JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memandang perlu tindakan pemiskinan terhadap narapidana korupsi sebagai langkah pemberian efek jera. KPK menilai pengetatan hukuman melalui moratorium remisi dan pemberian pembebasanbersyaratmasihbelumcukup.
“Saya kira pemiskinan bagi narapidana korupsi perlu juga. Jadi jangan remisi saja dan pembebasan bersyarat yang dihentikan. Pemberian hukuman lebih lama itu soal efek saja supaya orang takut,”kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Kantor KPK Jakarta kemarin. Meski demikian, Johan mengapresiasi usaha pemerintah memperketat remisi bagi koruptor.Hanya saja, sikap pemerintah tersebut harus dibarengi dengan peraturan tertulis untuk menghentikan remisi dan pembebasan bersyarat.
”Tentunya KPK apresiasi. Berarti ada niat memang untuk menghukum koruptor dan tidak mencederai hati rakyat. Tapi jangan sekadar lisan, perlu aturan tertulis,”katanya. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto juga mengaku setuju dengan konsep pemiskinan narapidana korupsi. Salah satu caranya dengan memberikan denda yang setinggitingginya selain hukuman badan.
“Saya kira cara ini bisa memberikan efek jera bagi para koruptor.Seperti di Singapura, dendanya ditinggikan sehingga koruptor dibuat melarat sehingga tidak bisa macam- macam lagi,”kata Bibit. Menurut dia,KPK akan memaksimalkan tuntutan terhadap para terdakwa korupsi sehingga hakim juga bisa menjatuhkan vonis yang maksimal. Hal itu bisa dipertimbangkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku koruptor.
“Kita perlu sikapi dengan mengajukan tuntutan maksimal atau lebih tinggi dari kemarin agar hakimnya bisa putuskan maksimal juga. Sehingga biar berkali-kali diremisi masih tetap tinggi juga (hukumannya),” kata Bibit. Wakil Ketua KPK M Jasin menambahkan, penghentian sementara (moratorium) pengurangan masa hukuman bagi terpidana kasus pidana korupsi tidak bisa mengandalkan pernyataan lisan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.Kebijakan strategis di dalam pemberantasan korupsi ini memerlukan payung hukum untuk berpijak.
“Jadi, harus ada aturan tertulisnya,” katanya. Menurut Jasin, hingga saat ini KPK berpandangan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bukan satu-satunya cara untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah memasukkan pasal hukuman minimal sekurang-kurangnya lima tahun bagi terpidana kasus korupsi.
Adapun untuk hukuman maksimal diberikan bergantung pada tingkat kesalahan pelaku hingga hukuman seumur hidup. Selain itu, sambung Jasin, KPK juga mendukung pandangan para penggiat antikorupsi yang menyebut pelarangan koruptor yang telah dibebaskan menduduki jabatan publik. ”Memang, di luar negeri umumnya sudah menerapkan itu,Indonesia harus menerapkan itu juga,”katanya.
Bisa Timbulkan Masalah Hukum
Sementara itu, mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengatakan, moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi berpotensi melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dalam ketentuan Undang-Undang Pemasyarakatan, semua narapidana berhak untuk mendapatkan remisi,pembebasan bersyarat, dan asimilasi.
“Norma- norma hukum yang tegas mengatur baik UU maupun peraturan pemerintah itu tidak bisa dilangkahi begitu saja,ditinggalkan begitu saja,” ucapnya di Jakarta kemarin. Semua warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum sehingga harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi meski berstatus narapidana. Pembedanya hanya berat-ringannya hukuman.
Namun, jika sudah berada di lembaga pemasyarakatan (LP),harus diperlakukan sama. Langkah moratorium, menurut Yusril, tidak mempunyai landasan hukum yang kuat,padahal ciri negara hukum adalah tindakan aparatur yang berdasarkan hukum. Sebaliknya, pemerintah harus bertindak adil terhadap semua warga negara, meski sudah melakukan pelanggaran hukum.
Moratorium remisi, menurutnya, harus dilakukan dengan langkah yang komprehensif yaitu sekaligus dengan melakukan revisi UU Pemasyarakatan dan mengubah peraturan pemerintah tentang pemberian remisi. “PP remisi dan pembebasan bersyarat asimilasi itu tidak bisa dibikin semaunya, karena bisa diuji dengan UU Pemasyarakatan. Kalau tidak sesuai, bisa dibatalkan.
Kalau UU Pemasyarakatannya mau diubah, silakan,”ungkapnya. Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengingatkan moratorium remisi bisa menimbulkan masalah hukum. Aturan pemberian remisi hingga saat ini belum diubah sehingga menghentikan pemberian pengurangan hukuman berpotensi melanggar HAM.
Pemerintah juga perlu mencari terobosan hukum agar pemangku kuasa kehakiman memiliki payung hukum untuk menjatuhkan vonis maksimal bagi koruptor. Selama ini hukuman bagi koruptor sangat variatif dan cenderung ringan. Terobosan lain adalah merampas kembali kekayaan negara yang dirampok para koruptor. nurul huda/mnlatief