Oleh I Wayan Maryana
SILANG pendapat antara Badan Anggaran DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menimbulkan rasa penasaran masyarakat. Dua lembaga ini 'sepertinya' saling panggil untuk minta penjelasan dan berupaya untuk memperlihatkan kewibawaannya. Akan tetapi, dalam ranah sosiologis, yang justru harus dikaji secara lebih dalam adalah makna peristiwa-peritiwa ikutan yang terjadi di balik itu.
Dua peristiwa menarik adalah tampilnya sejumlah wanita cantik berunjuk rasa di depan gedung KPK. Perempuan yang jumlahnya belasan itu tidak hanya cantik tetapi juga modis, memakai kacamata, pakaian ketat, celana pendek, rok mini dan membawa bunga. Kedua, ada peristiwa teror yang dilakukan oleh orang tidak dikenal kepada tokoh-tokoh yang mendirikan pos pengaduan praktik mafia anggaran melalui SMS atau telepon gelap. Semuanya ini menyangkut adanya pemeriksaan terhadap praktik mafia anggaran yang diperkirakan terjadi di lembaga DPR. Mafia anggaran bisa dibilang sebagai upaya mencurangi anggaran pemerintah, agar kelebihan atau sisa anggaran yang didapatkan bisa masuk kepentingan pribadi, baik untuk kepentingan politik maupun kepentingan lain.
Pada unjuk rasa yang dilakukan wanita cantik itu, mereka melakukan aksi yang mendukung tidak diganggungnya Badan Anggaran DPR yang konon kini sedang sibuk mendiskusikan uang anggaran untuk rakyat yang jumlahnya triliunan rupiah. Aksi ini kuat ditujukan kepada KPK yang berupaya memeriksa anggota Badan Anggaran DPR yang diduga melakukan korupsi.
Lepas dari apakah unjuk rasa itu digerakkan atau disponsori oleh seseorang, unjuk rasa yang 'rapi dan menarik perhatian' ini bisa dikatakan sebagai sebuah konstruksi sosial atas sebuah masalah. Para wanita cantik itu merupakan subyek dari sebuah strategi budaya baru dalam menghadapi persoalan.
Perlawanan terhadap korupsi merupakan 'kalimat sosial' yang terus digembar-gemborkan oleh pemerintah dan juga menarik perhatian masyarakat. Kalaupun ada strategi balik untuk membantah terjadinya korupsi, maka bantahan atau penolakan terhadap tuduhan itu tidak mempunyai gema yang besar, tidak meluas dan tidak mendapat perhatian publik. Maka, harus dipakai strategi jitu untuk menghadapi publik yang suka mengacuhkan bantanah demikian. Menggelar wanita cantik adalah strategi jitu tersebut. Dalam budaya yang dikuasai oleh laki-laki, maka strategi untuk membungkam laki-laki adalah wanita. Kaum laki-laki adalah kelompok masyarakat yang paling besar gaungnya untuk memberantas korupsi.
Di dalam budaya modern yang banyak dipengaruhi oleh media massa (kebanyakan juga dipegang oleh laki-laki) maka penggelaran wanita ayu sebagai aktor unjuk rasa, mempunyai nilai manfaat yang amat tinggi. Penggelaran itu diyakini bisa lebih meluaskan gema tandingan. Jadi, meski para pengunjuk rasa wanita jumlahnya hanya belasan orang, durasi unjuk rasanya hanya sekitar 10 menit, akan tetapi penampilan 'aduhai' mereka menjadi power yang luar biasa. Dengan penampilan itu mereka akan mampu disorot oleh kamera televisi lebih lama, mendapat prioritas lebih tinggi disebarluaskan, dipotret lebih banyak oleh kamera media massa dengan cetakan yang lebih besar dan jelas, serta dimungkinkan diliput oleh jumlah media yang lebih banyak. Faktor power inilah yang membuat para pengunjuk rasa itu melipatgandakan pesannya ke masyarakat. Unjuk rasa wanita cantik, seksi dan berpoles ini akan diliput secara lebih luas dan masuk ke ranah publik secara lebih dalam ketimbang unjuk rasa konvensional yang biasanya lebih banyak berteriak dan mayoritas dikuasai laki-laki. Unjuk rasa seperti ini sudah terlalu sering terjadi dan sudah membosankan.
Lebih Dimengerti
Pesan dan tujuan pengunjuk rasa wanita ini pun akan lebih bisa dimengerti publik. Intinya, dalam budaya yang dikuasai jagat komunikasi, maka informasi yang paling dekat dengan publik adalah informasi kemasan. Terserah apakah kemasan itu sekadar upaya memancing publik atau memberikan mereka pengertian, aktor-aktor pelaku tidak peduli. Dengan demikian, pesan dari para pengunjuk rasa wanita yang tampil di depan gedung KPK itu mempunyai tujuan untuk menghentikan hujatan kepada Badan Anggaran DPR yang persoanel-personelnya diduga melakukan korupsi. Pesan inilah yang ingin dilayangkan secara lebih luas ke ranah publik di Indonesia.
Ada pesan lain yang disampaikan melalui unjuk rasa para wanita ini, yakni semacam upaya penanaman pengertian kepada publik atau masyarakat. Bagaimanapun pesan dari pengunjuk rasa itu akan menyebar dan menarik perhatian secara lebih luas. Dengan capaian 'audiens' yang lebih luas itu para penggerak pengunjuk rasa ingin mengimbau masyarakat untuk lebih memperhatikan, lebih menilai apakah benar pihak-pihak tertentu telah melakukan korupsi, yang dalam hal ini adalah anggota Badan Anggaran DPR (yang diduga melakukan itu). Jadi, masyarakat diajak untuk ikut memikirkan, mengevaluasi dan lebih mencermati soal siapa dan bagaimana sesungguhnya korupsi itu. Tujuannya agar tuduhan tidak semena-mena.
Lalu, bagaimana dengan teror SMS yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terkait dengan pos pengaduan mafia anggaran? Ini adalah bentuk perlawanan lelaki. Kelihatan kasar dan ingin menantang. Namun dari sisi pesan yang disampaikan, justru metode yang dipakai ini jelas tidak mengundang simpati. Masyarakat menjadi antipati kepada para penebar teror dan menganggapnya sebagai teror dalam bentuk lain.
Kalau dua metode ini dipadukan, antara penyertaan wanita cantik dengan cara teror dalam upaya menghentikan tuduhan korupsi, maka gabungan cara ini justru menjadikan usaha menjadi nol (sia-sia). Pengerahan wanita cantik nan seksi sebagai pengunjuk rasa memberikana kesempatan bagi publik untuk lebih mendalami tentang persoalan korupsi itu. Bukan tidak mungkin cara seperti ini akan membuat orang mencoba mengulang-ulang pertimbangan mereka untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya tentang pihak mana yang korupsi. Bisa jadi juga mereka akan berpihak pada para wanita itu. Akan tetapi cara teror dan kasar untuk menolak tuduhan korupsi, justru membuat orang tidak simpati dan malah menaruh kesalahan kepada sang penebar teror. Pengerahan wanita bisa diibaratkan sebagai rayuan untuk menghentikan tuduhan korupsi. Sedangkan teror tetap mempunyai makna sebagai teror dan kekerasan.