Indonesia, sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat dari laporan indeks persepsi korupsi (IPK) pada tahun 2008 yang dirilis oleh Transparency International (TI), dimana Indonesia memeiliki IPK , 2,0 pada tahun 1998; IPK 2,3 pada tahun 2007, kemudian kemudian 2,6 pada tahun 2008.
Rentang waktun 10 Tahun sejak 1998, ketika refomasi digulirkan, sampai tahun 2008, secara kuantitatif IPK yang diraih Indoneisa masih sangat minim ( IPK 0,6). Akan tetapi bila dilihat dari bentuk tindakan pemberantasan korupsi, sebenarnya sudah cukup banyak yang telah dilakukan, terlebih sejak KPK dikomandani Bapak Antasari Azhar, dimana sejumlah pejabat tingkat pusat dan daerah telah diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi. Bahkan pemeberantasan korupsi saat ini telah menjangkau pusat lingkaran kekuasaan, seperti DPR, BI, Kejasaan, kepolisian, TNI,Mahkamah Agung, dll. Hal tersebut tidak pernah terjadi pada tahun- tahuan sebelumnya yang cenderung hanya menangani korupsi tingkat daerah atau dalam jumlah yang tidak signifikan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi yang selama ini mengabdi di lingkungan Perguruan Tinggi, sebagai peneliti, dosen, pustakawan, laboran, pengamat, konsultan, bahkan pejabat structural (Rektor, Wakil Rektor, Direktur, Wakil Direktur, dll.) Pengurus yayasan/Badan Penyelenggaara, Wali Amanah, sudah selayaknya menjadi pusat budaya yang mampu menularkan virus-virus anti korupsi korupsi.
Sebagai salah satu komponen masyakat terdidik, tentu saja kami memiliki kepedulian terhadap berbagai fenomena korupsi di Indonesia, dengan kompetensi, kapasitas, dan kapabiltas yang kami miliki, kami berkeyakinan, bahwa kami dapat mebantu upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia yang selama ini telah, sedang dan akan terus dilakukan oleh KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan LSM lainnya. Sebagai insan akademis, kami terus mengamati, dan melakukan kajian-kajian terhadap fenomena korupsi dan bebagai upaya pemberantasan dan pencegahannya, dan hasilnya kami berpendapat bahwa sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik; fenomena social, fenomena budaya; fenomena ekonomi; dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula menurut hemat kami, upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, social dan budaya. Selama ini yang telah dan sedang dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai fenomena Negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai social anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah.
Korupsi sebagai fenomena Negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa. PP Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960, misalnya mengartikan korupsi sebagai
"tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat", dst. Kemudian
Robert Klitgaard dalam bukunya
Controlling Corruption (1998) mendefinisikan korupsi sebagai
"tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Kemudian secara singkat
Komberly Ann Elliott dalam
Corruption and The Global Economy menyajikan definisi korupsi, yaitu
"menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan Negara
(state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menurut hemat kami, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat Negara, sehingga
Negara = Kekuasaan = Korupsi. Pendapat ini sesui dengan isi surat Lord Acton kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887 yang menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kalimat yang sangat terkenal
"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah. Dalam proses pembangunan terjadi interaksi ( Pemerintah dengan sawasta ), terjadi juga mobilitas barang dan atau jasa. Pemerintah, dalam proses tersebut berperan ganda, yaitu sebagai pelaksana pembanguan dan juga sebagai pengawas pembangunan. Pemerintah dalam proses pembangunan sangat amat dominan, sementara masyarakat (rekanan), sangat membutuhkan proyek. Dalam kondisi seperti ini korupsi kerap kali terjadi, seperti : uang pelican, sogok, kehormatan, dll. Padahal sebagai pegawai pemerintah, mereka sudah dapat gaji bulanan.
Pembangunan seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi Negara, terutama Negara yang termasuk dalam kelompok Negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Negara berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat, sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri. Akan tetapi pemerintah sering bertindak layaknya "Sinterclas" yang membagi-bagi hadiah, memberi ikan, bukan kailnya, sehingga masyarakat demikian bergantung pada Negara, Masyarakat menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan proyek, disini pula menjadi sumber korupsi.
Korupsi sebagai fenomena social, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena social budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi); kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan
"ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu, kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba dan akhirnya menjadi kebiasaan. Berdasakan analisis tersebut, kami berkesimpulan bahwa kebiasaan korupsi dapat dihilangkan atau dicegah melalui proses penanaman (sosialisasi dan internalisasi ) nilai-nilai anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK). Proses tersebut dilakukan melalaui proses pendidikan ang terencana, sistematis, terus menerus dan terintegrasi, sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Demikian juga sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai social anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.
Sebagai insan akademis dan sebagai bagian dari anak bangsa, kami terpanggil untuk membantu lemabag-lembaga yang menangani korupsi, terutama KPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sesuai kapasitas dan kompetensi kami dalam bidang pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan isi pasal 14, UU No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya kami dalam membantu pencegahan dan pemberantasan korusi tersebut, diwujudkan melalui pendirian Pusat Kajian Korupsi atau Center for Corruption Studies (CCS) yang akan dideklarasikan pada tanggal 24 Januari 2009. CCS merupakan wadah atau tempat dimana para kakar dengan berbagai latar belakang keilmuan berhimpun, membangun barisan, menyatukan visi dan misi serta strategi khususnya dalam upaya pencegahan korupsi melalui pendekatan pendidikan. Kehadiran CCS tersebut juga merupakan respon para pakar terhadap ajakan KPK melalui program IMpakar atau Program Indonesia Memanggil Pakar yang dimuat dalam situs KPK :
www.kpk.go.id. CCS merupakan Lembaga independen dan merupakan lembaga sawadaya masyarakat.