Di Indonesia, korupsi ibarat penyakit kronis. Dan dampak dari penyakit itu membuat negeri ini terpuruk dalam segala sektor. Misalnya, kualitas pendidikan buruk, karena dananya tidak luput dari keganasan serangan penyakit ini. Bahkan hukum juga sudah tak dapat dipercaya, karena para penegaknya sangat rentan terhadap serangan penyakit ini.
Untuk memerangi korupsi, secara khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun dibentuk. Tak tanggung-tanggung. Sesuai amanat Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pengadilan khusus korupsi ini dibentuk pada setiap ibukota provinsi.
Nyatanya, pengadilan korupsi di daerah itu tak bisa diharapkan untuk memerangi korupsi. Seperti yang dikhawatirkan para aktivis antikorupsi akan dampak tersebarnya pengadilan tipikor di daerah, para terdakwa koruptor pun satu demi satu lolos dari jerat hukum. Pekan lalu, Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat membebaskan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dari dakwaan korupsi.
Dan ternyata, itu bukan vonis bebas pertama di pengadilan khusus pencurian uang negara itu. Pengadilan Tipikor daerah selama hampir setahun berdiri sudah membebaskan 25 terdakwa korupsi.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), satu terdakwa korupsi dibebaskan Pengadilan Tipikor Semarang, 21 terdakwa bebas di Pengadilan Tipikor Surabaya dari 95 perkara, dan tiga orang bebas di Pengadilan Tipikor Bandung. Pengadilan Tipikor Jakarta juga pernah membebaskan satu terdakwa meskipun bukan terdakwa utama.
Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan, bebasnya Mochtar dikhawatirkan menjadi wabah penyakit yang dapat menyebar ke Pengadilan Tipikor daerah lainnya hingga luar Pulau Jawa. “Pada awal berdirinya, Pengadilan Tipikor dipandang sebagai kuburan bagi koruptor. Tapi, makin lama berubah menjadi surga bagi koruptor,” katanya.
Agar hal ini tak menular, lanjut Emerson, proses seleksi hakim Tipikor harus dilakukan secara ketat. Padahal, jaksa sudah menjerat Mochtar lewat empat dakwaan berlapis dengan tuntutan 12 tahun penjara terkait dengan kerugian negara yang mencapai Rp 5,5 miliar.
Kecurigaan pada Pengadilan Tipikor daerah yang jadi surga bagi koruptor sudah disadari Komisi Yudisial (KY). Menurut Wakil Ketua KY Suparman Marzuki, lembaga yang bertugas mengawasi para hakim- itu telah memperhatikan Pengadilan Tipikor Bandung sejak membebaskan Bupati Subang Eep Hidayat.
Eep didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 14,29 miliar. Kerugian itu lantaran terdakwa melakukan korupsi biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan/perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan pada tahun 2005 hingga 2008.
“Sejak pembebasan pertama, yakni Bupati Subang Eep, sampai putusan terakhir kita pantau secara utuh. Kami turunkan orang juga ke lapangan,” kata Suparman.
KY menilai, lanjutnya, ada hal-hal yang mesti didalami dari para hakim-hakim di Pengadilan Tipikor Bandung. “Bahkan sudah ada laporan masyarakat yang mencurigai majelis hakim yang terlibat dalam proses persidangan kasus Mochtar Muhammad,” imbuh Suparman.
Selain itu, sambungnya, vonis bebas bagi kepala daerah yang terlibat kasus tindak pidana korupsi itu menjadi catatan penting bagi semua pihak, terutama Mahkamah Agung (MA). “Sebab MA merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap proses seleksi para hakim-hakim di Pengadilan Tipikor,” katanya.
Tudingan miring terhadap Pengadilan Tipikor Bandung ditepis Ketua Pengadilan Negeri Bandung yang membawahi pengadilan korupsi Bandung, Joko Siswanto. Menurutnya, sidang tiga perkara itu berlangsung terbuka dan tidak ada yang ditutup-tutupi. “Kalau KY mau melakukan analisis silakan. Itu kan kajian akademis. Tapi kalau masalah teknis, itu kewenangan MA,” kata Joko.
Vonis bebas yang dijatuhkan hakim Tipikor Bandung itu, sambung Joko, sudah dipertimbangkan sangat matang. “Itu berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi. Karenanya, vonis itu bebas dari intervensi pihak mana pun,” imbuhnya.
Awasi Dan Evaluasi Hakim
Pengawasan dan evaluasi proses rekrutmen hakim Pengadilan Tipikor memang perlu dilakukan. “Dalam catatan ICW, Hakim ad hoc Ramlan Comel, ternyata pernah menjadi terdakwa kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako sebesar 194.496 dolar AS atau setara dengan Rp 1,8 miliar,” kata aktivis ICW, Emerson Yuntho.
Pada tahun 2005, lanjut Emerson, Comel divonis dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau. Dia dibebaskan pada tingkat Pengadilan Tinggi Riau tahun 2005. Di tingkat kasasi dia juga diputus bebas pada tahun 2006 dengan Putusan Nomor 153K/PID/2006.
“Berdasarkan data yang dimiliki ICW, Ramlan Comel juga merupakan hakim ad hoc yang membebaskan terdakwa korupsi lainnya, Bupati Subang Eep Hidayat. Ia juga diduga tidak memberikan keterangan secara benar terkait pernah menjadi terdakwa korupsi ketika mendaftar sebagai calon hakim ad hoc Pengadilan Tipikor,” jelas Emerson.
Lolosnya Ramlan sebagai hakim ad hoc, bagi ICW merupakan kecerobohan MA saat melakukan proses seleksi calon hakim ad hoc dan karir. “Memang tidak semua vonis bebas dapat dikatakan bermasalah. Tapi semua pihak sebaiknya juga tidak boleh menafikan adanya indikasi mafia peradilan dan persoalan integritas hakim-hakim yang mengakibatkan terdakwa kasus korupsi dibebaskan,” kata Emerson.
ICW berharap MA meninjau ulang seluruh hakim tipikor di daerah. “Syarat integritas dan kualitas harus menjadi syarat mutlak bagi penempatan hakim-hakim tipikor di daerah. Hakim yang dinilai tidak kredibel, pernah melakukan tindak tercela atau tidak berintegritas harus dicopot,” imbuhnya Emerson.
Tentu saja jika ingin membersihkan korupsi, penegak hukumnya juga harus bersih. Sulit berharap jika hakim korupsi adalah bekas terdakwa korupsi juga.