan yang keras, nilai agama yang minim, keinginan untuk merealisasikan kepentingan harta, tahta dan kepuasan seksual kepada lawan jenis. Faktor eksternal adalah pengaruh pola hidup konsumtif masyarakat yang berjangkit kepada gaya trendy yang penuh dengan gengsi.
Faktor lain adalah peraturan dan pengawasan yang lemah. Tikus-tikus kecil akan lahir secara alamiah. Kemudian tikus besar membuka sistem perkaderan melalui "sekolah korupsi." Kondisi ini menciptakan dilingkungani budaya korupsi sebagai etika mekanisme kerja.
Untuk mengatasi korupsi tersebut dimulai dari individu yang mempunyai mental yang sehat dengan melatih suara hatinya atas hak dan kewajiban. Individu-individu sebagai pelaku korupsi atau sebagai pemberantas korupsi harus bermental sehat. Keduanya harus sejalan agar korupsi dapat diberantas seperti yang ada di negara Cina. Sewaktu kepala negaranya dilantik, maka ucapannya adalah akan menghukum mati koruptor dengan menyiapkan peti mati. Kepala negara itu konsisten dengan ucapannya. Banyak pejabat yang dihukum tembak. Bahkan peluru untuk mengeksekusi koruptor harus dibayar oleh keluarga koruptor, karena peluru tersebut adalah uang rakyat. Terapi yang dikeluarkan kepala negara tersebut sangat ampuh menghentikan korupsi di Cina.
Gebrakan Presiden kita dan Jaksa Agung akhir-akhir ini tentang pemberantasan korupsi cukup memukul nyali para koruptor. Walaupun Jaksa Agung kita pernah dikatakan oleh salah seorang anggota DPR sebagai "ustad disarang maling", kita tetap masih banyak berharap agar kejaksaan, polisi, hakim dan pengacara. sungguh-sungguh memberantas korupsi. Kita memang butuh uang sebagai kelangsungan hidup. Namun kita punya hati nurani. Tentu kita tidak ingin "maju tak gentar membela yang bayar." Individu-individu sebagai penegak hukum merupakan pribadi yang punya hati nurani tentang nilai kebenaran. Ukuran benar dan salah tersebut terletak pada hati nurani individu penegak hukum apakah ia memakai sapu bersih atau sapu kotor dengan memainkan pasal demi pasal peraturan yang berlaku. Penegak hukum harus mempunyai peralatan yang lebih canggih dari pada koruptor agar dapat menangkap tikus korupsi. "Kejarlah daku, kau kutangkap, dan kujerat kau keperangkap tikus, hanya aku yang dapat membukanya".
Pendekatan individu pelaku korupsi dan pendekatan individu penegak hukum, harus mempunyai kesehatan mental dengan memelihara hati nurani yang suci ditunjukan pada perbuatan positif. Korupsi tetap berlangsung ada ditangan kedua pelaku ini. Sehebat manapun peraturan dan secanggih apapun alat kontrol, tapi kedua pihak ini melakukan kolusi dalam korupsi, maka korupsi akan tetap abadi. Perilaku korupsi sudah tradisi dalam lingkungan kerja.
Perilaku koruptif ini ibarat lingkaran setan yang sulit untuk dituntaskan sehingga sangat dituntut kekuatan diri melalui kekuatan mental mempertahankan diri selalu bersih dari suap menyuap, sogok menyogok, jauh dari mark up keuangan dan keteguhan iman. Mental yang kuat dengan tingkat konsistensi yang tinggi, bertahan untuk teguh dalam prinsip kebenaran dan mengambil haq orang lain sehingga kita memiliki jiwa yang humanis dimana jika kita merasa dizalimi oleh orang lain, maka tentu kita tidak akan mau menzalimi orang lain. Mental yang kuat dan tidak mudah/tidak gampang terpengaruh oleh orang lain atau lingkungan, tidak mudah terbawa arus yang menjerumuskan. Mari kita tanamkan rasa malu untuk melakukan korupsi agar kita tidak dipermalukan oleh urat kemaluan tikus yang tidak pernah malu menggrogoti lumbung padi.
Kekuatan Iman sangat membantu kita dari berperilaku koruptif dengan meyakini bahwa setiap gerak-gerik, tindak-tanduk yang kita lakukan ada yang selalu memantau, memperhatikan bahkan mencatat segala yang kita lakukan yakni malaikat Raqib dan 'Atib. Agama Islam dengan keyakinan dan keimanan kita bahwa menuntun untuk hidup qona'ah dalam arti hidup dalam batas kemampuan diri yang hakiki dan tidak melebihi dari kebutuhan uatama/pokok (primer), kebutuhan sekunder serta tidak berfoya-foya.
Mari kita merenung dan berpikir sejenak akan keadaan diri yang ada saat ini dengan menyadari akan hakekat diri untuk kehidupan ini sehingga kita berpikir dan memiliki sikap serta ketetapan hati setiap derap langkah yang dilakukan dengan selalu mempertimbangkan kata hati untuk hidup berkah dan mendapat ridho dari Alloh SWT. Semoga qolbu/hati kita ini mampu diasah dan disinari/diterangi dengan kebenaran melalui suatu harapan menjadi manusia yang memiliki mental yang sehat dan mampu memaknai hidup ini lebih benar dan penuh hakiki. SEMOGA.
*Penulis Direktur Lembaga Ketenangan Hati Jakarta