Oleh Imron Supriyadi
|
Illustrasi: Karya D Zawawi Imron |
Penangkapan puluhan koruptor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belakangan menjadi perbincangan hangat di kampung saya. Hampir setiap malam, dari tukang becak, ulama, aktivis, wartawan, karyawan perusahaan, mahasiswa, maling kambuhan, mantan agen ganja sampai pekerja seks komersil turut angkat bicara. Tentu dengan cara pandang dan ruang yang berbeda. Ada yang memuji ada pula yang menghujat. Sekali lagi, ini terjadi karena masing-masing teman saya punya sudut pandang dan argumentasi sendiri-sendiri.
“Kalau aku boleh memilih, lebih baik jadi koruptor dari pada jadi maling kambuhan,” ujar Mat, yang baru satu minggu keluar penjara akibat ketahuan menjual ganja di sebuah sekolah SMA.
“Lho?!” salah satu dainatara kami heran.
“Pencuri seperti aku, kalau tertangkap pasti nasibnya seperti rusa masuk perangkap singa. Muka babak belur. Hidung berdarah. Setiap pagi, bogem mentah polisi sudah pasti jadi sarapan pagi. Tapi kalau koruptor pasti dikawal ketat, didampingi oleh puluhan pengacara,” ujar Mat semaunya.
“Kalau aku pilih jadi WTS, sebab aku memang tidak punya peluang jadi koruptor. Lain halnya kalau pegawai atau anggota dewan, selain punya peluang, kesempatan memang ada, jadi yak klop! Lha, kalau aku? Namanya juga lonthe, apa yang mau dikorup? Kondom?” Lin menimpali.
Semua tertawa. Kiai Gombloh hanya geleng-geleng kepala. Agak sulit menterjemahkan gelengan itu. Antara setuju dan tidak setuju.
“Memang itulah kondisi hukum kita. Tajamnya hanya ke bawah. Kalau keatas tumpul! Bahasa kerennya, hukum kita itu seperti piramida terbalik, menukik ke bawah, bukan ketas!” kata Adi, salah satu mahasiswa semester tiga jurusan jurnalistik.
“Tapi mahasiswa juga punya peluang korup, Bung!” kata Fer, salah satu buruh tambang Batubara yang kariernya tak naik-naik.
“Mahasiswa?!” Adi mengernyitkan kening. “Oke. Tapi tidak semua. Kalau korup paling-paling motong uang proposal, lain tidak,” Adi setengah membela.
“Tapi namanya masih korupsi juga,” sergah Lin.
“Mestinya, kita berterima kasih kepada para koruptor,” Kiai Gombloh mencoba menengahi. Tapi ucapan Kiai Gomloh membuat kami heran. Kami saling pandang. Sebuah pertanyaan di benak kami masing-masing. Mengapa Kiai Gombloh bicara seperti itu?
Kiai sesaat tersenyum. Kian lama kian lebar. Giginya yang ompong makin jelas. Ia seperti mengetahui dengan apa yang terpikir di benak kami.
“Kok terima kasih, Kiai? Koruptor itu kan pencuri harta Negara, yang mengakibatkan kemiskinan di negeri ini makin meraja lela!?” Adi penasaran.
“Kalian tahu, mengapa ada koruptor?’ Kiai Gombloh tiba-tiba menyoal kami.
“Ya, karena mereka masih kurang duit,” Lin menjawab sekenanya.
“Bukan, tapi karena mereka rakus dengan harta,” Fer menimpali.
“Karena tidak bisa mengendalikan nafsu duniawi,” ujar Dika, salah satu remaja masjid di kampung kami.
“Kurang duit, rakus, tamak, nafsu duniawi. Sekarang siapa yang membuat mereka seperti itu? Kiai Majid makin membuat kami bingung.
“Ya, syetan, lah!” Dika menimpali.
Kiai memandang kami secara bergantian. Tak ada jawaban lain. Syetan!
“Syetan itu ciptaan siapa?” Lagi-lagi Kiai Gombloh bertanya.
“Nafsu!”
“Ya. Syetan itu sendiri!”
“Manusia yang tidak taat pada Allah, sehingga jadi syetan!”
“Syetan itu mahluk,” Kiai Gombloh mulai memberi gambaran arah jawaban. “Kalau syetan itu mahluk, jadi syetan itu ciptaan siapa?” Kiai Gombloh memancing.
“Ya, jelas Allah!” Dika langsung tanggap.
“Kalau begitu, koruptor itu yang menciptakan juga Allah! Setuju?!” Kiai Gombloh menambah kami bingung harus menjawab apa. Kami hanya bengong.
“Kalau itu ciptaan Allah, masalahnya mengapa Allah harus menciptakan koruptor? Sementara Allah mengendaki kebaikan bagi umatnya?” Dika menjawab lagi.
“Wah, tidak sia-sia jadi remaja masjid, makin pintar ilmu agama saja, kamu,” Lin memuji. Dika hanya mesem-mesem. Yang lain tidak menggubris. Kami masih serius. Otak kami makin dibebani oleh ragam pertanyaan dari beberapa kalimat yang diucapkan Kiai Gombloh.
“Itu sengaja diciptakan Allah! Demikian juga syetan!”
“Sengaja?!” kami saling pandang.
Ucapan Kiai Gombloh sejenak terhenti ketika ia menyalakan sebatang rokok.
“Jadi, praktik korupsi dan koruptornya itu diciptakan oleh Allah, sama seperti Allah menciptakan syetan! Itu semua disetting sedemiian rupa oleh Allah!” Kiai Gombloh mulai rinci menjelaskan. Tapi kami belum juga mengerti kemana arah pembicaraanya.
“Kalau kita main sepak bola, kemudian kita tidak punya musuh, kira-kira kalau kalau kita berhasil mencetak sebelas gol berharga atau tidak?” Kiai bertanya lagi.
“Ya, enggak, lah, Kiai! Satu gol jadi berharga sepatu emas, karena tim-nya ada lawan main. Kalau tidak, sama saja bohong!” ujar Fer pengagum Ronaldinho asal Brazil.
“Nah, sudah jelas kan jawabannya. Jadi syetan yang mengangu manusia yang kemudian korupsi itu sengaja diciptakan Allah supaya manusia ada lawan main,” kali ini Kiai Gombloh tertawa. Tapi kami bengong.
“Syetan itu dibuat lawan bagi manusia. Koruptor juga diciptakan untuk lawan bagi kelompok manusia yang anti korupsi, supaya ada perbandingan siapa manusia yang benar-benar akan mendapat rahmat dan siapa manusia yang akan mendapat laknat. Kalau kalian tetap menahan kemiskinan dengan menghindarkan tindakan korupsi, berarti kemiskinanmu itu rahmat, karena kamu masih dipelihara oleh Allah dari peluang melakukan korupsi,” penjelasan Kiai Gombloh mulai membuka nalar kami.
“Kalau dibiarkan korupsi?” Dika penasaran.
“Itu pintu rahmat Allah!” Kalimat Kiai Gombloh membuat bingung lagi.
“Tidak selamanya koruptor itu akan terus menerus melakukan korupsi. Pada saatnya nanti, koruptor itu akan diantarkan ke pintu rahmat Allah. Orang mabuk juga tidak akan selamanya menjadi pemabuk. Pasti ada waktu berhentinya, apakah kematian atau berhenti dengan sendirinya,” ucapan Kiai Gombloh belum bisa diterima dalam akal kami. Kiai Gombloh memandang kami lagi secara bergantian.
“Koruptor itu sebenarnya sedang dibimbing Allah supaya pada saatnya nanti dia akan kembali bertemu dengan Allah. Kamu lihat kan, salah satu pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman, lalu di hadapan pengadilan dengan menangis dia mengucapkan kalimat Allah ; Ya Allah mengapa kau beri cobaan seperti ini. Dalam posisi itu, sang koruptor tidak punya lagi pembela, pangacara atau hakim tempat ia bergantung kecuali Allah Swt,” Kiai mencontohkan sebuah kasus.
Kami terdiam. Ada pencerahan yang seketika marasuk dalam otak dan hati kami. Betapa koruptor itu telah “mengajarkan agama” pada saya dan teman-teman. Selama ini, saya dan sebagian teman saya lebih banyak bergantung pada uang, jabatan dan pekerjaan. Sementara, semua itu adalah mahluk, yang tidak wajar menjadi tempat kami bergantung.
“Kalau pemabuk bisa juga dapat pintu rahmat, Kiai?” Rid, preman pasar yang masih getol mabuk tiba-tiba membuyarkan keheningan.
“Bajigan tengik, yang hampir mati gara-gara kebanyakan minum minuman keras, biasanya badannya menggigil. Detak jantungnya makin kencang. Matanya terpejam. Kematian seperti sudah terasa semakin dekat. Tetapi diujung bibirnya muncul kalimat kepasrahan kepada Allah. Dia tetap menyebut kalimat Allah; Ya Allah ya robbi, seandainya sampai besok pagi aku masih diberi waktu untuk melihat matahari, maka aku berjanji, aku akan bertaubat ya Allah. Aku mohon Ya Allah. Kini hidup matiku hanya ditangan Engkau,” ujar Kiai sambil memperagakan seorang peminum yang sakau.
Kami benar-benar melihat seorang pacandu yang hampir mati kali itu. Kiai Gombloh begitu piawai memerankan sosok pecandu yang tengah di ambang kematian. Kami tidak tahu dari mana Kiai Gombloh belajar penjiwaan itu. Mungkin Kiai Gombloh Majid pernah belajar teater. (*)
(Penulis adalah Pelaku Sastra tinggal di Palembang)