Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos., M.Si.*)
Mukadimah
“Cap sebagai negara terkorup belum juga menjauh dari Indonesia. Padahal perang total terhadap korupsi di negeri ini terus saja dikumandangkan. Toh korupsi tetap saja menggurita. Persepsi tentang negara terkorup pun tidak kunjung terkikis dari benak para pelaku bisnis internasional. Hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) awal pekan ini menegaskan hal itu hal itu. PERC menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se-Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih buruk dibandingkan Thailand (7,63). Negara yang paling bersih dari korupsi adalah Singapura dengan skor 1,07. Fakta itu jelas bakal menambah suram wajah investasi di negeri ini. Suram karena survei sebelumnya yang dilakukan Bank Dunia dan International Financial Corporation (IFC) menunjukkan posisi Indonesia dalam hal kemudahan berinvestasi tergolong paling rendah di Asia Tenggara” (Editorial Harian Media Indonesia, 12 Maret 2010).
Petikan deskripsi wajah korupsi di Indonesia di atas penulis sarikan dari Tajuk Rencana atau Editorial Harian Media Indonesia, 12 Maret 2010 No.10617 Tahun XLI. Sekilas, benang merah yang dapat dikonklusikan dari fakta data dan sikap opini Media Indonesia di atas adalah korupsi di Indonesia masih tergolong parah. Bagaimana tidak, sebagai negara besar berdaulat kita kalah prestasi positif (indeks korupsi dan investasi ekonomi) dengan negara sekecil Singapura. Sementara di satu sisi, gaung pemberantasan korupsi termasuk melalui media massa tak kalah gencarnya namun predikat Indonesia sebagai negara sarat korupsi belum beranjak juga menuju titik nadir. Jadi apanya yang salah ?
Sejak reformasi bergulir di Indonesia tahun 1998, kran demokratisasi di segala lini terbuka lebar. Tak terkecuali nafas kehidupan media massa mendapatkan angin segar setelah mengalami pergumulan panjang pada era sebelumnya. Media massa melalui tenda besar jurnalisme mendapatkan momentumnya untuk mengeksplorasi dirinya termasuk menjadi salah satu penyambung lidah rakyat dalam memperjuangkan tegaknya kebenaran. Melalui ketajaman penanya, media massa diharapkan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai praksis sosial termasuk upaya pemberantasan korupsi. Sebagai pilar kelima demokrasi kontemporer, media massa diharapkan terus dan makin bertaring dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini.
Kebenaran sebagai Kewajiban Jurnalisme
Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Demikian tegas Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam bukunya yang terkenal “Sembilan Elemen Jurnalisme” (New York, 2001). Kebenaran di sini tidak sekadar tidak berat sebelah (fairness), keseimbangan (balance), akurasi (accurate) dan verifikasi (verification) dalam pemberitaan atas fakta informasi di lapangan. Kebenaran juga mencakup komitmen terhadap warga (citizen). Derajatnya lebih tinggi dari sekadar egoisme profesionalitas. Tersirat di dalamnya perjanjian dengan publik. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada publik secara independensi. Bebas dari semua kewajiban kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik adalah vital (Freedom from all obligations except of fidelity to the public interest is vital).
Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, tentu hal ini masuk rating tinggi bahkan tertinggi sebagai kewajiban jurnalisme. Bukan sekadar korupsi diharamkan dari sudut pandang regulasi agama dan negara, korupsi dengan koroninya, kolusi dan nepotisme (KKN) telah menjadi musuh bersama kemanusiaan. Telah jelas akibat dari penyakit sosial ini yang merugikan bangunan sebagai umat Tuhan secara meluas. Dari perspektif religi, makna kewajiban di sini apabila ditinggalkan adalah berdosa karena bisa dan semakin menimbulkan kemadharatan luar biasa bagi masyarakat.
Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi jurnalis, melainkan juga jajaran elit media khususnya pemilik (owner). Korporasi media jangan menjadi benalu bagi pelaksanaan kewajiban ini hanya karena mengejar kepentingannya (interest) terutama terkait aspek bisnis dengan mengabaikan kewajiban moral pada publik. Para praktisi jurnalisme terutama jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka. Jurnalis punya tanggung jawab pada nuraninya. Setiap jurnalis – dari redaksi hingga dewan redaksi – harus punya rasa etika dan tanggung jawab personal sebagai sebuah panduan moral. Itulah pentingnya keterbukaan redaksi.
Dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi, kewajiban jurnalisme inilah yang oleh Lasswell dan Wright (dalam McQuail, 1987) disebut fungsi pengawasan sosial (surveillance), yakni upaya distribusi informasi dan interpretasi obyektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam konteks pemberantasan korupsi, media berkewajiban melakukan pemantauan sosial agar tindak korupsi dapat dicegah jika belum terjadi atau dibongkar jika telah/sedang terjadi.
Pemantauan sosial ini dilakukan melalui ketepatan dalam implementasi agenda setting dan agenda framing media. Agenda setting adalah pengagendaan isu tertentu oleh media dari sekian isu yang beredar di publik. Agenda framing adalah pemberian bobot tertentu atas agenda isu yang diangkat media sehingga memberikan warna kuat atas agenda isu-isu terkait. Agenda setting dan agenda framing dapat dilakukan melalui pewarnaan pada dua kelompok utama produk jurnalistik yaitu kelompok berita (news group) dan kelompok opini (opinion group).
Kelompok berita dapat dimanifestasikan melalui ragam penulisan berita yaitu berita langsung (straight news), berita ringan (soft news), berita kisah (feature news) dan berita laporan (report news). Berita laporan terdiri atas dua jenis yaitu berita mendalam (indepth news) dan berita investigasi (investigation news). Sementara kelompok opini dapat divisualisasikan dalam beberapa jenisnya seperti editorial/tajuk rencana, pojok, kolom, gagasan, surat pembaca, esai, karikatural dan resensi. Dua kelompok produk jurnalistik dapat dioptimalkan insan media dalam ikut serta berpartisipasi dalam agenda bersama ‘ganyang korupsi’ karena pengaruh pada pembentukan opini publik.
Jurnalisme Investigatif
Diantara metode yang dinilai efektif untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi termasuk di Indonesia adalah jurnalisme investigatif. Sejak tahun 2000-an istilah jurnalisme investigasi sebenarnya mulai populer di Indonesia. Banyak media atau wartawan menyatakan diri melakukan investigasi. Namun, istilah tersebut telah banyak digunakan secara salah kaprah untuk hal-hal yang sifatnya privat dan mestinya tidak perlu masuk ke ruang publik. Tayangan infotainment di televisi sebagai salah satu contoh penempatan istilah jurnalisme investigasi yang tidak tepat yang hanya cenderung mengendus kehidupan para selebriti dimana tidak memberikan dampak bagi perbaikan kehidupan publik.
Akibat dari salah kaprah tersebut, istilah investigasi dalam dunia jurnalisme mengalami degradasi nilai. Padahal, pada tahun 1970-an istilah tersebut memiliki makna yang sangat terhormat. Saat itu, dua wartawan muda Washington Post, Bob Woodward & Carl Bernstein, berkat laporan investigasinya berhasil mengungkap skandal Watergate yang berakhir dengan mundurnya presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Richard Nixon. Jurnalisme investigasi tidak sekadar melakukan peliputan dan membuat berita, namun lebih dari itu juga melakukan analisis mendalam, membuat terobosan fakta progresif secara profesional atas kasus tertentu demi katarsis (pencerahan) publik.
Jurnalisme investigasi adalah metode dan produk tertinggi dari karya praksis jurnalisme sebagai tanggung jawab moral demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Jurnalisme investigasi bukan hanya menyampaikan dugaan adanya persoalan pelanggaran, namun juga tindakan memproduksi pembuktian konklusif dan melaporkan secara jelas dan simpel. Meminjam istilah Melvin Mencer dalam New Reporting and Writing (1997), ini adalah jenis pekerjaan berbahaya (dangerous project). Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai dan dilaporkan kepada masyarakat. Keberhati-hatian sangat diperlukan untuk keselamatan jiwa.
Jurnalisme investigatif bukan jurnalisme omong-omong (talking news) sebagaimana yang terjadi pada sebagian media massa di Indonesia. News paper kemudian berubah rupa menjadi view paper, karena lebih banyak menyajikan persepsi, ketimbang memetakan realitas sosial. Seterusnya, fakta yang diberitakan adalah fakta yang telah terkonstruksikan, dan bukan fakta suci sebagaimana sudah terjadi (Kleden, 2008). Akibatnya, pemberantasan korupsi di Indonesia belum bisa berjalan sesuai harapan bersama. Memang pemberantasan korupsi adalah kerja bersama terutama oleh aparat penegak hukum, namun kita harus berharap kepada siapa kalau tidak kepada pers ketika hasil pemberantasan korupsi oleh negara masih jauh dari panggang. Media sebagai institusi publik terpenting yang paling maju di Indonesia – sekurang-kurangnya menurut peneliti Anneli Strom Leijel dalam The New Press Law in Indonesia (2002) – keterlaluan sekali kalau tak mengambil bagian di garis depan dalam perang total pemberantasan korupsi ini.
Tujuan jurnalisme investigatif adalah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari berbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen signifikan dan pemahaman terhadap data-data statistik (Santana K, 2003 : 100). Motivasi moral adalah pendorongnya, the desire to correct an injustice, to right a wrong, and to persuade the public to change the situation by to describe, to explain and to persuade.
Praksis jurnalisme investigatif sangat cocok diterapkan di Indonesia termasuk dalam upaya pemberantasan korupsi. Laporan-laporan tentang dugaan korupsi tidak hanya dipublikasikan kepada publik namun ditelusuri lebih mendalam berdasar fakta-fakta akurat yang digali di lapangan. Penggalian fakta informasi dapat melalui dua sumber utama yaitu menginvestigasi dokumen-dokumen publik (the paper trails) dan invetsigasi terhadap subyek-subyek individu yang terkait dengan permasalahan (people trails). Karena termasuk kerja intelektual, jurnalisme investigasi memerlukan tim jurnalis tangguh, tajam analisis, pantang menyerah, konsisten dan tidak tergesa-gesa untuk memperoleh kebenaran demi publik atas kabut asap kasus yang sedang diinvestigasi.
Selain itu, dibutuhkan konsistensi penegakan aturan jaminan perlindungan dari negara atas kerja para pelaku jurnalisme investigatif. Tanpa ada payung hukum yang jelas dan tegas, kerja-kerja jurnalisme investigatif bisa kandas di tengah jalan karena akan selalu berhadapan dengan pihak-pihak yang berlawanan kepentingan. Akhirnya upaya penegakan hukum hanya ibarat anjing menggonggong di siang hari. Selain itu, tidak ada salahnya perlunya penghargaan (reward) kepada para pekerja jurnalisme investigatif atas kerja keras mereka. Di tingkat internasional, banyak lembaga seperti The Kurt Schork Awards in International Journalism, Euromed Heritage Journalistic Award, IWMF Courage in Journalism Awards, serta puluhan lembaga sejenis lainnya, yang secara reguler setiap tahun menyediakan dana untuk memberikan penghargaan bagi para wartawan yang menjalankan profesinya dengan penuh dedikasi dan integritas. Hanya saja, tradisi semacam itu belum melembaga di Indonesia. Yang ada selama ini baru berupa sayembara tertentu bagi para wartawan untuk menulis tema-tema tertentu (yang biasanya disesuaikan dengan kepentingan sponsor pemberi hadiah).
Media Literacy
Upaya secara makro yang bisa disumbangkan jurnalisme kepada publik adalah menjadi bagian pencerdasan masyarakat atau lazim diistilahkan media literacy (pendidikan cerdas media). Media literacy adalah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya. Media literacy penting karena faktanya tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Publik dicoba digiring agar bisa melakukan selektivitas atas isi media yang diaksesnya yang berguna bagi dirinya maupun orang lain secara luas. Maka di sini sangat pentingnya politik agenda setting dan agenda framing media untuk melakukan penggiringan opini ini melalui contents campaign of corruption eradication (isi media tentang kampanye pemberantasan korupsi).
Art Silverblatt dalam Media Literacy : Keys to Interpreting Media Message (dalam Ibrahim dan Romli, 2007) mengidentifikasi paling tidak terdapat lima (5) unsur fundamental dalam media literacy, yaitu :
1. Kesadaran terhadap dampak media.
2. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.
3. Strategi menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media.
4. Pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya masyarakat.
5. Kesanggupan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media.
Media literacy tidak hanya diimprovisasi melalui laporan-laporan pemberitaan hasil fungsi pengawasan (surveillance) media, namun juga melalui fungsi korelasi (correlation) dan fungsi sosialisasi (sosialization). Fungsi korelasi pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lain atau satu kelompok ke kelompok lainnya (transmission of the social heritage) (McQuail dalam Sendjaja, 2007).
Dalam kasus pemberantasan korupsi, fungsi korelasi dapat dimaknai media sebagai piranti jurnalisme menjadi jembatan penghubung antarkomponen masyarakat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara massif dan sinergis. Melalui kekuatan penanya, media bisa mengarahkan terwujudnya konsensus nasional secara praksis di semua lini kehidupan masyarakat.
Sementara fungsi sosiaslisasi dapat dimaknai media menyampaikan informasi, nilai dan norma antargenerasi yang dalam konteks ini adalah budaya antikorupsi. Fungsi ini lebih menekankan pendekatan budaya (cultural approach). Dalam konteks pemberantasan korupsi, fungsi ini perlu didorong lebih intensif dan massif karena melibatkan masyarakat secara makro. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan struktural (structural approach) namun juga dengan pendekatan kultural. Jika di masyarakat sudah tertanam jiwa-jiwa antikorupsi (termasuk kolusi dan nepotisme), maka dengan sendirinya fakta korupsi di negeri ini akan sirna meredup.
Media hendaknya menjadi forum publik bagi masyarakat dalam menyambung aspirasinya. Media harus bekerja sama dengan berbagai pihak yang peduli terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi baik struktural maupu suprastruktural; baik struktural maupun kultural. Dengan demikian media menjalankan kewajiban moralnya bahwa loyalitasnya adalah kepada masyarakat. Hal ini selaras dengan sistem tanggung jawab sosial (social responbility system) yang dianut pers di Indonesia. Bahwa media harus mengemban tugas dan tanggung jawab sosial dan bila tidak suatu pihak harus memaksanya (Severin dan Tankard, 2005). Ini dapat dimaknai keterlibatan kalangan media dalam pemberantasan korupsi sudah merupakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Penutup
Jurnalisme adalah praksis (teori dan praktik) tentang media massa. Jurnalisme semakin mengukuhkan jati dirinya sebagai salah satu pendulum demokrasi kontemporer. Media massa sebagai piranti jurnalisme menempati posisi sangat strategis di masyarakat. Bukan hanya sebagai anjing penjaga (watchdog) atau pengawas sosial, namun juga sebagai media korelasi dan sosialisasi sosial. Media juga dianggap memiliki pengaruh kuat sampai batas tertentu terhadap pembentukan opini publik. Dengan kekuatan modal, ketajaman pena, profesionalitas personel dan jaringan luas, maka tak heran jika media massa diharapkan sebagai salah satu motor penggerak pemberantasan korupsi di Indonesia.
Keterlibatan media dalam upaya pemberantasan korupsi bukan sekadar tuntutan profesionalitas kerja. Lebih dari itu adalah suatu kewajiban moral kepada masyarakat. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Bahkan keterlibatan jurnalisme pada pemberantasan korupsi adalah wujud penghambaan kepada Tuhan karena didalamnya ada ikhtiar menegakkan kebenaran dan menggulung kebatilan. Pendek kata, merupakan dosa apabila jurnalisme dengan segala penggeraknya berdiam diri atas penyakit kronis ini.
DAFTAR PUSTAKA
· Santana K, Septiawan. 2004. Jurnalisme Investigasi. Cetakan Kedua. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
· Tankard, James W, dan Severin, Werner J. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Edisi Kelima. Jakarta : Prenada Media.
· Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme : Apa yang Seharusnya diketahui Wartawan dan diharapkan Publik. Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan Pantau bekerja sama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.
· Ibrahim, Idi dan Romli, Asep SM. 2007. Amerika, Terorisme dan Islamophobia : Fakta dan Imajinasi Jaringan Kaum Radikal. Bandung : Penerbit Nuansa.
· Silverblatt, A. 1995. Media Literacy : Keys to Interpreting Media Messages. Wesport dan London : Praeger.
· Sendjaja, Sasa. D. (2003). Prinsip Dasar Penyajian Informasi Media Massa. Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
*) Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos., M.Si. – Staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi di Semarang, Salatiga, Boyolali dan Solo. Mantan jurnalis SOLOPOS (2004-2008) dan Warta Universitas Semarang (USM) (2009). Mahasiswa Teladan UNS 2003, alumnus Pelayaran Kebangsaan (PK) III (2003), trainer jurnalistik dan penulis opini di media massa. Alumnus S1 dan S2 Ilmu Komunikasi UNS Solo berpredikat Cumlaude. Hp.081548649454. alamat email dan facebook : r_windya@yahoo.com.